KABARBURSA.COM - Kebijakan pembebasan tarif bea masuk untuk produk-produk asal Amerika Serikat (AS) menuai kritik dari Pengamat kebijakan publik, Sabeth Abilawa.
Ia menilai langkah ini menguntungkan AS secara sepihak, sementara Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan signifikan dari sektor perdagangan.
Menurut Sabeth, potensi kerugian fiskal sangat tergantung pada jenis dan nilai barang yang dibebaskan dari tarif. Ia mencontohkan, pada tahun 2023 nilai impor Indonesia dari AS mencapai USD11,7 miliar.
Jika diberlakukan tarif rata-rata 5 persen, maka potensi penerimaan negara yang hilang bisa mencapai USD585 juta atau sekitar Rp9 triliun per tahun.
“Ini angka kasar dan sangat tergantung pada coverage produk yang mendapat pembebasan tarif,” ujar Sabeth kepada KabarBursa.com, Kamis 17 Juli 2025.
Ia mengingatkan bahwa penghapusan tarif juga memiliki risiko struktural terhadap industri dalam negeri. Bila barang-barang bernilai tinggi seperti elektronik, pangan strategis, atau alat transportasi dibebaskan dari tarif, maka efek terhadap sektor produksi lokal akan semakin besar. Sementara pajak seperti PPN dan PPh 22 impor, menurut Sabeth, tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran bea masuk.
“PPN bersifat consumption tax, dan dalam sistem PPN, pajak ini bisa dikreditkan jika barangnya digunakan sebagai input produksi,” ujarnya.
Sabeth menilai bahwa bea masuk tidak hanya berfungsi sebagai instrumen fiskal, tetapi juga pelindung industri dalam negeri. Maka dari itu, kebijakan tarif nol persen seharusnya ditinjau ulang dan dievaluasi secara berkala dengan prinsip timbal balik yang adil.(*)
 
      