KABARBURSA.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi perihal tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk sektor hiburan seperti diskotek, karaoke, klub malam, dan bar, yang berada di rentang 40 persen hingga 75 persen. Artinya, tarif pajak hiburan yang dianggap mencekik pengusaha tersebut tetap diberlakukan tahun ini.
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia, Hariyadi Sukamdani, menyebut keputusan tersebut berpotensi memperburuk kondisi industri hiburan yang sudah terseok-seok. Menurutnya, beban pajak yang begitu tinggi bisa membuat pengusaha sulit bertahan.
“Konsekuensi dari berlakunya tarif pajak hiburan dengan batas bawahnya 40 persen dan batas atasnya 75 persen, ini akan mengakibatkan 2 kondisi,” ujarnya saat dihubungi KabarBursa.com, Selasa, 7 Januari 2025.
[caption id="attachment_111445" align="alignnone" width="1053"] Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia, Hariyadi Sukamdani. Foto: Antara/Desca Lidya Natalia.[/caption]
Pertama, kata Hariyadi, pengusaha yang mematuhi aturan mungkin terpaksa gulung tikar karena tidak mampu menanggung pajak sebesar itu. Kedua, mereka yang mencoba bertahan justru bisa tergoda untuk menjalankan bisnis ilegal dan menghindari pajak dengan berbagai cara.
Hariyadi juga menyoroti tarif pajak hiburan sebesar 40 persen sangat membebani pelaku usaha, terutama mereka yang tetap berkomitmen membayar pajak secara patuh. (Kebijakan) Ini sudah tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan profil usaha yang ada," ujarnya.
Ia menambahkan, keputusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada peluang untuk mengajukan banding. Dengan kondisi ini, pengusaha hiburan hanya bisa berharap ada kebijakan baru yang lebih relevan dan memberi ruang bagi industri untuk tetap hidup.
Tarif Pajak Hiburan Maksimal Jadi 10 Persen
Sebagai bentuk dukungan bagi sektor pariwisata dan penyesuaian dengan kondisi ekonomi, pemerintah sebelumnya menurunkan tarif PBJT untuk jasa kesenian dan hiburan dari batas maksimal 35 persen menjadi hanya 10 persen. Penurunan ini diselaraskan dengan pungutan berbasis konsumsi lain seperti makanan dan minuman, layanan listrik, perhotelan, dan parkir.
Namun, tidak semua hiburan bernapas lega. Dilansir dari laman kemenkeu.go.id, ada pengecualian bagi beberapa jenis hiburan yang dianggap premium, seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa. Hiburan jenis ini tetap dikenakan pajak tinggi dengan tarif mulai 40 persen hingga maksimal 75 persen.
“PBJT atas jasa kesenian dan hiburan bukanlah suatu jenis pajak baru, sudah ada sejak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD),” ujar Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, Lydia Kurniawati Christyana, pada, Selasa, 16 Januari 2024, lalu.
Jenis hiburan yang dikenakan PBJT cukup beragam—dari bioskop, konser musik, hingga panti pijat dan agrowisata. Bahkan pacuan kuda, perlombaan motor, hingga wahana bermain air pun kena pajak.
Namun, tarif tinggi 40 hingga 75 persen hanya berlaku untuk hiburan yang dianggap konsumsi kalangan tertentu. Pemerintah menetapkan tarif bawah yang cukup tinggi ini untuk mencegah perang tarif murah antar daerah alias race to the bottom, demi menjaga pemasukan daerah tetap optimal.
“Penetapan tarif, pemerintah dan DPR telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, mendasarkan pada praktik pemungutan di lapangan, dan mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu dan perlu mendapatkan dukungan lebih kuat melalui optimalisasi pendapatan negara,” kata Lydia.
Selain itu, Lydia menjelaskan bahwa PBJT merupakan pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). UU tersebut memberikan kebebasan bagi pemerintah daerah untuk menyesuaikan tarif pajak sesuai kondisi ekonomi wilayah mereka. Pemda juga memiliki kewenangan memberikan insentif fiskal untuk mendorong kemudahan berusaha dan investasi.
Lydia menjelaskan PBJT untuk jasa kesenian dan hiburan merupakan jenis pajak daerah. Berdasarkan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), pemerintah daerah atau pemda memiliki kewenangan untuk menetapkan dan menyesuaikan tarif Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sesuai kondisi perekonomian wilayah masing-masing.
Kewenangan tersebut mencakup penetapan tarif PBJT jasa hiburan tertentu dalam rentang 40 hingga 75 persen. Selain itu, UU HKPD juga memberikan wewenang kepada pemda untuk menyediakan insentif fiskal guna mendukung kemudahan berusaha dan mendorong investasi di daerah sesuai ketentuan dalam pasal 101 UU HKPD.
“Ini adalah dukungan agar daerah semakin mandiri, semakin ketemu keseimbangan fiskalnya. Maka, kita perlu berpikir agar assignment-nya tidak hanya memberikan transfer ke daerah, tapi bagaimana mendukung daerah meningkatkan pendapatan mereka dengan kondisi tertentu yang perlu dilakukan pengendalian,” jelas Lydia, dikutip dari Antara.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.