KABARBURSA.COM – Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmi Radhi menilai beroperasinya PT Gag Nikel menyalahi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Menurutnya, UU tersebut telah menegaskan pelarangan aktivitas tambang di pulau kecil dengan luasan di bawah 2.000 kilometer persegi tanpa pengecualian. Di sisi lain, tambang timah yang dikelola oleh perusahaan yang kini telah diakuisisi oleh PT Antam Tbk (ANTM) tersebut membahayakan lingkungan.
Fahmi mengungkapkan, limbah tambang nikel menghasilkan debu yang mengandung arsenik yang dapat menyebar melalui angin. Debut tersebut, kata dia, dapat terbang hingga ratusan kilometer dan mengakibatkan dampak yang serius.
"Itu berdasarkan undang-undang yang sudah didukung oleh mahkamah agung maupun mahkamah konstitusi. Itu dilarang untuk melanggar penambangan di pulau kecil tadi tanpa syarat apapun gitu, ya. Nah, itu melanggar," tegas Fahmy.
Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Raja Ampat serta menjalankan penegakan hukum terhadap proses perizinan lima perusahaan tambang yang masih beroperasi.
Ia meminta agar di Indonesit tidak ada KKN atau kongkalikong yang membuat perusahaan ini memiliki izin. "Nah, ini barangkali perlu diusut kalau itu terbukti, ya harus ditindak secara pidana dengan aturan hukum yang ada,” ujarnya.
Keuntungan yang Didapat tak Sebanding Kerugian Negara
Lebih lanjut, Fahmy mengingatkan bahwa dampak kerusakan lingkungan dari aktivitas tambang nikel di Raja Ampat berpotensi menimbulkan kerugian yang melampaui skandal pertambangan timah oleh PT Timah Tbk.
Ia merujuk pada hasil studi sebelumnya yang mengungkapkan bahwa aktivitas tambang timah tersebut telah menyebabkan kerugian negara hingga Rp271 triliun akibat kerusakan lingkungan.
Dengan menjadikan angka tersebut sebagai acuan, Fahmy memperkirakan potensi kerugian di Raja Ampat bisa jauh lebih besar.
“Nah, maka berdasarkan hitungan itu ya sebesar itu kerugian kerusakan alam, tapi mestinya kalau di Raja Ampat itu jauh lebih besar,” katanya.
Menurut Fahmy, ekosistem Raja Ampat memiliki karakteristik unik yang membuatnya sangat rentan. Kawasan ini menjadi rumah bagi berbagai spesies langka, baik flora maupun fauna, yang tidak bisa digantikan apabila punah. Dampak ekologis dari kerusakan tersebut, lanjutnya, tidak dapat dikompensasi melalui reklamasi.
"Apalagi ini untuk di Raja Ampat, itu kan banyak flora dan fauna dan spesies yang itu langka. Kalau itu kemudian punah, itu kan nggak bisa direklamasi. Nggak bisa didatangkan lagi ikan yang mati tadi. Nah, maka itu kerugiannya sangat besar," kata Fahmy.
Lebih lanjut, Fahmy menyoroti keputusan pemerintah yang hingga kini belum mencabut izin usaha pertambangan (IUP) PT Gag Nikel. Ia menilai alasan yang dikemukakan pemerintah—lokasi tambang berada cukup jauh dari pusat konservasi—tidak dapat dijadikan justifikasi untuk tetap mengizinkan operasi pertambangan.
"Jadi kalau alasannya tidak ditutup itu karena jauh, saya kira itu tidak tepat juga," tegas Fahmy.(*)