KABARBURSA.COM - Presiden Donald Trump kembali bikin gebrakan di sektor tambang dengan menetapkan tembaga sebagai komoditas prioritas dalam kebijakan mineral domestik Amerika Serikat. Dari wacana membeli Greenland demi sumber daya alamnya, hingga mendorong Ukraina untuk menukar mineral dengan bantuan melawan Rusia, Trump jelas menjadikan bahan baku industri modern sebagai pilar kebijakan luar negerinya.
Lewat perintah eksekutif yang ditandatangani Selasa kemarin, Trump meminta evaluasi terhadap ketergantungan impor tembaga AS dan mempertimbangkan kebijakan tarif untuk memperkuat industri tambang dalam negeri.
“Amerika Serikat punya cadangan tembaga yang melimpah, tetapi kapasitas peleburan dan pemurnian kita tertinggal jauh dibandingkan negara lain,” bunyi perintah eksekutif tersebut, dikutip dari AP di Jakarta, Jumat, 28 Februari 2025.
Kebijakan ini bisa jadi angin segar bagi industri tambang tembaga AS yang selama ini kalah bersaing, tapi juga menambah kekhawatiran kelompok lingkungan. Salah satunya perihal proyek tambang Twin Metals di Minnesota yang sudah lama ditolak karena dianggap mengancam kawasan lindung perbatasan AS-Kanada.
“Gedung Putih sendiri mengakui bahwa Amerika punya cukup banyak tembaga. Mengorbankan kekayaan alam yang tak tergantikan demi jumlah tembaga yang tidak signifikan itu keputusan gegabah dan tidak perlu,” ujar Direktur Eksekutif Save the Boundary Waters, Ingrid Lyons.
Tembaga, Logam yang Semakin Dicari
Jika lithium dan kobalt jadi bahan utama baterai, maka tembaga adalah urat nadi kelistrikan modern. Dari kabel hingga transmisi listrik, dari ponsel hingga layar LED, tembaga ada di mana-mana.
“Kalau bicara logam paling krusial, tembaga ini adalah logam listrik,” kata konsultan kebijakan industri tambang, Debra Struhsacker. “Permintaan listrik tidak akan turun, dan tembaga tidak bisa digantikan untuk itu.”
Selama dua dekade terakhir, konsumsi, impor, dan ekspor tembaga AS naik turun, tetapi satu hal yang konsisten, yakni jumlah tembaga yang ditambang di dalam negeri jauh lebih banyak dibandingkan kapasitas smelter yang bisa mengolahnya. Tahun 2024, AS menambang sekitar 1,1 juta ton tembaga, tetapi sepertiga dari itu diekspor dalam bentuk mentah. Di sisi lain, negara ini tetap mengimpor sekitar 810 ribu ton tembaga, hampir semuanya dalam bentuk sudah dimurnikan.
Meskipun Trump menyebut China sebagai raksasa pemurnian tembaga dunia—dengan lebih dari setengah kapasitas smelter global—nyatanya AS tidak langsung bergantung pada pasokan dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Sekitar dua pertiga impor tembaga olahan AS justru datang dari Chili, produsen tembaga terbesar dunia, disusul Kanada, Meksiko, dan Peru.
Ke depan, kebutuhan tembaga bisa melonjak seiring ekspansi jaringan transmisi listrik, produksi turbin angin, dan kendaraan listrik. Beberapa proyeksi bahkan menyebut permintaan global bisa berlipat ganda pada 2030 dan terus meningkat, menurut National Mining Association.
Sebelum kebijakan tembaga ini diumumkan, Trump sudah lebih dulu mengeluarkan beberapa perintah eksekutif untuk melonggarkan regulasi pertambangan yang dianggap membebani industri. Salah satunya mencakup revisi daftar mineral yang dianggap kritis bagi ekonomi AS dan mendukung eksplorasi sumber tambang baru.
“Made in America dan America First itu harus dimulai dari tambang dan para penambang Amerika yang mendukung presiden ini,” kata Presiden dan CEO National Mining Association, Rich Nolan.
Trump dan Ambisi Tembaga
Industri tambang tembaga di Amerika Serikat sedang menghadapi berbagai tantangan, dari penolakan lingkungan hingga hambatan regulasi. Sejumlah proyek besar yang diharapkan bisa mengurangi ketergantungan impor malah tertunda bertahun-tahun.
Salah satu proyek yang paling kontroversial adalah Twin Metals, tambang tembaga-nikel-kobalt senilai USD1,7 miliar di Minnesota. Proyek ini dikecam kelompok lingkungan karena dianggap mengancam kawasan Boundary Waters Canoe Area, area hutan belantara yang dilindungi dan paling sering dikunjungi di AS. Proyek ini kembali menemui jalan buntu setelah pengadilan menolak mengembalikan izin sewa lahan pertambangan yang sempat dicabut pemerintah.
Selain itu, ada NewRange Copper Nickel, proyek tambang USD1 miliar yang juga berlokasi di Minnesota. Setelah serangkaian hambatan hukum dan regulasi, pengembangnya berencana mendesain ulang proyek ini agar lebih ramah lingkungan dan efisien secara biaya.
Di Arizona, polemik muncul di sekitar proyek Resolution Copper di Oak Flat, lokasi yang disebut sebagai salah satu cadangan tembaga terbesar ketiga di dunia. Proyek ini mendapat dukungan dari sebagian warga lokal yang berharap ada dorongan ekonomi, tapi juga ditentang suku Apache yang menganggap wilayah tersebut sebagai tanah suci. Meski demikian, pada 2024, pengadilan banding menolak upaya hukum yang ingin menggagalkan transfer lahan untuk proyek tambang ini.
Masih di Arizona, proyek Copper World, tambang tembaga-molibdenum yang dikembangkan oleh perusahaan Kanada, Hudbay Minerals Inc., juga tertunda akibat putusan pengadilan. Regulasi lama dari UU Pertambangan 1872 kini membatasi perusahaan dalam membuang tailing (limbah tambang) di lahan milik U.S. Forest Service, yang berdampak pada perencanaan operasional proyek ini.
Yang menarik, keempat proyek tambang raksasa ini justru dikuasai oleh perusahaan asing, bukan korporasi tambang asal Amerika Serikat.
Dampak Kebijakan Tembaga Trump bagi Indonesia
Indonesia sendiri merupakan pemain penting dalam industri tembaga dengan produksi tahunan sekitar 800-an ribu ton per tahun (data 2023). Sebagian besar hasil tambang berasal dari PT Freeport Indonesia di Papua serta PT Amman Mineral Nusa Tenggara—unak usaha emiten PT Amman Mineral International Tbk (AMMN) di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ekspor tembaga Indonesia didominasi oleh bijih mentah dan konsentrat, sementara produk olahan seperti katoda masih terbatas. Ini menjadi tantangan tersendiri ketika pasar global mulai berubah akibat kebijakan proteksionisme dari negara besar seperti AS.
Menurut teori keunggulan komparatif David Ricardo, bahwa perdagangan internasional dapat terjadi walaupun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut. Indonesia sejatinya memiliki keunggulan dalam produksi tembaga karena ketersediaan sumber daya alam. Namun, dengan AS berupaya meningkatkan produksi domestik, peluang ekspor ke negeri Paman Sam bisa menyempit. Data dari US Geological Survey menunjukkan bahwa AS mengimpor sekitar 890 ribu ton tembaga olahan pada 2024—dengan 67 persen di antaranya berasal dari Chili, Meksiko, dan Kanada. Jika kebijakan Trump mulai membatasi impor, maka suplai ke AS akan berkurang dan berpotensi mengalihkan pasokan global ke pasar lain seperti Eropa atau Asia.
Bagi industri tambang Indonesia, hal ini bisa membawa dua dampak utama. Pertama, harga tembaga global bisa mengalami volatilitas jika AS benar-benar mengurangi ketergantungan pada impor. Jika produksi AS meningkat dan ekspornya berkurang, harga bisa turun akibat kelebihan pasokan global yang pada akhirnya merugikan produsen di Indonesia. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga bisa membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah dengan memperkuat hilirisasi dan ekspor produk olahan dibanding sekadar menjual konsentrat.
Saat ini, proyek hilirisasi tambang yang tengah digenjot pemerintah melalui smelter PT Freeport Indonesia di Gresik dan PT Amman Mineral di Sumbawa menjadi krusial dalam menghadapi dinamika pasar global. Dengan target operasi yang dimulai pada 2024, kedua smelter ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap ekspor bahan mentah dan memperkuat daya saing di pasar global.(*)
Tembaga Jadi Komoditas Utama AS dan Dampaknya ke Indonesia