KABARBURSA.COM - Presiden RI Prabowo Subianto resmi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP), sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan nasional dan mewujudkan swasembada beras.
Dalam Inpres tersebut, Prabowo menegaskan pentingnya menyerap hasil panen petani secara optimal guna memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri tanpa mengandalkan impor. Menurutnya, tanpa pangan, maka tidak ada negara.
Presiden juga menekankan bahwa pangan adalah fondasi utama negara, sehingga para petani yang memproduksi pangan layak disebut sebagai tulang punggung bangsa.
"Alhamdulillah Bapak Presiden Prabowo telah mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2025. Tentu ini akan menjadi pedoman bersama pemerintah dengan Perum Bulog agar bagaimana dapat menyerap hasil panen petani kita secara maksimal," ujar Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo Adi, melalui pernyataan resmi, dikutip Rabu, 9 April 2025.
Arief menambahkan, Inpres ini akan memperkuat instrumen perlindungan penyerapan gabah sesuai target dan mendukung pengelolaan stok CBP secara optimal. Ia menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk tidak lagi melakukan impor beras, sehingga produksi dalam negeri harus mampu memenuhi kebutuhan nasional.
“Pemerintah telah berkomitmen tidak ada impor beras lagi. Jadi produksi dalam negeri harus mampu memenuhi kebutuhan kita," kata Arief.
Berdasarkan Inpres tersebut, target pengadaan beras dalam negeri pada 2025 ditetapkan sebesar 3 juta ton. Pemerintah juga menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp 6.500 per kilogram untuk Gabah Kering Panen (GKP) dengan semua kualitas di tingkat petani. Penugasan pengadaan ini diberikan kepada Bulog berdasarkan keputusan rapat koordinasi bidang pangan.
Selain untuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), cadangan beras pemerintah juga dialokasikan untuk bantuan pangan, tanggap darurat bencana, program makan bergizi gratis, hingga bantuan pangan luar negeri.
"Kalau instruksi untuk kami di Badan Pangan Nasional, meliputi menghitung kebutuhan anggaran dan memberi penugasan ke Bulog untuk penyelenggaraan CBP. Lalu menyusun struktur biaya HPP dan menetapkannya serta petunjuk teknis pengadaan gabah atau beras dalam negeri untuk CBP. Kompensasi dan margin penugasan yang wajar juga kami koordinasikan bersama Kementerian Keuangan," jelas Arief.
Lebih lanjut, Arief menekankan bahwa kecukupan stok CBP menjadi faktor penting dalam menjaga stabilitas harga dan pasokan pangan. Cadangan ini memungkinkan pemerintah melakukan intervensi pasar ketika terjadi fluktuasi harga ataupun untuk membantu masyarakat berpendapatan rendah.
"Kecukupan stok beras yang ada di Bulog itulah yang menopang stabilitas pasokan dan harga pangan, sebab dengan stok yang ada dan cukup, dapat dilakukan berbagai intervensi stabilisasi pangan seperti penyaluran beras SPHP dan bantuan pangan beras. Impaknya bisa kita lihat bahwa inflasi terjaga hingga hari ini," kata Arief.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat inflasi beras pada Maret 2025 tercatat sebesar 0,55 persen, naik dari 0,26 persen pada Februari 2025.
Adapun puncak panen raya diperkirakan terjadi pada Maret 2025 dengan produksi mencapai 5,57 juta ton. Produksi diproyeksikan turun menjadi 4,95 juta ton pada April dan 2,92 juta ton di Mei. Karena itu, Bulog diharapkan bisa meningkatkan intensitas penyerapan di bulan April ini.
Sejak 2022, NFA bersama Bulog terus memperkuat cadangan beras nasional. Di akhir 2022, stok beras tercatat 326 ribu ton, lalu meningkat menjadi 810 ribu ton di akhir 2023. Pada penghujung 2024, stok beras mencapai angka tertinggi dalam empat tahun terakhir, yakni 2 juta ton. Hingga akhir Maret 2025, stok CBP kembali meningkat menjadi 2,2 juta ton.
Impor Beras Indonesia
Sejak awal tahun 2025, Indonesia masih mengandalkan impor beras untuk menjaga kestabilan pasokan pangan nasional, terutama selama periode sebelum panen raya yang biasanya terjadi pada bulan Maret. Meski Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan komitmennya untuk menghentikan impor beras dan memperkuat ketahanan pangan nasional melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2025, realisasi impor tetap terjadi di awal tahun sebagai langkah antisipasi terhadap lonjakan kebutuhan dan penurunan produksi domestik.
Pada Oktober 2024, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengumumkan rencana pemerintah untuk mengimpor satu juta ton beras dari India pada 2025. Impor ini direncanakan sebagai respon atas penurunan produksi dalam negeri yang diperkirakan menyusut 2,43 menjadi 30,34 juta ton akibat musim tanam yang tertunda dan cuaca ekstrem berkepanjangan selama 2023. Langkah ini bertujuan untuk mengisi kekosongan stok selama masa paceklik dari Desember hingga Februari.
Namun pada November 2024, Zulkifli Hasan mengubah pernyataannya dengan mengatakan bahwa pemerintah kemungkinan tidak akan melakukan impor beras pada 2025. Hal ini menunjukkan adanya ketidakpastian dalam kebijakan pangan nasional, meskipun rencana impor sebelumnya sudah sempat diumumkan secara resmi.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman juga menyuarakan optimisme dengan menargetkan produksi beras nasional sebesar 32 juta ton pada 2025. Jika target ini tercapai, maka Indonesia diproyeksikan tidak lagi membutuhkan impor beras. Sebagai perbandingan, produksi beras nasional pada 2024 diperkirakan sebesar 30,34 juta ton.
Namun, prediksi dari badan internasional menunjukkan hal yang berbeda. Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan Indonesia tetap akan mengimpor beras sebesar 1,9 juta ton sepanjang 2025. Ini mencerminkan bahwa meskipun ada semangat menuju swasembada, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa impor masih menjadi solusi atas tantangan pasokan pangan domestik.
Keraguan terhadap kemampuan Indonesia untuk sepenuhnya lepas dari impor juga datang dari negara mitra dagang. Duta Besar Vietnam untuk Indonesia, Ta Van Thong, menyatakan bahwa meskipun Indonesia berencana menghentikan impor, perubahan iklim dan ketidakpastian produksi dapat menjadi hambatan serius. Ia meyakini bahwa Indonesia mungkin masih membutuhkan beras impor dalam jangka pendek hingga menengah.
Dengan kondisi ini, pemerintah Indonesia tetap harus menyeimbangkan antara upaya meningkatkan produksi domestik dan kebutuhan akan stabilitas pasokan. Komitmen Prabowo dalam Inpres 6/2025 menunjukkan arah kebijakan yang jelas menuju kemandirian pangan. Namun, hingga produksi nasional benar-benar mampu mencukupi kebutuhan seluruh rakyat, impor tampaknya masih menjadi instrumen cadangan yang digunakan dengan penuh pertimbangan.(*)