KABARBURSA.COM – Pergerakan harga minyak mentah dunia masih dibayangi ketidakpastian hingga pertengahan Juni 2025. Meski proyeksi jangka pendek terlihat stabil, pengamat pasar modal Wahyu Laksono mengatakan ketegangan geopolitik dan lemahnya permintaan global bisa membawa harga minyak ke dua arah ekstrem dan apa pun skenarionya, APBN Indonesia tetap di ujung tanduk.
“Proyeksi memang relatif stabil di kisaran USD 73 hingga USD 75 per barel. Tapi, jangan salah baca. Stabil secara grafik belum tentu aman bagi fiskal kita. Karena Indonesia net importir, setiap dolar kenaikan tetap berdampak signifikan terhadap APBN,” ujar Wahyu kepada KabarBursa.com di Jakarta, Kamis, 19 Juni 2025.
Menurut data yang dirilis Trading Economics, harga minyak mentah jenis WTI diperkirakan berada di level USD 73,32 per barel pada akhir kuartal II 2025, dan naik tipis menjadi USD 74,33 per barel hingga pertengahan 2026. Sementara itu, minyak Brent—yang menjadi acuan harga energi global—diperkirakan akan diperdagangkan pada USD 74,56 per barel kuartal ini, dan bisa mencapai USD 75,54 per barel dalam 12 bulan mendatang.
Namun, Kementerian Ekonomi Rusia merilis outlook lebih konservatif. Dalam laporan April 2025, lembaga tersebut memangkas proyeksi harga rata-rata Brent tahun ini menjadi USD 68 per barel, yang mencerminkan kekhawatiran akan pelemahan permintaan global, terutama dari China dan negara berkembang.
“Pasar memang tidak hanya bergerak karena data ekonomi, tapi juga faktor psikologis dan geopolitik. Tanpa sentimen baru, reli harga minyak bisa disebut teknikal. Dan itu berarti sangat mudah terkoreksi,” jelas Wahyu.
Wahyu mengatakan tensi geopolitik bisa dengan cepat mendorong harga minyak melonjak, bahkan melampaui proyeksi teknikal saat ini. “Jika ada gangguan pasokan, terutama lewat jalur strategis seperti Hormuz, proyeksi konservatif tidak berlaku. Harga bisa loncat ke level USD 90, bahkan USD 100 dalam waktu singkat,” kata Wahyu.
Namun, ia juga menyebut skenario sebaliknya. Jika konflik mereda dan pasokan tetap stabil, harga kemungkinan justru akan terkoreksi mendekati proyeksi Rusia yang lebih rendah.
APBN di Tengah Risiko Energi
Terlepas dari semua proyeksi, Wahyu menegaskan bahwa kondisi fiskal Indonesia tetap rentan. Sebagai negara net-importir minyak, setiap kenaikan harga global langsung berdampak pada pengeluaran APBN, terutama untuk subsidi energi dan biaya impor BBM.
“Ketergantungan kita terhadap energi impor adalah kelemahan struktural. Harga minyak dunia naik atau turun satu dolar, dampaknya bisa triliunan rupiah untuk APBN,” katanya.
Ia menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS turut memperparah tekanan karena membuat biaya impor energi kian mahal. Kondisi ini berisiko memperbesar subsidi dan memperlebar defisit anggaran, yang pada akhirnya memaksa pemerintah memilih antara menaikkan harga BBM atau menanggung beban fiskal yang semakin berat.
Dari sisi pasar modal, Wahyu menyarankan investor untuk lebih waspada terhadap sektor yang terpapar langsung pada harga energi global. Saham-saham emiten sektor transportasi, industri berbasis bahan bakar, dan komoditas perlu dimonitor ketat, terutama jika harga minyak bergerak di luar proyeksi teknikal.
“Kalau harga minyak melonjak, emiten transportasi bisa tertekan margin-nya. Tapi sektor migas dan energi terbarukan bisa mendapat sentimen positif. Semua tergantung arah pergerakan harga dalam beberapa bulan ke depan,” ujarnya.
Wahyu juga mengingatkan agar pelaku pasar tidak hanya bergantung pada outlook satu sumber saja. Kombinasi data teknikal, proyeksi fundamental, dan perkembangan geopolitik harus dianalisis secara simultan. “Stabil dalam grafik belum tentu stabil dalam fiskal. Kita harus tetap waspada dan antisipatif,” katanya.(*)