KABARBRUSA.COM - Pemerintah memasang target ambisius pertumbuhan ekonomi 6,3 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Namun sejumlah analisis menunjukkan capaian tersebut masih jauh dari kenyataan di lapangan.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyampaikan proyeksi bahwa pertumbuhan ekonomi 2026 kemungkinan hanya bergerak pada kisaran 4,9 persen–5,1 persen.
Ia menilai tren pelemahan ekonomi dapat semakin menekan target pemerintah apabila lima risiko kebijakan tidak segera diantisipasi.
“Realitas lapangan sangat berbeda dengan target RPJMN. Target pertumbuhan 8 persen pada tahun 2029 pun semakin sulit dicapai,” ujar Wijayanto dalam paparannya Tantangan Ekonomi 2026, dikutip Selasa 9 Desember 2025.
1. Program KDMP Dinilai Berisiko Tinggi
Ia menilai Program Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) memiliki konsekuensi besar karena dikembangkan secara top-down dan terus mengalami perubahan konsep. Skema pembiayaan melalui kredit Himbara yang dijamin dana desa juga dinilai rawan menimbulkan kredit macet.
"Pengalaman Bumdes, hanya sekitar 5 pese yang berhasil, padahal melibatkan masyarakat dan dibangun dengan persiapan yang lebih matang. Success rate KDMP berpotensi lebih rendah," katanya.
2. Pemangkasan TKD Membebani Daerah
Wijayanto juga menyoroti pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026 yang berpotensi menciptakan tekanan fiskal. Menurutnya, sebagian besar provinsi masih sangat bergantung pada transfer pusat untuk menggerakkan APBD.
Pemotongan TKD hingga 17,7 persen diperkirakan membuat sejumlah pemerintah daerah kesulitan menjalankan layanan dasar, mengganggu proyek pembangunan, hingga mendorong pemangkasan tenaga honorer. Kondisi tersebut dinilai dapat mengurangi peran daerah sebagai penggerak pertumbuhan.
3. Risiko Bencana Alam dan Minimnya Mitigasi
Ia menilai tren peningkatan frekuensi bencana tidak diimbangi dengan kemampuan daerah, terlebih setelah anggaran BNPB turun dan TKD dipangkas. Kondisi ini membuat daerah semakin rentan menghadapi bencana besar yang berpotensi langsung menekan konsumsi dan aktivitas ekonomi.
"Anggaran BNPB justru terus menurun, secara parallel pemangkasan TKD membuat Pemda semakin tidak berdaya mencegah bencana dan membantu rakyat saat bencana terjadi," tegasnya.
4. Dramatisasi Kasus Korupsi Mengganggu Dunia Usaha
Wijayanto turut mengkritisi model penghitungan kerugian negara yang dinilainya inflatif dan menimbulkan persepsi keliru di masyarakat. Ia mencontohkan sejumlah kasus dengan nilai kerugian yang dianggap tidak proporsional.
Korupsi Timah Rp 300 triliun, di mana Rp 271 triliun dikategorikan sebagai kerusakan lingkungan, padahal PDRB Bangka Belitung hanya Rp 75 triliun.
Korupsi oplosan Pertalite Rp 968 triliun, sedangkan total subsidi BBM–Elpiji dalam periode sama hanya Rp 806 triliun.
Kasus ASDP dengan perbedaan metode valuasi antara DCF dan nilai besi tua hingga Rp 1,27 triliun.
"Efeknya merusak reputasi bangsa, memperburuk index korupsi, menimbulkan public apathy, pengusaha takut berbisnis dan investor takut berinvestasi; Pertumbuhan PDB tertekan ke bawah," tekananya.
5. BUMN Sakit dan Penugasan Berlebihan
Ia menilai sebagian besar BUMN, khususnya yang berada dalam ekosistem Danantara, belum berada dalam posisi kuat. Namun perusahaan-perusahaan tersebut justru diberi mandat yang tidak realistis, seperti proyek peternakan ayam hingga pengolahan sampah menjadi energi.
"95 persen dividen dihasilkan dari 8 BUMN, khususnya 4 bank; ini menggambarkan bahwa mayoritas dari 1.000 BUMN hidup sulit," jelasnya.
Menurutnya, Danantara perlu diberi ruang berinovasi agar dapat berkembang menjadi lembaga investasi nasional yang kompetitif.
"Danantara perlu diberi ruang berkreasi dan berinovasi, jika ingin ia lahir sebagai Temasek/Khazanah versi Indonesia dalam 10 tahun mendatang," pungkas Wijayanto.