Sedikitnya lima titik api terlihat di kapal tanker tersebut, sebagaimana dilaporkan oleh EUNAVFOR Aspides, organisasi angkatan laut Uni Eropa yang bertugas mengamankan perairan internasional.
Kobaran api ini meliputi area palka utama tempat minyak tersimpan, dan api juga merambat ke sekitar anjungan kapal. Gambar-gambar yang diunggah di media sosial X memperlihatkan betapa besarnya kobaran api tersebut, membuat kapal itu menjadi ancaman serius bagi lingkungan.
Sebelum kebakaran ini, pihak angkatan laut sudah memberikan peringatan keras mengenai potensi bencana ekologis yang dapat terjadi akibat besarnya volume minyak yang berada di atas kapal.
Diperkirakan, jika kapal tersebut sampai menumpahkan satu juta barel minyak ke Laut Merah, dampaknya bisa mencapai empat kali lipat dari bencana Exxon Valdez, salah satu insiden tumpahan minyak terbesar di dunia yang terjadi pada 1989 di perairan Alaska, Amerika Serikat.
Peringatan ini juga disampaikan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dalam pernyataan yang dirilis akhir pekan lalu.
Kapal Sounion dihantam rudal pada 21 Agustus ketika sedang bergerak di sepanjang pesisir Yaman dengan tujuan memasuki Laut Merah.
Kapal tanker tersebut memiliki kapasitas besar, sekitar satu juta barel minyak mentah, dan sebelumnya bersandar di terminal minyak Basrah, Irak. Meskipun dalam kondisi kritis, hingga Senin kemarin kapal ini masih berlabuh di perairan internasional, menurut laporan terbaru dari EUNAVFOR Aspides.
Serangan-serangan seperti ini bukanlah hal baru di wilayah tersebut. Militan Houthi yang berasal dari Yaman telah melancarkan berbagai serangan rudal dan pesawat tak berawak (drone) sejak November 2023.
Wilayah Laut Merah dan sekitarnya telah menjadi medan pertempuran, yang memaksa banyak kapal dagang mengambil rute yang jauh lebih panjang mengelilingi Afrika untuk menghindari potensi ancaman di perairan ini.
Keberadaan Houthi di wilayah Yaman dan aktivitas mereka yang kerap menargetkan kapal-kapal asing telah meningkatkan ketegangan di kawasan ini.
Dalam pernyataan yang dirilis oleh para pemberontak Houthi, mereka menyatakan bahwa serangan-serangan terhadap kapal-kapal dagang akan terus berlanjut.
Tindakan ini dianggap sebagai bentuk protes terhadap perang yang masih berkecamuk antara Israel dan Hamas. Meskipun tujuan Houthi lebih terfokus pada Laut Merah, mereka menggunakan konflik di Timur Tengah sebagai pembenaran untuk memperluas serangan mereka.
Awak kapal Sounion yang terancam oleh serangan ini segera dievakuasi pada 22 Agustus. Proses evakuasi tersebut didukung oleh kapal perusak angkatan laut Prancis yang tengah berpatroli di wilayah tersebut.
Kapal perusak ini bahkan berhasil menembak jatuh beberapa rudal yang ditembakkan dari wilayah yang dikuasai oleh Houthi di Yaman, mengurangi potensi bahaya lebih lanjut bagi kapal-kapal yang beroperasi di perairan internasional.
Namun, meskipun evakuasi berhasil dilakukan, nasib Sounion tak kunjung membaik. Setelah evakuasi selesai, kapal tersebut kembali menjadi sasaran serangan rudal pada 23 Agustus, menyebabkan kebakaran besar yang hingga kini masih belum berhasil dipadamkan.
Kebakaran yang melanda kapal Sounion ini bukan hanya mengancam keselamatan kapal dan awaknya, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat besar. Angkatan laut Uni Eropa telah memperingatkan bahwa kapal ini kini menjadi ancaman lingkungan yang nyata.
Laut Merah, yang merupakan jalur vital perdagangan global, bisa terancam oleh bencana ekologis yang besar jika minyak mentah dari kapal Sounion sampai bocor ke laut.
Situasi di Laut Merah kini semakin memanas. Serangan-serangan yang dilancarkan oleh Houthi bukan hanya mempengaruhi negara-negara di sekitarnya, tetapi juga mengancam kestabilan perdagangan internasional yang sangat bergantung pada kelancaran rute pelayaran di wilayah tersebut.
Pemerintah internasional kini menghadapi tekanan untuk segera mencari solusi guna menghentikan kekerasan yang terus meningkat di Laut Merah dan sekitarnya.
Bagi komunitas global, peristiwa ini memperkuat urgensi untuk menjaga keamanan laut dan memastikan bahwa konflik politik regional tidak merusak lingkungan serta perekonomian global.
Kebakaran di kapal Sounion menjadi pengingat betapa rapuhnya ekosistem Laut Merah jika dilanda tumpahan minyak berskala besar.
Seiring berjalannya waktu, dunia kini menunggu dengan cemas bagaimana situasi ini akan berakhir. Apakah kebakaran ini akan berhasil dikendalikan sebelum menjadi bencana ekologis yang lebih besar, ataukah Laut Merah akan menjadi saksi bisu dari salah satu insiden tumpahan minyak terburuk dalam sejarah modern? Hanya waktu yang bisa menjawab. (*)