Logo
>

Surplus Perdagangan RI Tertekan, Tarif AS dan Impor Jadi Biang Kerok

Penurunan tajam perdagangan RI terjadi di tengah lonjakan impor barang modal dan lemahnya performa ekspor, terutama dari sektor pertambangan yang selama ini menjadi andalan devisa.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Surplus Perdagangan RI Tertekan, Tarif AS dan Impor Jadi Biang Kerok
Ilustrasi penurunan ekspor sejumlah komoditi di Indonesia. (Foto: doc ESDM)

KABARBURSA.COM - Anjloknya surplus perdagangan Indonesia pada April 2025 menjadi hanya USD 160 juta memunculkan kekhawatiran serius atas ketahanan eksternal ekonomi nasional. 

Penurunan tajam ini terjadi di tengah lonjakan impor barang modal dan lemahnya performa ekspor, terutama dari sektor pertambangan yang selama ini menjadi andalan devisa.

Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menilai kondisi ini sebagai alarm keras yang menunjukkan struktur perdagangan luar negeri Indonesia rapuh menghadapi tekanan global, khususnya dari kebijakan proteksionis Amerika Serikat.

“Penyusutan tajam ini bukan semata-mata akibat fluktuasi musiman. Ada tekanan struktural yang jauh lebih mendalam, terutama ketergantungan tinggi pada ekspor komoditas dan barang modal impor,” ujar Syafruddin kepada KabarBursa.com, Selasa, 3 Juni 2025.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor Indonesia tumbuh 21,84 persen secara tahunan, didorong arus barang dari China dan Singapura. Namun, ekspor hanya naik 5,76 persen, dengan kinerja ekspor produk tambang mencatat kontraksi lebih dari 20 persen. Melemahnya harga batu bara dan pemberlakuan tarif 10 persen dari Amerika Serikat sejak awal April juga memperburuk situasi.

Syafruddin menyoroti bahwa beban tarif dari AS, yang kembali menerapkan pendekatan proteksionis mirip era Presiden Trump, telah menekan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar global. 

Menurutnya, kondisi ini membuka fakta bahwa strategi ekspor Indonesia belum sepenuhnya tahan banting terhadap dinamika geopolitik dan kebijakan luar negeri negara mitra dagang utama.

“Ketika satu negara menerapkan kebijakan diskriminatif dan kita goyah, artinya struktur ekspor kita terlalu sempit. Diversifikasi pasar dan produk bukan lagi pilihan, tapi keharusan,” tegasnya.

Sementara inflasi domestik yang melandai ke 1,60 persen, dengan inflasi inti sebesar 2,4 persen, memang membuka ruang pelonggaran moneter. Namun, Syafruddin mengingatkan bahwa angka ini juga bisa menjadi indikasi melemahnya permintaan domestik, yang berpotensi menghambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan.

Ia mendorong pemerintah agar lebih agresif mendorong diplomasi dagang dan melakukan reposisi strategi industri nasional. Hal ini mencakup percepatan substitusi impor, penguatan daya saing manufaktur, serta penetrasi pasar non-tradisional untuk mengurangi ketergantungan pada negara mitra utama seperti Amerika Serikat.

“Kita butuh transformasi menyeluruh dalam pendekatan perdagangan luar negeri. Bukan hanya soal angka ekspor-impor, tapi menyangkut arah ekonomi nasional dalam menghadapi fragmentasi pasar global yang makin kompleks,” jelas Syafruddin.

Perlu Ambil Langkah Strategis 

Seperti diberitakan sebelumnya, Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, menekankan pentingnya posisi ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dalam struktur perdagangan luar negeri nasional. Dalam konteks tersebut, ia mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis melalui jalur negosiasi bilateral.

“Kenapa kita harus bernegosiasi? Karena kalau kita tidak bernegosiasi, akhirnya kita juga akan berat dari sisi ekspor ke Amerika yang kita sebenarnya cukup besar jumlahnya,” ujar Aviliani saat berbicara dalam diskusi daring bertajuk Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia, Jumat, 11 April 2025.

Sebagai latar belakang, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, sebelumnya mengungkapkan bahwa pasar Amerika Serikat menyumbang sekitar 17 persen dari total perdagangan Indonesia. Sisanya, yakni 83 persen, berasal dari negara-negara lain. Melihat proporsi tersebut, Aviliani menyarankan adanya penyesuaian dalam struktur impor Indonesia, salah satunya dengan mengalihkan sebagian impor dari negara lain ke AS demi menyeimbangkan neraca dagang.

“Jadi akhirnya policy adalah salah satunya memindahkan impor yang dari negara lain sebagian dipindahkan ke Amerika,” lanjutnya.

Lebih jauh, Aviliani mencermati bahwa berbagai negara pun tengah merespons kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat dengan cara serupa. Oleh karena itu, ia menyarankan agar Indonesia tidak mengandalkan pendekatan umum, melainkan memperkuat jalur negosiasi bilateral yang lebih spesifik dan terukur.

“Menurut saya hampir semua negara akan memberlakukan hal yang sama, sehingga negosiasi terkait dengan dagang itu harus dilakukan secara bilateral dari satu negara dengan negara lain,” ujarnya.

Sementara itu, kebijakan tarif resiprokal yang direncanakan oleh mantan Presiden Donald Trump mengalami penundaan. Pemerintah AS memberikan tenggat waktu selama 90 hari sebelum aturan tersebut mulai berlaku. Aviliani menilai jeda ini bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk merumuskan langkah lanjutan yang lebih komprehensif.

"Kita lihat kemarin ada perubahan, di mana ketika akan diberlakukan Mei, sekarang 90 hari lagi. Mungkin saja setelah 90 hari lagi bisa diperpanjang atau bisa tidak. Artinya apa? Manajemen risiko dari pemerintah maupun dunia usaha itu harus tahu, kalau itu tidak diberlakukan lagi, apa yang harus kita lakukan? Tapi kalau memang sudah diberlakukan 90 hari lagi, lalu apa yang harus dilakukan?” tuturnya.

Ia menegaskan bahwa dalam menghadapi ketidakpastian selama periode 90 hari tersebut, kerja sama erat antara pemerintah dan pelaku usaha sangat diperlukan. Tanpa sinergi yang kuat, konsekuensinya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat.

“Kita harus bersama-sama, tidak bisa membiarkan pemerintah berjalan sendiri, dunia usaha berjalan sendiri. Akibatnya nanti dampaknya kepada masyarakat,” ujar Aviliani.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.