KABARBURSA.COM - Ancaman Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menerapkan tarif sekunder terhadap negara-negara yang membeli minyak dari Rusia menimbulkan dampak luas terhadap sistem ekonomi global. Tidak hanya berpotensi memperlemah Rusia, kebijakan ini juga dinilai dapat mempercepat dedollarisasi serta memperdalam fragmentasi sistem keuangan internasional.
Departemen Ekonomi, Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menilai bahwa langkah Trump justru bisa mendorong negara-negara seperti Tiongkok dan India untuk memperkuat sistem pembayaran alternatif.
“AS tidak inginkan dedollarisasi, namun langkah kebijakan Trump justru bisa mempercepat dedollarisasi. Kesempatan makin terbuka buat negara-negara seperti Tiongkok dan India untuk memperkuat sistem pembayaran alternatif,” kata dia dalam Keterangannya Senin 31 Maret 2025.
Lebih lanjut, Syafruddin menjelaskan bahwa sistem seperti Cross-Border Interbank Payment System (CIPS) dan penggunaan yuan dalam transaksi energi akan semakin kuat untuk menghindari tekanan ekonomi dari AS. Menurutnya, kebijakan tarif Trump dapat mempercepat fragmentasi ekonomi global.
“Blok seperti BRICS bisa lebih solid karena merasa dipaksa untuk ‘memilih sisi’,” ujarnya.
Risiko bagi Indonesia dan Sikap yang Harus Diambil
Bagi Indonesia, kebijakan ini bisa menjadi tantangan besar mengingat ketergantungan terhadap minyak impor dan fluktuasi harga energi global. Syafruddin menegaskan pentingnya ketahanan energi nasional agar Indonesia tidak mudah terguncang oleh gejolak pasar global.
“Indonesia perlu mengutamakan ketahanan energi nasional agar tidak mudah terguncang oleh gejolak pasar global,” katanya.
Ia juga menyarankan pemerintah untuk memperkuat diplomasi strategis guna menjaga kepentingan nasional dalam dinamika geopolitik yang semakin kompleks. Langkah yang perlu diambil mencakup diversifikasi pasokan energi dari berbagai mitra internasional, memperkuat cadangan energi nasional, serta mempercepat transisi ke energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan pada pasar minyak global.
Selain itu, Syafruddin menilai Indonesia harus aktif menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang di forum internasional seperti G20 dan ASEAN.
“Indonesia juga harus aktif menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang di forum G20 dan ASEAN, khususnya dalam menolak kebijakan sepihak yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan geopolitik dunia,” jelasnya.
Perlunya Kerja Sama Bilateral dan Multilateral
Sebagai langkah konkret, Syafruddin menyarankan agar Indonesia memperkuat kerja sama bilateral dengan mitra-mitra energi utama seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia. Di sisi lain, ia juga menekankan pentingnya mendorong kerangka kerja multilateral yang melindungi kedaulatan energi negara-negara berkembang.
“Indonesia bisa mendorong kerangka kerja multilateral yang melindungi kedaulatan energi dan hak negara untuk menentukan mitra dagangnya,” ujarnya.
Pasalnya, di tengah ketidakpastian global, Syafruddin menegaskan bahwa dunia saat ini tidak membutuhkan tekanan baru, melainkan kerja sama dan kejelasan arah untuk keluar dari krisis berkepanjangan.
Menurutnya, penggunaan tarif sekunder sebagai instrumen diplomatik tidak akan menyelesaikan konflik di Ukraina, tetapi justru berisiko memperburuk ketidakstabilan global.
“Penggunaan tarif sekunder sebagai instrumen diplomatik tidak akan menyelesaikan konflik di Ukraina, melainkan berisiko menyebarkan instabilitas ke negara-negara yang tidak terlibat langsung,” tutupnya.
Alarm Siaga Satu
Pelemahan Rupiah kembali jadi sorotan. Nilai tukar terhadap dolar AS kini berada di level yang nyaris menyentuh posisi saat pandemi COVID-19, bahkan mendekati titik kritis era krisis 1998. Kepala Riset Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, menyebut situasi ini sebagai “Alarm Siaga 1”.
Liza menyoroti posisi USD/IDR saat ini sudah menyentuh area resistance penting di sekitar Rp16.640 yang dikenal sebagai puncak pelemahan Rupiah saat krisis COVID. Tak jauh dari sana, ada level Rp16.950 yang merupakan level krisis moneter 1998.
“Rupiah terperosok sampai ke level terendah era COVID di mana saat itu menyentuh Rp16.640 per dolar. Bisa dibilang sudah tak jauh dari level krisis 1998 di bilangan Rp16.950. Sewajarnya ini menyalakan ALARM SIAGA 1!,” kata Liza dalam publikasi teknikal yang diterima KabarBursa.com, Rabu, 26 Maret 2025.
Yang bikin ngeri, pelemahan ini terjadi di saat indeks dolar global (DXY) belum tinggi-tinggi amat. Artinya, bukan karena dolar terlalu kuat, tetapi karena memang ada yang salah dengan fundamental Rupiah sendiri. Menurut Liza, ini jadi wake-up call buat publik bahwa pelemahan kurs bukan sekadar efek eksternal.
Dari sisi teknikal, ia melihat potensi pelemahan dolar ke depan berkat pola RSI negative divergence dan munculnya candle doji di grafik bulanan USD/IDR. RSI negative divergence berarti ada ketidaksesuaian antara arah grafik harga dengan indikator kekuatan pasar. (*)