Logo
>

Suku Bunga The Fed Mandek, Tarif Trump Picu Ketidakpastian

The Fed menahan suku bunga di kisaran 4,25–4,50 persen, di tengah tekanan tarif dagang Trump yang menambah ketidakpastian arah inflasi dan sentimen pasar global.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Suku Bunga The Fed Mandek, Tarif Trump Picu Ketidakpastian
Seorang nasabah menghitung uang dolar AS di sebuah tempat penukaran valuta asing di Jakarta. Kinerja nilai tukar dan pergerakan dolar menjadi indikator penting dalam merespons kebijakan suku bunga The Fed dan tarif perdagangan global. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve atau The Fed, memilih menahan suku bunga acuannya di kisaran 4,25 hingga 4,50 persen, sembari mencermati arah kebijakan ekonomi Presiden Donald Trump yang masih sulit ditebak. Ketidakpastian akibat tarif impor yang naik-turun membuat The Fed urung mengambil keputusan besar terkait pelonggaran atau pengetatan moneter.

Presiden The Fed Chicago, Austan Goolsbee, menyebut situasi saat ini bak menahan napas di tengah kabut tebal. “Kami masih mencoba menemukan garis benang merah di tengah semua kebisingan data,” ujarnya dikutip dari Reuters di Jakarta, Kamis, 15 Mei 2025.

Laporan inflasi terbaru memang memberi sedikit harapan. Indeks harga konsumen (CPI) untuk April naik 2,3 persen secara tahunan—angka terendah dalam empat tahun. Namun bila dikecualikan harga pangan dan energi, inflasi inti masih bertahan di level 2,8 persen, jauh di atas target dua persen The Fed.

“Kita memang terus mendapatkan angka-angka yang tampaknya baik-baik saja,” kata Goolsbee. “Tapi tidak realistis kalau kita langsung menyimpulkan hal besar dari data yang volatil setiap bulan.”

Sikap menahan diri ini diamini oleh Gubernur Fed wilayah San Francisco, Mary Daly. “Kesabaran adalah kata kunci saat ini,” ujar Daly dalam forum California Bankers Association. “Kita sedang berada di posisi yang cukup siap menghadapi apapun.”

Sejak awal 2025, The Fed memang belum mengubah suku bunga acuannya dalam tiga pertemuan berturut-turut. Ketua Fed Jerome Powell pun sudah memberi sinyal tidak akan terburu-buru melangkah, mengingat situasi global yang belum pasti.

Pemerintahan Trump menjadi sumber utama ketidakpastian tersebut. Di satu sisi, Trump mendorong tarif impor ke rekor tertinggi, tapi di sisi lain kerap menunda dan menangguhkan kebijakan yang paling agresif. Barang-barang elektronik sempat dikecualikan, namun sektor farmasi dan industri berat mulai dilirik untuk dikenai tarif tambahan.

Akibatnya, para pengambil kebijakan moneter harus bekerja ekstra hati-hati. Mereka sulit menakar sejauh mana dampak nyata dari lonjakan tarif terhadap inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun pasar tenaga kerja.
Di lapangan, sinyal yang diterima juga belum satu suara. Daly, yang beberapa pekan terakhir mengunjungi wilayah barat Amerika Serikat, mengaku mendengar kekhawatiran dari pelaku usaha dan rumah tangga. Namun ia belum melihat bukti kuat bahwa mereka mulai menahan konsumsi atau investasi.

“Kalau Anda berada di negara bagian pariwisata seperti Nevada—apalagi Las Vegas—kekhawatiran soal turis internasional yang menyusut itu nyata,” ujarnya. “Tapi di negara bagian seperti Utah dan Alaska, masih ada jalur aktivitas ekonomi yang dipercaya bisa terus berjalan.”

Sementara itu, pasar obligasi ikut bereaksi terhadap data inflasi dan kebijakan The Fed yang belum bergeser. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik tipis ke 4,48 persen dari 4,45 persen sehari sebelumnya. Yield obligasi tenor dua tahun juga naik ke 4,01 persen.

Di pasar energi, harga minyak mentah acuan WTI turun 44 sen ke USD63,23 per barel, dan Brent terkoreksi 46 sen menjadi USD66,17 per barel. Sementara di pasar mata uang, dolar AS sedikit melemah terhadap yen ke posisi 147,16, sedangkan euro menguat ke USD1,1192.

Meski tampak tenang di permukaan, sinyal yang dikirim The Fed tetap sama, yakni wait and see. Sampai dampak tarif Trump terhadap inflasi dan konsumsi domestik benar-benar terukur, suku bunga tampaknya akan tetap tertahan.

Ekonomi Masih Tumbuh, tapi Sentimen Melemah


Bank Sentral Amerika Serikat menilai fondasi ekonomi domestik masih cukup kokoh. Presiden The Fed San Francisco, Mary Daly, menyebutkan ekonomi AS saat ini berada di jalur pertumbuhan yang solid karena disokong oleh pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang mulai melandai.

“Orang-orang merasa ekonomi berjalan cukup baik, tinggal menunggu ketidakpastian ini terselesaikan agar bisa melaju lebih baik lagi,” kata Daly.

Namun, tidak semua indikator menunjukkan optimisme. Wakil Ketua The Fed, Philip Jefferson, mengakui bahwa sentimen pelaku usaha dan rumah tangga cenderung menurun belakangan ini. Dalam paparannya di New York, Rabu waktu setempat, ia menyebut perlambatan Produk Domestik Bruto (PDB) AS pada kuartal I lebih disebabkan oleh data impor yang terlalu membesar—bukan perlambatan riil aktivitas ekonomi.

“Saya mencermati dengan sangat hati-hati apakah ada tanda-tanda pelemahan nyata di dalam data keras,” kata Jefferson. Ia menilai pasar tenaga kerja masih kuat, namun tekanan inflasi belum sepenuhnya usai.

Jefferson menyampaikan kekhawatiran bahwa kenaikan tarif impor yang diumumkan pemerintahan Trump berpotensi mengganggu proses penurunan inflasi. Ia menegaskan, jika kebijakan tarif tersebut berlangsung dalam jangka panjang, besar kemungkinan inflasi kembali melonjak, setidaknya dalam periode sementara.

“Apakah tekanan inflasi ini akan bertahan atau tidak tergantung pada bagaimana kebijakan perdagangan itu dijalankan, seberapa besar dampaknya terhadap harga konsumen, reaksi rantai pasok, dan kinerja ekonomi secara keseluruhan,” kata Jefferson.

Di sisi lain, pelaku pasar kini mulai memperhitungkan potensi perubahan kebijakan moneter menjelang akhir tahun. Mayoritas analis memproyeksikan The Fed akan mendapatkan cukup data pada September untuk mulai menurunkan suku bunga. Setidaknya satu hingga dua kali pemangkasan diperkirakan bisa terjadi sebelum akhir tahun ini.

Kendati demikian, arah suku bunga The Fed masih akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana tarif Trump diimplementasikan, serta dampaknya terhadap inflasi dan konsumsi rumah tangga.

Dampak Kebijakan The Fed dan Tarif Trump pada Pasar Keuangan Indonesia

Kebijakan moneter agresif The Fed dan kebijakan tarif perdagangan Presiden Trump menciptakan gejolak di pasar global yang berimbas pada Indonesia. Pada rapat 7 Mei 2025, The Fed memutuskan mempertahankan suku bunga acuan AS di kisaran 4,25–4,50 persen seraya memperingatkan risiko inflasi yang lebih tinggi akibat kebijakan tarif AS.

Di sisi lain, Amerika Serikat sempat mengumumkan tarif impor resiprokal 32 persen khusus untuk barang Indonesia yang kemudian ditangguhkan selama 90 hari. Kombinasi suku bunga tinggi dan ketegangan dagang ini meningkatkan ketidakpastian bagi investor global.

Dalam lima indikator berikut, pengaruh situasi ini tercermin jelas:

1. Yield US Treasury 10 Tahun

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS 10-tahun mencerminkan biaya pinjaman jangka panjang AS dan ekspektasi suku bunga. Dilansir dari Reuters, pertengahab Mei 2025, yield 10-tahun AS naik ke sekitar 4,5 persen. Kenaikan ini didorong oleh ekspektasi inflasi global yang memburuk akibat kebijakan tarif baru AS.

Reuters mencatat kenaikan yield terjadi karena investor meyakini tarif Trump dapat menaikkan harga barang sehingga The Fed mungkin enggan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat.

Dalam konteks Indonesia, yield US yang tinggi berarti imbal hasil aset keuangan AS semakin menarik sehingga modal global cenderung beralih dari pasar negara berkembang ke AS. Akibatnya, obligasi korporasi dan pemerintah Indonesia menjadi kurang diminati sehingga menekan harga dan mendorong kenaikan imbal hasil (spread) obligasi domestik.

Rupiah pun berpotensi melemah terhadap dolar seiring aliran modal ke aset ber-denominasi USD.

2. Indeks Dolar AS (DXY)

Indeks Dolar AS (DXY) mengukur kekuatan dolar terhadap sekeranjang mata uang utama. Menjelang pertengahan Mei 2025, DXY berada di level sekitar 100–101. Angka ini tergolong tinggi. Penguatan dolar terjadi karena perbedaan suku bunga AS yang relatif tinggi dan permintaan safe-haven saat ketidakpastian perdagangan meningkat.

Data Reuters mencatat DXY berada di posisi 100,88 pada 15 Mei dan Rupiah menguat tipis ke Rp16.430/USD setelah sempat di Rp16.820/USD minggu sebelumnya. Namun secara umum, posisi DXY mendekati 100 menunjukkan dolar cukup kuat.

Dampaknya bagi Indonesia tak lain adalah rupiah yang tertekan. Saat DXY menguat, impor Indonesia menjadi mahal sehingga potensi inflasi meningkat. Selain itu, pelaku pasar di Bursa Efek Indonesia harus membayar lebih banyak rupiah untuk mendapatkan dolar yang dapat membatasi arus investasi masuk.

Singkatnya, indeks dolar tinggi menambah risiko depresiasi mata uang domestik dan mengikis kepercayaan pasar terhadap aset lokal.

3. Indeks Volatilitas Pasar (VIX)

VIX adalah ukuran volatilitas (ekspektasi fear gauge) pasar saham AS. Semakin tinggi VIX, semakin besar kekhawatiran pasar. Berdasarkan data Mandiri Investasi, akhir April 2025, VIX tercatat sekitar 22, turun dari sekitar 25 minggu sebelumnya. Pertengahan Mei, level VIX kembali turun ke kisaran 18–19.

Penurunan ini mencerminkan sentimen risiko global yang sedikit membaik setelah adanya jeda dalam eskalasi tarif, misalnya relaksasi tarif otomotif oleh Trump. Namun, nilai VIX yang masih berada di atas level terendah historis (di bawah 15) menandakan masih ada ketidakpastian. Bagi investor ritel Indonesia, kenaikan VIX otomatis membuat pasar saham domestik lebih volatil.

Hal ini memicu aksi jual defensif, di mana investor asing maupun lokal menarik sebagian dana mereka demi melindungi modal. Sebaliknya, turunnya VIX seperti saat ini menandakan ketenangan relatif dan mendorong investor mencari peluang di aset berisiko (seperti saham Indonesia).

4. Arus Modal Asing di Bursa Efek Indonesia

Sentimen global tercermin pada aliran modal ke Indonesia. Data BEI per Maret 2025 menunjukkan jual bersih (net sell) asing mencapai Rp33,18 triliun (year-to-date). Bahkan hanya dalam periode 3 April–2 Mei 2025, BEI melaporkan net sell asing sekitar Rp69,8 triliun.

Angka-angka ini menunjukkan pelarian modal asing dalam volume besar. Pihak BEI dan analis mencatat faktor pemicu termasuk meningkatnya kekhawatiran atas ketegangan dagang global dan tren kenaikan suku bunga AS. Misalnya, Bank Indonesia menyebut faktor eksternal seperti kebijakan tarif AS dan ekspektasi rapat The Fed turut menekan rupiah dan IHSG.

Arus keluar ini menekan indeks saham. IHSG pada akhir Maret 2025 sempat amblas hampir 4 persen seiring aksi jual besar-besaran asing. Bagi investor ritel, tren ini memperingatkan adanya risiko pasar melemah dan likuiditas menipis. Saham-saham yang banyak dimiliki asing, seperti bank besar, mengalami tekanan jual dominan sehingga pergerakan IHSG bisa tajam ke bawah.
L

5. Credit Default Swap (CDS) Indonesia 5 Tahun

CDS 5-tahun adalah premi asuransi kredit yang mencerminkan persepsi risiko gagal bayar Indonesia. Berdasarkan catatan Samuel Sekuritas Indonesia, pada April 2025, premi CDS 5-tahun Indonesia melonjak 51,1 persen secara YtD menjadi sekitar 113,35 basis poin. Sebelumnya pada pertengahan Maret premi ini berada di level sekitar 86 bps.

Kenaikan tajam CDS mengindikasikan investor semakin waspada. Mereka menuntut premi lebih tinggi untuk menutup risiko utang Indonesia. Faktor penyebabnya antara lain memburuknya indikator makro domestik dan peningkatan liabilitas eksternal, serta sentimen politik dan fiskal. Hasilnya, biaya pinjaman pemerintah Indonesia naik.

Dengan CDS yang melebar, investor asing lebih berhati-hati masuk melalui Surat Berharga Negara atau SBN. Imbal hasil SBN pun harus lebih tinggi untuk menarik minat. Terlebih, seiring The Fed mempertahankan suku bunga tinggi, perbedaan suku bunga AS-RI tetap lebar.

Kombinasi inilah yang mendorong premi risiko terjaga tinggi. Secara praktis, CDS yang naik mengingatkan investor ritel bahwa utang negara (dan korporasi dalam rupiah) dianggap lebih berisiko yang dapat menekan harga obligasi dan memperlebar spread suku bunga di pasar domestik.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).