Logo
>

Terungkap Biang Kerok Penyebab Mahalnya Harga Obat di RI

Ditulis oleh KabarBursa.com
Terungkap Biang Kerok Penyebab Mahalnya Harga Obat di RI

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar mengungkapkan penyebab mahalnya harga obat di Indonesia.

    Taruna Ikrar yang dilantik menjadi Kepala BPOM oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin, 19 Agustus 2024 kemarin, mengaku mendapatkan tugas untuk menekan harga obat di Indonesia yang sangat mahal.

    Dia menyebutkan, dalam laporan yang diterima Jokowi, harga obat di Indonesia 400 persen lebih mahal jika dibandingkan dengan harga di luar negeri, khususnya dengan Malaysia.

    Jokowi, kata Taruna, meminta BPOM bisa bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk menekan harga obat-obatan di Indonesia.

    “Beliau (Jokowi) instruksikan bagaimana harga obat ini bisa dikontrol setidaknya bisa mirip-mirip dengan harga generik atau harga obat di negara tetangga seperti Malaysia, Filipina atau singapura. BPOM tak bisa bekerja sendiri soal itu, bapak Presiden meminta untuk berkolaborasi dengan Menteri Kesehatan dan Menteri Perdagangan,” kata Taruna usai menghadap Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta , Selasa, 20 Agustus 2024.

    Kemudian dia berbicara soal penyebab mahalnya harga obat di Indonesia. Pertama, menurut Taruna, harga obat di Indonesia mahal karena biaya promosi dan periklanan. Pemerintah seharusnya bisa menekan perusahaan untuk menekan biaya tersebut.

    “Pada umumnya harga obat di indonesia itu mahal karena harga promosi, harga advertisement, harga iklan. Kita harus bisa menekan di situ dengan perusahaan, mereka harusnya menekan iklan jangan berlebihan. Dengan begitu, logikanya harga bisa turun,” terang Taruna.

    Selain itu, masalah bahan baku yang terlalu banyak diimpor juga menjadi salah satu penyebab utama pemicu mahalnya harga obat di Indonesia. Taruna memaparkan 80 sampai 90 persen obat di Indonesia diproduksi dengan bahan baku yang diimpor dari luar negeri.

    “Saya kira salah satu penyebab lainnya yaitu bahan bakunya impor. Pak Presiden bilang di atas 80 persen, di atas 90 persen obat yang diproduksi di Indonesia bahannya impor. Bahan baku obat impor itu harganya semau-maunya pemasok. Kalau harganya mahal terpaksa dijual mahal,” ucapnya.

    Lebih lanjut dia memaparkan, beberapa obat di Indonesia belum bisa murah harganya karena belum bisa menjadi obat generik. Dia mencontohkan obat non generik hak patennya masih ada, sehingga harganya mahal. Berbeda dengan obat generik yang harganya murah karena hak patennya sudah habis.

    Tak hanya itu, Taruna mengungkapkan, ada oknum nakal yang bermain dengan membuat obat generik seakan-akan menjadi obat dengan hak paten. Harganya pun bisa jadi dinaikan menjadi lebih mahal. Biasanya modusnya mengubah kemasan.

    “Obat kan dibagi tiga, ada generik yang patennya hilang, itu harganya murah. Kalau obat paten biasanya mahal karena ada biaya riset dan pengembangan. Namun, ada juga biasanya obat sudah generik, kemasan itu diubah dan dibuat semacam obat paten, itu biasanya yang dimainkan harganya oleh oknum,” tutur Taruna.

    Menurut dia, pemerintah bisa menekan harga obat dengan mengatur harga eceran tertinggi (HET). Melalui HET obat, pemerintah bisa menyeimbangkan harga tertinggi yang beredar. Harga tersebut tidak mahal-mahal untuk masyarakat, sementara itu harganya juga tidak merugikan industri obat.

    “Simpelnya kita harus bisa buat harga eceran tertinggi yang seimbang. Pada saat keluar izin, kita kan tahu modal produksinya, kita tentukan. Bisa bekerja sama dengan Kemenkes dan Kemendag untuk menentukan berapa harga tertinggi yang tepat untuk masyarakat dan pengusaha,” pungkas Taruna.

    Solusi dari IDI

    Beberapa waktu lalu, Komite Ahli PB IDI, Dr. Husniah Rubiana Thamrin Akib, MS, M.Kes, SpFK memberikan rekomendasi strategis untuk menurunkan harga obat di Indonesia, yang dinilai jauh lebih mahal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia.

    Kata Dr. Husniah, pemerintah harus kembali mengontrol harga obat generik dengan menetapkannya secara nasional. Langkah ini diharapkan dapat menstabilkan harga dan membuatnya lebih terjangkau.

    Pabrik obat harus transparan dalam menghitung struktur harga obat. Semua komponen yang membentuk harga obat perlu dijelaskan secara rinci. Ini akan memastikan tidak ada elemen biaya yang tidak perlu.

    Mengingat industri ekspedisi dan bisnis B2C (business to consumer) sudah sangat maju, jaringan atau level Pedagang Besar Farmasi (PBF) dapat dihilangkan. Ini akan memangkas biaya hingga 20 persen.

    Klasifikasi obat seharusnya hanya terdiri dari Paten dan Generik. Jika masa berlaku paten sudah habis, obat tersebut otomatis menjadi generik dan harganya pun harus mengikuti harga generik.

    Proses registrasi obat harus dipermudah oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Langkah ini akan mempercepat ketersediaan obat generik di pasaran.

    Dr. Husniah juga menyoroti mahalnya alat kesehatan di Indonesia. Alat kesehatan mahal karena pajak impor sebesar 12.5-15 persen ditambah PPN 11 persen. Hal ini menambah beban hingga hampir 30 persen.

    Sebelumnya, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan bahwa harga obat dan alat kesehatan di Indonesia lima kali lipat lebih mahal dibandingkan di Malaysia.

    Budi menegaskan bahwa tingginya harga obat dan alat kesehatan di Indonesia disebabkan oleh inefisiensi dalam perdagangan dan tata kelola yang kurang optimal. Menurutnya, banyak biaya yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan.

    Budi memberikan contoh ketidakkonsistenan dalam kebijakan impor alat kesehatan. Misalnya, impor mesin USG dikenakan bea masuk 0 persen, sementara impor komponen seperti layar USG dikenakan bea masuk 15 persen.

    Untuk mencari solusi, Kemenkes berkoordinasi dengan asosiasi industri kesehatan. Budi menilai jika obat di luar negeri bisa lebih murah, Indonesia seharusnya bisa melakukan hal yang sama.

    “Koordinasi yang efektif antara kementerian teknis, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan sangat penting untuk mencapai tujuan ini,” tegas Budi.

    Budi Gunadi menyatakan bahwa harga obat di Indonesia bisa mencapai lima kali lebih mahal dibandingkan dengan di Malaysia.

    “Perbedaan harga obat bisa mencapai tiga hingga lima kali lipat dibandingkan dengan Malaysia, sekitar 300 persen hingga 500 persen,” ujar Budi Gunadi di Istana Negara, Jakarta, Selasa 2 Juli 2024.

    Dia menambahkan, perbedaan harga tersebut tidak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan pajak saja. “Pajak paling hanya 20 hingga 30 persen. Tapi bagaimana menjelaskan perbedaan yang mencapai 300 hingga 500 persen?” tanyanya.

    Menurut Budi Gunadi, perbedaan harga ini sebagian besar disebabkan oleh inefisiensi dan tata kelola obat-obatan yang kurang optimal. Menkes menekankan perlunya transparansi dalam pengelolaan harga obat.

    “Ada biaya-biaya yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan. Pada akhirnya, pemerintah yang harus menanggung biaya ini. Layanan kesehatan sekarang hampir semuanya dibayar oleh BPJS,” jelasnya.

    Menkes juga menekankan pentingnya mencari solusi untuk menekan harga obat. “Jika harga obat mahal, yang akan membayar adalah pemerintah. Oleh karena itu, kita harus mencari kombinasi yang paling murah,” katanya. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi