Logo
>

Soal BMAD, Faisal Basri: KADI Seperti Pesilat Mabuk

Ditulis oleh KabarBursa.com
Soal BMAD, Faisal Basri: KADI Seperti Pesilat Mabuk

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mengajukan penetapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk produk keramik impor asal China. Adapun rencana itu muncul setelah temuan KADI terkait adanya dumping atas impor barang yang diduga berasal dari perusahaan asal China sebesar 100,12 persen hingga 199,88 persen.

    Menanggapi hal tersebut, Ekonom Senior Institute For Develompment of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri menilai, KADI terlalu gegabah mengajukan BMAD bagi produk-produk impor asal China. Dia juga meragukan data yang dihimpun oleh KADI.

    Pasalnya, data yang ditampilkan KADI dalam hasil investigasinya terlihat tidak mengalami penurunan pada masa pandemi Covid-19. Padahal, kata Faisal, pandemi Covid-19 menjadi momok yang menakutkan bagi seluruh sektor industri dunia.

    “Yang unik ya dari kajian KADI ini, tidak ada Covid-nya, seolah-olah Covid itu tidak pernah terjadi. Padahal Covid itu memorak-moradakan ekonomi termasuk industri yang terjadi di periode (dibentuknya) KADI,” kata Faisal dalam salah satu acara diskusi public yang digelar INDEF, Jakarta, Selasa, 16 Juli 2024.

    Faisal merinci, pada tahun pandemi Covid resmi muncul di Indonesai 2020 lalu, produksi keramik jika dilihat dari sektor industri yang menggunakannya terjadi penurunan hingga tahun 2022. Di sektor kontruksi, 2020 mengalami penurunan hingga -3,26 persen, kemudian kembali naik pada tahun 2021 sebesar 2,81 persen, dan tahun 2022 kembali recovery di angka 2,01 persen.

    Begitu juga di sektor real estate, Faisal merinci terjadi penurunan pada masa pandemi Covid di tahun 2020 sebesar 2,32 persen, tahun 2021 naik tipis 2,78 persen, dan 2022 kembali menurun di angka 1,72 persen. Adapun gross domestic products (GDP) di ketiga tahun tersebut juga mengalami penurunan, 2020 sebesar -2,07 persen, 2021 naik 3,70 persen, dan 2022 menguat di 5,31 persen.

    “Nah ini mengubah seluruh cerita KADI itu. Makanya ada peningkatan import dari China, Juli 2021-Juni 2022, peningkatan ya recovery semua, iya enggak? Kan sudah recover dibandingkan dengan masa covid, jadi ya dia naik lah, ampun deh,” jelasnya.

    Faisal menilai, KADI tidak melihat pelemahan sektor industri karena fenomena Covid tetapi justru memukul rata kesalahan impor disebabkan oleh dumping China. Padahal, KADI juga mencatat adanya pengaruh dinamika perekonomian global.

    “Nah jadi hidup matinya keramik di Indonesia juga disebabkan oleh kondisi perekonomian global. Itu kata KADI. Kok semua ditumpahkan ke China. Jadi tidak sesederhana itu,” tegasnya.

    Dalam laporannya, Faisal juga menyebut KADI tidak memisahkan produk keramik merah dan porcelain. Sementara produksi keramik dalam negeri sendiri tidak menutupi kebutuhan dalam negeri.

    Pasalnya, produk yang dimiliki Indonesia lebih banyak keramik merah. Sementara yang sering digunakan lebih banyak yang berbahan porcelain sebagaimana yang dipasang di beberapa gedung milik negara.

    “Jadi industri dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ini porselen kalau saya nggak salah ya. Yang besar-besar ini tidak ada lah yang diproduksi dalam negeri.

    Dalam negeri kebanyakan 30x30 dan 60x60. Kalau yang besar-besar di Sukarno Hatta deh, Terminal 3. Itu kan tadinya kan karpet. Sekarang udah di rombak karpetnya dipakaiin porselen. Impor itu BUMN,” ungkapnya.

    “Terus pukul rata mengukuran berapa aja dikenakan 5 subtil gini. KADI ini seperti jurus silat mabuk, pesilat mabuk. Semua dilibas,” tambahnya.

    Curiga Ada Intervensi 

    Faisal mencermati pergantian Ketua KADI, Dona Gultom, yang tiba-tiba digantikan Danang Prasta Danial. Dia menilai, mundurnya Dona dari kepemimpinan KADI lantaran menolak perintah untuk mengubah data yang sebenarnya.

    Faisal menduga, perintah merubah data itu diintruksikan langsung oleh Kepala Staf Kepresiden, Moeldoko. “Ada intervensi. Kalau nggak salah ada memo dari Moeldoko,” ungkapnya.

    Akibat banyaknya intervensi, Faisal menilai peranan industri di Indonesia terus merosot. Sekalipun bertumbuh, dia menilai, tidak pernah lebih tinggi dari pertumbuhan PDB dengan tingkat share yang terus tergerus hingga 18,6 persen.

    Dia menilai, fenomena ini sebagai deindustrialisasi lantaran stakeholder terkait selalu mengganggu industri. Padahal, Faisal menilai, data impor produk China tidak sejalan dengan perhitungan ekonomi. Hal itu yang mengindikasikan adanya intervensi.

    “Kan buat kebijakan ini nggak dalam ruang hampa. Ditambah lagi, ya ini tadi ya. Faktor luar, faktor perekonomian global. Masa KADI nggak relevanlah KADI ngomong perekonomian global. Melemahkan dirinya sendiri,” jelasnya.

    Faisal menuturkan, periode penyelidikan keramik pada tahun 2022 sebetulnya juga dialami mayoritas industri lainnya. Menurutnya, tidak ada kaitannya dengan dumping produk impor asal China.

    “Jadi ini tren industri. Eh tiba-tiba solusinya BMAD. Apa sih gitu? Norak banget gitu. Jump konklusinya. Cari kambing hitam. Banyak perusahaan bangkrut. Bukan hanya keramik,” tegasnya.

    Di sisi lain, Faisal menilai banyaknya sektor industri yang belum recovery paska Covid-19. Apalagi program restrukturisasi sudah selesai dilakukan kendati disebut-sebut akan kembali diperpanjang pemerintah.

    Meski begitu, dia meragukan pemerintah akan kembali melahirkan kebijakan yang pro terhadap nasib industri. Apalagi, kata Faisal, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang, menjadi bagian dari petinggi Partai Golkar yang terlibat dalam beberapa kegiatan kampanye di Pemilu 2024 lalu.

    “Mana ngurusin. Anda pernah dengar Menteri Perindustrian bikin pernyataan? Jarang ya? Mungkin gak semua Anda juga tahu nama Menteri Perindustriannya siapa. Industri kita sedang limbung,” ucapnya.

    Volume Impor Keramik

    Berdasarkan data yang dikutipnya dari International Trade Center (ITC), Faisal menyebut volume impor HS 6907 atau keramik dan ubin dari China pada tahun 2022 tercatat sebanyak 1 juta ton lebih rendah dari 2018 sebesat 1,3 juta ton.

    Dia menuturkan, impor HS 6907 sejak mengalami pertumbuhan 2019 sebanyak 900 ton, 2020 sekitar 863 ton, 2021 naik 1,1 juta ton, kemudian turun di 2022 menjadi 1 juta ton. Faisal sendiri mempertanyakan istilah yang menyebut Indonesia kebanjiran impor.

    “Namanya dibanjiri oleh import waktu saya bingung. Dibanjiri kan? Mana? Ini fenomena sebelum Covid kok. Ini data resmi loh bukan data saya,” katanya.

    Di sisi lain, Faisal juga menyebut ekspor yang dilakukan Indonesia ke China masih relatif kecil, yakni sebesar 1,9 persen. Sementara ketergantungan impor Indonesia terhadap China masih lebih tinggi, yakni sebesar 2,9 persen.

    Jadi buat China, Indonesia itu ngepenting-penting amat sebagai mitra dagang ya. Sebagai mitra dagang ngepenting-penting amat tujuan ekspor hanya 1,9 persen dari total ekspor. Import dari Indonesia hanya 2,9 persen kalah dengan Vietnam, Malaysia,” jelasnya.

    Dia juga mengungkap, perdagangan China dengan Indonesia mengalami devisit sejak tiga tahun lalu. Sementera Indonesia mengalami surplus perdagangan dengan China sejak 2023.

    Bagi Indonesia, kata Faisal, China menjadi tujuan ekspor pertama sebesar 25,1 persen. Sementara China juga menjadi negara asal import utama Indonesia dengan total 28,4 persen dari total import.

    Karenanya, dia berharap pemberlakukan BMAD bagi produk impor China diurungkan. Pasalnya, Indonesia masih sangat bergantung pada impor produk China dengan nilai yang cukup besar.

    ”Mau yang USD400 juta di otak-atik mengorbankan USD60 miliar dolar. China kalau marah, seram banget loh,” tutupnya.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi