Logo
>

Stripping Ratio Tinggi, Cadangan Batu Bara RI Bisa Turun 11 Miliar Ton

Lebih dari 50 persen cadangan nasional memiliki stripping ratio 1:10.

Ditulis oleh Dian Finka
Stripping Ratio Tinggi, Cadangan Batu Bara RI Bisa Turun 11 Miliar Ton
Ilustrasi hasil tambang batu bara.

KABARBURSA.COM — Cadangan batu bara Indonesia memang melimpah, tapi tidak semuanya ekonomis. Pemerintah memperingatkan, jika harga batu bara anjlok, potensi cadangan bisa turun drastis dari 31 miliar ton menjadi hanya 20 miliar ton karena tingginya stripping ratio (SR).

Hal ini disampaikan Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Ditjen Minerba Kementerian ESDM Surya Herjuna, dalam forum Batu Bara dan Kedaulatan Energi di Jakarta Selatan, Rabu, 28 Mei 2025. 

Stripping ratio adalah istilah penting dalam industri pertambangan yang merujuk pada perbandingan volume material yang harus dipindahkan (biasanya tanah penutup atau overburden) dengan volume bijih (ore) yang bisa ditambang dan diolah secara ekonomis. 

Surya menekankan pentingnya hilirisasi untuk menjaga keberlanjutan sektor batu bara di tengah fluktuasi harga dan transisi energi global.

“Cadangan batu bara Indonesia saat ini mencapai sekitar 31 miliar ton dari total sumber daya 97 miliar ton. Kalau kita produksi 400 juta ton per tahun, secara teoritis ini bisa bertahan ratusan tahun,” kata Surya.

Namun, lanjutnya, asumsi itu hanya berlaku jika keekonomian batu bara tetap terjaga. Masalahnya, lebih dari 50 persen cadangan nasional memiliki stripping ratio 1:10. Artinya, untuk mendapatkan 1 ton batu bara, pelaku usaha harus menggali 10 ton tanah penutup. Ini sangat mahal secara operasional.

“Kalau harga batu bara turun tajam, maka eksplorasi di cadangan seperti itu tidak lagi ekonomis. Akibatnya, proyeksi cadangan bisa menyusut drastis menjadi hanya 20 miliar ton,” jelas Surya.

Industri Strategis, Kontribusi Nyata

Meskipun menghadapi tekanan dari sisi teknis dan pasar global, Surya menegaskan bahwa batu bara tetap menjadi komoditas vital bagi Indonesia. Selain menjadi penopang utama kelistrikan nasional melalui PLTU, batu bara juga menjadi bahan baku penting di industri semen dan pupuk.

“Kontribusinya terhadap penerimaan negara sangat signifikan. Tahun lalu saja, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor batubara mencapai Rp140 triliun,” paparnya.

Di luar kontribusi fiskal, sektor ini juga berperan penting secara sosial. Surya menyebut bahwa dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan batu bara mencapai hampir Rp1 triliun, yang sebagian besar disalurkan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di wilayah tambang.

“Industri ini menyerap sekitar 289 ribu tenaga kerja, baik secara langsung maupun melalui rantai subkontraktor. Ini tidak bisa diabaikan karena dampaknya sangat besar bagi perekonomian lokal, terutama di daerah-daerah terpencil,” tegas dia.

Potensi Kalori Rendah, Peluang Hilirisasi

Lebih jauh, Surya mengungkapkan bahwa dari sisi struktur cadangan, sekitar 73 persen batubara Indonesia saat ini berada pada kategori kalori rendah, yaitu 3.000–4.000 kkal/kg. Kondisi ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi transformasi industri batubara nasional.

“Kalau kita hanya mengandalkan ekspor atau pembakaran langsung di PLTU, nilai tambahnya kecil dan emisinya tinggi. Oleh karena itu, pemerintah mendorong hilirisasi batubara, terutama untuk batubara kalori rendah yang cadangannya dominan,” ujarnya.

Ia mencontohkan bahwa batubara kalori rendah bisa diolah menjadi syngas (synthetic gas), dimethyl ether (DME), dan produk turunan lain yang bisa menjadi substitusi gas alam. Apalagi dalam konteks pengurangan impor LPG, proyek DME bisa menjadi solusi strategis.

“Kami mendorong perusahaan-perusahaan tambang kalori rendah yang saat ini masih dorman karena kesulitan pasar untuk kembali beroperasi. Kita harus cari cara agar nilai ekonomi batubara tetap terjaga sekaligus mendukung agenda energi bersih,” ucap Surya.

Payung Hukum dan Insentif Sudah Disiapkan

Untuk mendukung hilirisasi batu bara, pemerintah telah menyiapkan kerangka hukum dan berbagai insentif fiskal. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 menjadi dasar hukum penting untuk proyek-proyek hilirisasi.

“Selain itu, pemerintah juga telah menyiapkan insentif seperti tax allowance untuk proyek hilirisasi. Kita ingin proyek-proyek ini segera terealisasi dan bisa memberikan energi yang lebih bersih dibandingkan pembakaran batu bara secara langsung,” jelasnya.

Tak hanya aspek ekonomi, Surya menyebut bahwa pemerintah juga aktif mengkaji penerapan teknologi ramah lingkungan seperti carbon capture, utilization and storage (CCUS), guna menekan emisi gas rumah kaca sesuai komitmen dalam Paris Agreement.

“Memang ada tantangan dari sisi keekonomian dan teknologi, tapi kajian terus berjalan. Kita tidak boleh berhenti mencari jalan untuk menekan emisi tanpa mengorbankan ketahanan energi nasional,” tutupnya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.