Logo
>

Tarif Trump Dibilang Timbal Balik, Faktanya Jauh dari itu

Trump berdalih tarif yang dikenakan pada negara lain bersifat timbal balik. Namun data WTO dan para ekonom justru menunjukkan sebaliknya.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Tarif Trump Dibilang Timbal Balik, Faktanya Jauh dari itu
Ilustrasi: Trump berdalih tarif yang dikenakan pada negara lain bersifat timbal balik. Namun data WTO dan para ekonom justru menunjukkan sebaliknya. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Donald Trump berkali-kali bilang bahwa tarif impor yang dia kenakan ke hampir seluruh negara mitra dagang Amerika Serikat didasarkan pada konsep yang katanya sederhana, yakni timbal balik. Kalau negara lain mengenakan tarif tinggi ke barang-barang AS, maka AS pun berhak membalas dengan tarif serupa.

    Tapi masalahnya, tarif versi Trump ini bukan tarif timbal balik seperti yang dia gembar-gemborkan. Tarif itu bukan dihitung berdasarkan hambatan dagang atau pajak yang diberlakukan negara lain kepada AS, tapi dihitung dari defisit dagang bilateral—alias selisih ekspor dan impor AS terhadap negara tertentu. Dari situ kemudian muncul angka tarif yang bisa bikin dahi investor berkerut.

    Dua hal ini sangat berbeda. Dan mungkin inilah alasan kenapa pasar keuangan global langsung jungkir balik begitu tarif Trump diumumkan.

    Hasil akhirnya,  AS justru mengenakan tarif jauh lebih tinggi ke negara lain dibanding sebaliknya. Ambil contoh Vietnam. Negara itu sekarang harus membayar bea masuk 46 persen untuk ekspor ke AS. Padahal, menurut data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), tarif rata-rata Vietnam ke AS cuma 9,4 persen. Kalau dihitung berdasarkan bobot volume produk, tarifnya bahkan hanya 5,1 persen.

    Kasus lain adalah Taiwan. Negara ini biasanya mengenakan tarif hanya 2 persen untuk sebagian besar produk. Tapi oleh Trump, mereka dikenai tarif 32 persen.

    Ekonom JPMorgan Chase, Abiel Reinhart, mengatakan meski kebijakan ini disebut sebagai tarif resiprokal, nyatanya tidak ada upaya untuk mengukur hambatan perdagangan secara objektif. Semua hanya didasarkan pada angka defisit dagang.

    Nah, perbedaan mendasar antara tarif dan defisit ini tak bisa diremehkan. Menyamakan hambatan perdagangan seperti tarif itu masih masuk akal dan cukup teknis. Tapi kalau yang ditarget adalah menghapus defisit dagang, itu urusannya jauh lebih rumit dan berisiko. Seperti yang kini tercermin dari kepanikan pasar global.

    Vietnam jadi contoh awal. Setelah kena tarif 46 persen, negara itu langsung bilang akan memangkas bea masuk produk AS menjadi nol persen. Trump pamer hal ini di media sosial. Tapi anehnya, dia tak bilang bagaimana respons baliknya.

    Trump sendiri saat mengumumkan tarif, bilang bahwa angka-angka itu diambil dari tarif yang dikenakan negara lain ke AS. India, misalnya, jadi contoh yang dia sebut. “Mereka mengenakan tarif 52 persen ke barang kita, sementara kita selama bertahun-tahun hampir tak mengenakan apa-apa,” kata Trump saat jumpa pers di Gedung Putih, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Senin, 7 April 2025.

    Tapi kalau merujuk data WTO, pernyataan itu tidak akurat. Tarif rata-rata berbobot India tahun lalu hanya 7,7 persen. Sementara rata-rata sederhananya 15,9 persen—jauh dari angka 52 persen. 

    Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menjelaskan perhitungan tarif tersebut berdasarkan asumsi bahwa defisit perdagangan yang berlangsung terus-menerus disebabkan oleh kombinasi hambatan tarif dan non-tarif—termasuk regulasi yang menghambat perdagangan bebas.

    Pemerintahan Trump juga berdalih bahwa pajak pertambahan nilai (PPN) di Eropa dan negara lain dianggap mendiskriminasi produk AS. Padahal, menurut banyak ekonom, PPN berlaku untuk semua produk yang dikonsumsi di dalam negeri, baik lokal maupun impor.

    Beberapa negara yang bahkan sudah punya perjanjian dagang bebas dengan AS pun kena getahnya. Korea Selatan, misalnya, yang hampir tidak memungut tarif dari barang-barang AS, malah dihantam tarif 25 persen. Chile dan sebagian besar negara di Amerika Tengah juga kena tarif 10 persen.

    Sementara Brasil, yang dikenal punya proteksi ketat dengan tarif rata-rata 9,3 persen, banyak batasan impor, pajak tinggi, dan regulasi berbelit untuk perusahaan asing—justru hanya dikenai tarif 10 persen. Sama seperti Chile yang relatif terbuka.

    Singkatnya, kebijakan tarif Trump bukan soal menyeimbangkan perdagangan, tapi soal narasi politik. Dan dari apa yang kita lihat di pasar global hari-hari ini, narasi itu sedang membawa banyak negara—termasuk Amerika sendiri—menuju gelombang ketidakpastian ekonomi.

    “Brasil dapat perlakuan istimewa,” kata Pablo Guidotti, ekonom dari Universitas Torcuato Di Tella, Buenos Aires.

    Ungkapan itu muncul setelah negeri Samba dikenai tarif tambahan paling ringan oleh pemerintahan Trump, yakni hanya sepuluh persen. Padahal, jika mengacu pada praktik dagang Brasil yang sarat proteksi dan beban pajak tinggi terhadap perusahaan asing, banyak ekonom menyebut semestinya tarif yang dikenakan lebih besar.

    Trump memang sudah sejak awal 1990-an menganggap sistem perdagangan global—yang ironisnya turut dibentuk oleh AS sendiri—tidak adil dan merugikan negaranya. Dalih Trump sederhana saja, kalau negara lain menjual lebih banyak ke AS daripada sebaliknya, pasti ada yang salah.

    Tapi menurut Brent Neiman, ekonom dari Chicago Booth School of Business sekaligus mantan pejabat Departemen Keuangan AS di era Biden, defisit dagang itu bisa terjadi karena banyak alasan selain proteksionisme. Misalnya, ada negara yang punya sumber daya alam yang dibutuhkan AS, tapi penghasilannya rendah dan tidak banyak membeli barang-barang canggih buatan AS seperti mesin industri atau jasa pendidikan.

    Ada juga negara yang memang sedang menua populasinya atau sengaja menyimpan kekayaan dalam bentuk investasi di AS. Para ekonom kerap menganalogikan situasi ini seperti kita punya “defisit dagang” dengan supermarket. Kita beli barang dari toko, tapi tidak menjual jasa atau tenaga kerja kita ke sana. Dan itu sah-sah saja, karena lebih efisien daripada kita bikin semua kebutuhan sendiri.

    Ketimpangan dagang dengan satu negara biasanya tidak berbahaya. Tapi kalau semua negara mengalami ketimpangan dengan AS, baru itu bisa jadi cerminan kebijakan struktural yang berat sebelah. Misalnya, China punya surplus besar karena mereka menekan konsumsi domestik dan impor, serta mendorong ekspor. Sementara AS justru sebaliknya—investasi tinggi, tabungan rendah.

    Menurut data WTO tahun 2024, Uni Eropa mengenakan tarif rata-rata berbobot sebesar tiga persen, sedikit lebih tinggi dari tarif AS yang hanya 2,2 persen. Tapi kini, AS berencana mengenakan tarif tambahan 20 persen ke produk dari Eropa. Angka itu jauh di atas rata-rata tarif Uni Eropa.

    Para pejabat dan diplomat Eropa menyatakan, mereka sedang menimbang balasan—bukan dalam bentuk tarif menyeluruh, tapi dengan menarget produk-produk tertentu asal AS, atau bahkan membatasi akses layanan asal Negeri Paman Sam.

    Sebelum perang dagang Trump dan China meletus pada 2018, Beijing mengenakan tarif 8 persen ke barang AS, sementara AS hanya mematok 3,1 persen. Tapi setelah saling balas, tarif itu naik jadi lebih dari 21 persen di kedua pihak pada 2020.

    Kini, Trump menaikkan tarif secara drastis hingga mencapai 76 persen terhadap produk China. Sebagai balasan, China pun menyesuaikan tarifnya ke angka 56,6 persen. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, AS kini mengenakan tarif lebih tinggi ke China dibanding sebaliknya.

    Trump berdalih, China dan beberapa negara lain sengaja menekan ekspor AS dengan cara lain, seperti memanipulasi nilai tukar agar tetap murah. Para ekonom sebagian besar setuju dengan argumen ini.

    Namun, ironisnya, kebijakan Trump juga menyasar negara seperti Argentina—padahal AS mencatat surplus dagang terhadap negara tersebut. Argentina selama ini dikenal sangat proteksionis, dengan tarif rata-rata berbobot 12,3 persen, jauh di atas tarif AS terhadap mereka. Tapi karena Argentina mengalami defisit dalam hubungan dagangnya dengan AS, Trump tetap mengenakan tarif tambahan.

    Lantas, jika tarif bukan penyebab utama ketimpangan dagang, apakah bisa jadi solusi? Mayoritas ekonom pesimistis. Tarif memang bisa mengurangi permintaan impor di AS, tapi juga akan menurunkan ekspor AS karena negara lain membalas. Efek akhirnya adalah perdagangan global yang sama-sama lesu.

    Dengan kata lain, kalau tujuannya menyeimbangkan neraca dagang, jalan pintas ala Trump ini justru membuka lubang lain, yakni ketidakpastian, inflasi, dan risiko resesi.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).