KABARBURSA.COM - Ekonom senior dari Indef, Tauhid Ahmad, menyoroti berbagai tantangan yang akan dihadapi untuk merealisasikan Asta Cita Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Tauhid menilai, dari delapan agenda tersebut, empat di antaranya berfokus pada aspek ekonomi dan menjadi acuan untuk transisi dari era pemerintahan Jokowi ke Prabowo Subianto.
“Dari delapan Asta Cita tersebut, empat di antaranya menggambar tentang aspek ekonomi yang menjadi landasan untuk melakukan transisi dari era Jokowi ke Prabowo,” kata Tauhid Ahmad dalam diskusi virual bertema ‘Warisan Hutang Jokowi dan Prospek Pemerintahan Prabowo’, Senin, 16 September 2024.
Sebagai informasi, Prabowo-Gibran mengusung delapan misi di masa lima tahun pemerintahannya yang disebut Asta Cita, yang mencakup penguatan ideologi, di antaranya demokrasi, sistem pertahanan negara, swasembada pangan, dan pengembangan ekonomi kreatif.
Selain itu, mereka berjanji untuk memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi, meningkatkan kesempatan kerja, dan menjalankan reformasi di bidang politik, hukum, dan birokrasi.
Terutama pada target pertumbuhan ekonomi yang dinilai terlalu ambisius, yaitu antara 6-7 persen, bahkan kalau bisa mencapai 8 persen. Padahal, Bappenas hanya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,6 persen hingga 6,1 persen.
“Target 6-7 persen pertumbuhan memang ambisius, tapi secara pondasi riilnya sangat berbeda,” ujar Tauhid.
Lanjut dia, di era Jokowi, meski jumlah utang mengalami peningkatan yang sangat signifikan dengan alibu untuk membangun infrastruktur, pada kenyataannya hal itu tidak mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi.
Sekarang, jika melihat Asta Cita Prabowo-Gibran sepertinya terjadi transisi kebijakan yaitu dari fokus pembangunan infrastruktur ke pengembangan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, dan penguatan peran penyandang disabilitas.
Hal itu dapat dilihat dalam APBN 2024. Tampak penurunan drastis pada alokasi anggaran untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur, tidak adanya anggaran untuk penjamin infrastruktur sebesar Rp800 triliun per tahun yang dihilangkan.
“Isu-isunya bergeser ke SDM, makan siang gratis, industri pangan. Isu SDM lainnya, pemerataan pembangunan, lapangan kerja, teknologi atau kemandirian bangsa yang filosofinya melalui pengembangan SDM,” jelasnya.
Namun, Menurut Tauhid, target-target tersebut sulit terwujud mengingat keterbatasan sumber dana. Dia mencatat bahwa 14 prioritas RPJMN berpotensi mengalami perubahan, termasuk hilirisasi industri, swasembada pangan, dan pembangunan desa.
Dalam konteks ini, mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen pada 2025-2029 akan menjadi tantangan besar.
“Dari beragamnya target, tinggal bagaimana cara mewujudkannya, tapi tidak yakin itu semua bisa didanai dengan sumber-sumber peneriman yang maksimal,” imbuhnya.
Di sisi lain, hal yang dia soroti ialah skenario perpajakan hingga 2029 yang juga menunjukkan hambatan. Mengingat target penerimaan pajak yang dipatok oleh Prabowo-Gibran sebesar 23 persen, tampaknya sulit dicapai.
Saat ini, penerimaan pajak Indonesia hanya sekitar 12-13 persen dari hasil pengolahan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), lebih rendah dibandingkan 14,21 persen yang pernah dicapai pada 2014.
Faktor-faktor seperti harga komoditas global, ekonomi digital yang belum direspon sistem perpajakan, serta sektor manufaktur yang lemah berkontribusi terhadap masalah ini.
“Maksimal hanya 11,48 persen dari pajak atau lebih rendah dari 2014 yang pernah capai 14.21 persen,” terang dia.
Tauhid menilai bahwa dengan kondisi saat ini, akan sulit bagi pemerintah untuk mencapai lonjakan signifikan dalam penerimaan pajak dan rasio pajak hingga 2029.
Ia juga menekankan bahwa defisit APBN memiliki dampak besar, ditambah lagi dengan ketergantungan yang masih tinggi terhadap utang, terutama ketika penerimaan pajak diproyeksikan stagnan, dengan perkiraan rasio pajak pada 2024 hanya sekitar 10,2 atau 10,3 persen.
“Sektor manufaktur yang lemah juga menjadi faktor kenapa tax income tak kunjung meningkat,” pungkasnya.
Jumlah Penduduk Miskin RI Bertambah 9,48 Juta
Jumlah kelas ekonomi bawah alias penduduk miskin di masa 10 tahun pemerintahan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengalami peningkatan. Artinya, terjadi penurunan kelas ekonomi menengah.
Berdasarkan kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengacu pada Bank Dunia, jumlah masyarakat kelas menengah menyusut sebanyak 9,48 juta orang, dari 57,33 juta orang pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024. Ini berarti penurunan persentase sebesar 4,13 persen dari total populasi.
Padahal, sebelumnya, pada periode 2002-2016, Bank Dunia mengapresiasi perkembangan kelas menengah di Indonesia melalui laporan berjudul ‘Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class’ yang menyebutkan bertumbuh pesatnya kelas menengah.
Pada periode tersebut, masyarakat kelas menengah Indonesia tumbuh dari 7 persen menjadi 20 persen dari total penduduk, mencapai 50 juta orang pada 2016. Selain itu, sekitar 115 juta orang atau 45 persen dari total populasi berada di jalur menuju kelas menengah.
Menurut Bright Institute kelas menengah memainkan peran krusial dalam perekonomian suatu negara. Di sisi permintaan, pertumbuhan kelas menengah yang pesat dapat meningkatkan konsumsi, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi ketimpangan, dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
“Dari sisi penawaran, kelas menengah berkontribusi pada penciptaan lapangan pekerjaan, kondisi pekerja yang lebih baik, dan investasi dalam pendidikan, yang semuanya dapat memperluas jumlah kelas menengah di masa depan,” tulis Bright Institute dalam rilisnya, Selasa, 17 September 2024.
Berbanding terbalik dengan masa pemerintahan Jokowi yang mengindikasikan kinerja ekonominya yang kurang memuaskan. Hal ini diperparah dengan bertambahnya jumlah kelompok yang menuju kelas menengah dan kelompok rentan miskin, serta stagnasi jumlah penduduk miskin antara 2019-2024.
Fenomena ini menambah risiko bagi perekonomian Indonesia di tahun-tahun mendatang. Jika terjadi guncangan eksternal atau kondisi global memburuk, Indonesia mungkin tidak memiliki daya tahan yang cukup. Ambisi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen menjadi hampir mustahil, karena penurunan kelas menengah menghambat pertumbuhan konsumsi dan dapat mempengaruhi investasi kecil dan menengah.
“Impian untuk tumbuh 8 persen nyaris mustahil terwujud. Berkurangnya kelas menengah akan menyulitkan pertumbuhan konsumsi. Bahkan sebagian investasi yang berskala kecil dan menengah pun akan tergerus,” terangnya.
Masalah ini tidak hanya terbatas pada kelas menengah, tetapi juga mencakup mereka yang rentan miskin dan miskin, yang menghadapi situasi lebih serius. Banyak dari mereka yang berada di sekitar garis kemiskinan dan sangat rentan jatuh miskin, sebagian besar hanya tergantung pada program bantuan sosial.
“Sebenarnya bukan hanya kelas menengah, melainkan mereka yang rentan miskin dan yang miskin memiliki masalah lebih serius. Banyak dari mereka yang tidak tergolong miskin namun berada di sekitar Garis kemiskinan, dan sangat rentan untuk jatuh miskin,” jelas dia.
Karena itu, Bright Institute menyimpulkan bahwa penurunan kelas menengah dan peningkatan ketidakstabilan sosial berpotensi memperburuk kesenjangan sosial dan ketidakstabilan politik, serta melemahkan ketahanan ekonomi nasional di tengah guncangan eksternal di masa depan.
“Bahkan, kesenjangan sosial akan cenderung meningkat dan bisa berdampak pada ketidakstabilan sosial dan politik. Ditambah melemahnya daya tahan perekonomian nasional jika terjadi guncangan eksternal pada tahun-tahun mendatang,” pungkasnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.