KABARBURSA.COM - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mencalonkan Stephen Miran, selaku Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih sebagai Dewan Gubernur sementara The Federal Reserve (The Fed).
Meskipun belum resmi, penunjukan ini ternyata bisa membuat sentimen positif terhadap ekonomi Indonesia.
Analis sekaligus Founder Republik Investor, Hendra Wardana mengatakan Penunjukan Stephen Miran sebagai anggota Dewan Gubernur sementara The Fed menjadi manuver politik-ekonomi yang strategis, sekaligus memberi sinyal kuat arah kebijakan moneter global.
"Miran, yang saat ini menjabat Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Trump, dikenal memiliki pandangan pro terhadap pelonggaran kebijakan moneter," ujar Hendra dalam keterangannya kepada Kabarbursa.com, Sabtu, 9 Agustus 2025.
Hendra mengatakan Miran bahkan mendorong agar Presiden memiliki kendali yang lebih besar atas Dewan Fed, termasuk memperpendek masa jabatan para gubernurnya.
Dengan menggantikan Adriana Kugler yang mengundurkan diri, Miran dinilai memiliki peran penting meski hanya sebagai pengisi sementara hingga awal 2026.
"Langkah ini membuka ruang bagi Trump untuk memiliki pengaruh langsung terhadap kebijakan suku bunga, tanpa harus menunggu habisnya masa jabatan Jerome Powell pada Mei 2026, yang selama ini enggan menurunkan suku bunga secara agresif sesuai keinginan Trump," jelas Hendra.
Hendra menyebut kika pengaruh Trump di The Fed menguat dan Miran mendorong pelonggaran moneter, peluang penurunan suku bunga di AS akan semakin besar.
Ia melihat penurunan suku bunga The Fed akan membuat imbal hasil obligasi AS turun, sehingga arus modal berpotensi keluar menuju pasar negara berkembang yang menawarkan return lebih menarik, termasuk Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini, Hendra berpendapat Bank Indonesia (BI) akan mendapat dorongan untuk memangkas suku bunga acuannya guna menjaga stabilitas nilai tukar sekaligus memacu pertumbuhan ekonomi.
"Penurunan suku bunga BI akan menurunkan biaya pinjaman, memperbesar konsumsi, dan meningkatkan investasi di sektor riil. Dampaknya akan sangat terasa di sektor perbankan dan properti, dua sektor yang paling sensitif terhadap biaya dana murah," ungkapnya.
Hendra menilai perbankan akan diuntungkan dari lonjakan permintaan kredit konsumsi dan produktif, sementara sektor properti akan terdorong oleh cicilan KPR yang lebih ringan dan minat beli rumah yang meningkat.
Bagi pasar modal Indonesia, skenario ini bisa menjadi katalis positif. Menurut dia, saham-saham big caps di sektor perbankan seperti BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI berpotensi menguat seiring proyeksi peningkatan kredit
"Sementara itu, emiten properti besar seperti CTRA, BSDE, SMRA, dan PWON berpeluang mencatat kenaikan penjualan dan laba. Investor juga akan lebih optimistis terhadap IHSG karena kombinasi likuiditas global yang longgar dan kebijakan moneter domestik yang akomodatif," katanya.
Artinya, lanjut dia, langkah politik Trump di Washington yang sekilas tampak hanya berdampak di Amerika, pada kenyataannya bisa menjadi pemicu pergerakan positif di Bursa Efek Indonesia (BEI).
"Terutama jika pasar melihat peluang pelonggaran suku bunga sebagai sinyal percepatan pertumbuhan ekonomi," pungkasnya. (*)