KABARBURSA.COM - Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen pada 2026 dengan sasaran penciptaan lapangan kerja mencapai 3–4 juta orang. Target tersebut jauh lebih tinggi dibanding realisasi pembukaan lapangan kerja pada periode Agustus 2024 hingga Agustus 2025 yang tercatat sebanyak 1,99 juta.
Pengamat Ketenagakerjaan dari Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai target tersebut akan menghadapi tekanan serius, baik dari sisi global maupun kondisi domestik. Situasi ini dinilai berpotensi memengaruhi capaian pertumbuhan ekonomi sekaligus target penciptaan lapangan kerja pada 2026.
Menurut Timboel, tantangan global masih akan membayangi perekonomian nasional. Konflik geopolitik di berbagai kawasan dinilai berisiko mengganggu rantai pasok dan perdagangan internasional.
"Tantangan Global seperti ketidakpastian geopolitik yaitu perang Israel - Palestina, Rusia – Ukraina, Kamboja – Thailand di regional, dan Konflik dagang (tarif Trump), yang akan mempengaruhi rantai pasok dan perdagangan," ungkap dia kepada KabarBursa.com resminya, Senin 15 Desember 2025.
Selain itu, arah kebijakan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) juga menjadi faktor eksternal yang turut diperhatikan karena berpotensi memengaruhi nilai tukar rupiah.
Dari sisi domestik, Timboel menyoroti beban APBN 2026 yang dinilai cukup berat. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran besar untuk pemulihan bencana alam, khususnya banjir di Sumatera dan sejumlah wilayah lain, di tengah fokus pembiayaan program unggulan pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih.
Menurutnya, tekanan tersebut akan berdampak langsung terhadap kemampuan ekonomi nasional dalam menciptakan lapangan kerja yang memadai.
"Tentunya Tantangan cukup berat yang dihadapi Pertumbuhan Ekonomi 2026, yang ditargetkan Pemerintah sebesar 5,4 persen, akan mempengaruhi pembukaan lapangan kerja di 2026, yang juga diperhadapkan pada kualitas lapangan kerja yang diciptakan," jelas dia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sepanjang Agustus 2024 hingga Agustus 2025, jumlah lapangan kerja baru yang tercipta hanya mencapai 1,99 juta. Dari jumlah tersebut, sekitar 200 ribu merupakan pekerjaan formal, sementara 1,66 juta lainnya berada di sektor informal.
Capaian tersebut, kata Timboel, menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan penciptaan 19 juta lapangan kerja dalam lima tahun masa pemerintahannya.
"Kalau hanya rata-rata 2 juta per tahun maka yang tercipta hanya 10 juta, jauh dari janji 19 juta lapangan kerja," kata dia.
Ia menambahkan, dominasi lapangan kerja informal mencerminkan rendahnya kualitas kesempatan kerja yang tersedia. Pekerja di sektor informal umumnya minim perlindungan, baik dari sisi upah, jaminan sosial, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), maupun kepastian kerja.
Sebaliknya, penciptaan lapangan kerja formal dinilai lebih ideal karena memberikan kepastian upah layak, jaminan sosial, perlindungan K3, serta kejelasan jam dan status kerja.
"Dan menjadi keniscayaan, pembukaan lapangan kerja saat ini dan ke depan lebih didominasi oleh sektor padat modal dan padat teknologi," kata dia.
Lebih jauh, Timboel menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga, investasi, belanja pemerintah, serta kinerja ekspor dan impor. Daya beli masyarakat menjadi kunci untuk menggerakkan produksi barang dan jasa sekaligus menarik investasi.
Belanja pemerintah juga diharapkan mampu mendorong pembukaan lapangan kerja formal, sementara peningkatan ekspor dapat memperkuat industri berorientasi ekspor. Di sisi lain, pembatasan impor dinilai dapat memperluas pasar produk dalam negeri.
Namun demikian, persoalan struktural ketenagakerjaan di Indonesia masih cukup kompleks. Iklim investasi dinilai belum kondusif akibat maraknya praktik korupsi yang menciptakan biaya tinggi, serta ketidakpastian politik yang memengaruhi kepercayaan investor.
Selain itu, struktur angkatan kerja nasional masih didominasi lulusan SD dan SMP yang mencapai sekitar 53 persen, disertai rendahnya keterampilan tenaga kerja. Kondisi ini menyulitkan penyerapan tenaga kerja di sektor-sektor padat modal dan teknologi yang justru tumbuh pesat.
Masalah lain yang disoroti adalah ketidaksesuaian antara keterampilan lulusan baru dengan kebutuhan industri, percepatan digitalisasi dan otomasi yang menuntut keahlian baru, serta urbanisasi yang memperlebar ketimpangan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.
"Dan urbanisasi, yaitu pertumbuhan angkatan kerja lebih terkonsentrasi di kota besar, menimbulkan ketimpangan kota dan desa," lanjutnya.
Timboel juga menilai pemerintah belum mampu menjaga keberlangsungan sektor padat karya yang selama ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Sejumlah industri, seperti tekstil dan alas kaki, disebut terus mengalami tekanan yang berpotensi menambah jumlah pengangguran terbuka.
Di sisi fiskal, fokus APBN pada program MBG dan Koperasi Merah Putih dinilai menyerap anggaran besar dan berpotensi mengurangi alokasi untuk sektor-sektor produktif pencipta lapangan kerja formal. Pengurangan transfer ke daerah sekitar Rp200 triliun pada 2026 juga diperkirakan menghambat pembangunan daerah dan serapan tenaga kerja lokal.
Selain itu, bencana alam di sejumlah wilayah, termasuk di Sumatera, akan menuntut penggunaan APBN dan APBD untuk penanganan darurat dan pemulihan infrastruktur, sehingga mempersempit ruang fiskal untuk penciptaan lapangan kerja.
Ia juga menilai sektor-sektor potensial seperti pariwisata, perikanan, kelautan, dan pertanian belum dimaksimalkan untuk membuka lapangan kerja formal secara luas.
Berdasarkan berbagai faktor tersebut, Timboel mengaku pesimistis target pembukaan lapangan kerja 2026 dapat melampaui angka 2 juta, terutama untuk pekerjaan formal.
"Tentunya permasalahan lapangan kerja yang disebutkan di atas harus dijawab oleh Pemerintah untuk membuka lapangan kerja 3 – 4 juta di 2026," tandasnya.(*)