KABARBURSA.COM - Harga minyak global kembali menguat pada penutupan perdagangan Kamis dinihari WIB, 27 Maret 2025, didorong oleh berkurangnya persediaan minyak mentah dan bahan bakar di Amerika Serikat serta meningkatnya kekhawatiran atas ketatnya pasokan akibat ancaman tarif baru dari AS terhadap negara-negara yang membeli minyak dari Venezuela.
Minyak mentah berjangka Brent, yang menjadi patokan internasional, naik 77 sen atau 1,05 persen menjadi USD73,79 per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) naik 65 sen atau 0,94 persen menjadi USD69,65 per barel. Pada sesi tertinggi, kedua patokan tersebut sempat melonjak lebih dari USD1 per barel.
Laporan dari Badan Informasi Energi (EIA) mengungkapkan bahwa persediaan minyak mentah AS turun sebesar 3,3 juta barel menjadi 433,6 juta barel dalam pekan yang berakhir pada 21 Maret. Penurunan ini jauh lebih besar dibandingkan prediksi analis yang hanya memperkirakan penyusutan 956.000 barel. Penyusutan stok ini terjadi karena kilang-kilang minyak di AS meningkatkan produksi mereka, yang turut berkontribusi pada penurunan persediaan bensin dan sulingan.
Di sisi lain, pasar energi global dikejutkan oleh keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengancam akan memberlakukan tarif sebesar 25 persen terhadap negara mana pun yang membeli minyak dari Venezuela. Ancaman ini langsung berdampak pada perdagangan minyak Venezuela dengan China, yang tiba-tiba terhenti.
China, sebagai pembeli utama minyak Venezuela, kini harus mempertimbangkan kembali langkahnya, sementara para trader dan penyuling di negara tersebut masih menunggu arahan lebih lanjut dari Beijing.
Langkah keras AS terhadap Venezuela bukan satu-satunya kebijakan yang memicu gejolak di pasar minyak. Sebelumnya, Washington juga menargetkan sektor minyak Iran dengan sanksi baru yang menyasar sejumlah perusahaan, termasuk kilang independen di China, seperti Shouguang Luqing Petrochemical, yang diketahui memasok minyak mentah Iran ke Provinsi Shandong. Kebijakan ini semakin mempersempit ruang gerak ekspor minyak Iran, yang berpotensi mengurangi pasokan global lebih jauh.
Para analis memperkirakan bahwa akibat sanksi ini, Venezuela bisa kehilangan pendapatan hingga USD4,9 miliar, atau lebih dari 10 persen Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut. Minyak merupakan ekspor utama Venezuela, dan jika perdagangan dengan China terhenti, dampaknya akan sangat signifikan. Analis dari Barclays bahkan memperkirakan bahwa kesulitan dalam menjual minyak Venezuela dapat menyebabkan penghentian produksi hingga 400.000 barel per hari, yang merupakan lebih dari setengah total ekspor negara tersebut.
Kondisi ini berpotensi menciptakan kekurangan pasokan di pasar global. Namun, menurut Jorge Leon, Kepala Analisis Geopolitik Rystad Energy, OPEC+ kemungkinan akan meningkatkan produksi mereka untuk mengantisipasi dampak dari sanksi AS. Langkah ini bertujuan untuk menyeimbangkan potensi kehilangan hingga 1,5 juta barel per hari dari ekspor Iran tanpa mengerek harga minyak terlalu tinggi.
Di tengah ketidakpastian ini, satu perkembangan positif muncul dari kesepakatan antara AS, Rusia, dan Ukraina untuk menghentikan serangan di laut serta terhadap infrastruktur energi. Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Washington bersedia mempertimbangkan pencabutan beberapa sanksi terhadap Rusia. Langkah ini dapat membuka jalan bagi peningkatan pasokan minyak Rusia di pasar global, yang berpotensi mengimbangi tekanan dari berkurangnya ekspor Venezuela dan Iran.
Analis StoneX Alex Hodes, memprediksi bahwa dalam situasi ini, China dan India kemungkinan akan beralih membeli lebih banyak minyak dari Rusia, yang meskipun terkena sanksi, masih dianggap sebagai opsi yang lebih aman dibandingkan minyak Venezuela yang kini diawasi lebih ketat oleh AS. Dengan demikian, aliran perdagangan minyak global kemungkinan akan mengalami pergeseran signifikan dalam beberapa bulan mendatang.
Meskipun demikian, kesepakatan antara AS, Rusia, dan Ukraina masih diselimuti ketidakpastian. Baik Kyiv maupun Moskow mengaku akan mengandalkan Washington untuk memastikan bahwa kesepakatan tersebut benar-benar ditegakkan, meskipun keduanya masih meragukan niat baik pihak lain dalam menjalankan perjanjian tersebut.
Dengan dinamika geopolitik yang terus berkembang, pasar minyak dunia akan tetap dalam kondisi fluktuatif. Perubahan dalam kebijakan sanksi, respons negara-negara pengimpor utama, serta langkah OPEC+ dalam menyesuaikan produksi mereka akan menjadi faktor penentu bagi arah harga minyak dalam waktu dekat.
Elnusa Siapkan Capex Rp594 Miliar
Salah satu emiten yang ketiban untung dari kenaikan harga minyak ini adalah PT Elnusa Tbk (ELSA). Subholding upstream Pertamina ini menyiapkan belanja modal (capital expenditure/capex) senilai Rp594 miliar untuk tahun 2025. Dana ini akan difokuskan untuk memperkuat segmen bisnis utama dan mengakselerasi inovasi teknologi dalam industri energi.
Sebagai anak usaha Pertamina Hulu Energi (PHE), Elnusa berkomitmen untuk terus meningkatkan efisiensi operasional dan mendukung ketahanan energi nasional.
Dari total anggaran tersebut, porsi terbesar, yakni 56,4 persen, dialokasikan untuk Upstream & Support Services, yang mencakup optimalisasi produksi migas dan pengelolaan infrastruktur strategis. Sementara itu, 30,3 persen akan digunakan untuk penguatan Energy Distribution & Logistics guna memastikan kelancaran rantai pasok energi di Indonesia.
Sisanya, sebesar 13,3 persen, dialokasikan untuk pengembangan bisnis baru dan investasi di sektor non-proyek yang berpotensi memberikan nilai tambah di masa depan.
Direktur Pengembangan Usaha Elnusa Arief Prasetyo Handoyo, menegaskan bahwa perusahaan terus berupaya meningkatkan kapasitas operasional dengan menerapkan strategi inovatif dan teknologi terbaru. Salah satu inovasi yang tengah dikembangkan adalah Pipeline Integrity Management, yang bertujuan untuk memastikan keandalan dan keselamatan jaringan pipa melalui layanan inspeksi dalam jaringan perpipaan (In-Line Inspection Services).
Dalam proses ini, Elnusa mengembangkan teknologi pigging, sebuah metode pembersihan dan inspeksi pipa menggunakan Pipeline Inspection Gauges (PIGs). Untuk mendukung efektivitas metode ini, Elnusa menghadirkan produk Foam PIG sebagai material utama dalam proses pembersihan pipa yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Tak hanya berfokus pada infrastruktur perpipaan, Elnusa juga aktif mengembangkan solusi inovatif untuk meningkatkan produksi sumur migas. Beberapa teknologi unggulan yang diperkenalkan antara lain Perta Solvent, Hydraulic Dilation Water Pumping, dan Automatic Well Performance Analyzer. Teknologi ini dirancang untuk mengoptimalkan produksi sumur yang sudah beroperasi serta memberikan solusi bagi sumur idle agar tetap berkontribusi dalam rantai produksi energi nasional.
Di sektor energi terbarukan, Elnusa memperkuat sinergi dengan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dalam pengembangan Binary Heat Exchanger for Geothermal dan Inflow Control Device (Downhole Flow Regulator). Kedua teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan energi panas bumi sebagai salah satu sumber energi hijau yang berkelanjutan. Selain itu, Elnusa juga tengah mengembangkan solusi Ecolift Hydraulic Pumping Unit sebagai bagian dari upaya optimalisasi sumur idle melalui teknologi hidrolik yang lebih efisien.
Sebagai bagian dari strategi transisi energi, Elnusa turut berperan dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik melalui proyek Battery Charging Station. Langkah ini sejalan dengan inisiatif pemerintah dalam mempercepat adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Selain itu, perusahaan juga berinvestasi dalam implementasi teknologi Carbon Capture Utilization & Storage (CCUS), yang berfungsi untuk menangkap dan menyimpan karbon guna mendukung target dekarbonisasi nasional.
Dengan kombinasi strategi bisnis yang inovatif dan pengembangan teknologi yang berkelanjutan, Elnusa optimis dapat menghadapi tantangan industri energi di masa depan. Melalui investasi yang terarah dan sinergi antar subholding Pertamina, perusahaan berkomitmen untuk tidak hanya meningkatkan efisiensi operasional, tetapi juga berkontribusi pada ketahanan energi nasional serta keberlanjutan industri energi di Indonesia.(*)
Stok Minyak AS Menyusut, WTI-Brent Kompak Naik
Pada sesi tertinggi, kedua patokan tersebut sempat melonjak lebih dari USD1 per barel.
