KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang memicu generasi muda gemar berutang di pinjaman online (pinjol) dan paylater adalah kemudahan akses terhadap berbagai produk keuangan.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen (PEPK) OJK, Friderica Widyasari Dewi, saat ini banyak anak muda yang mengalami ketidakseimbangan antara pengeluaran dan pemasukan mereka.
Friderica menjelaskan bahwa fenomena utang yang semakin marak di kalangan generasi muda tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara lain.
Banyak dari mereka yang kini menghadapi masalah keuangan karena pengeluaran mereka lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh. Hal ini disebut dengan “over-indebtedness” atau utang yang berlebihan.
“Fenomena ini banyak sekali, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain. Terutama anak muda, mereka lebih besar pengeluaran daripada pemasukan. Ini terjadi karena kemudahan akses yang ada,” kata Kiki, panggilan akrabnya, dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Selasa, 12 November 2024.
Kiki menambahkan bahwa kemudahan akses terhadap produk-produk keuangan membuat generasi muda menjadi kurang hati-hati dalam mengambil keputusan keuangan. Banyak dari mereka yang menggunakan utang untuk memenuhi gaya hidup yang konsumtif, tanpa memperhitungkan dampaknya di masa depan.
Fenomena utang yang tak terkontrol ini sangat berbahaya, mengingat sebagian besar utang yang mereka ambil, seperti melalui layanan paylater dan pinjaman online (pinjol), tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang dikelola oleh OJK. Rekam jejak pengambilan utang ini tidak hanya mempengaruhi kemampuan mereka dalam mendapatkan pinjaman di masa depan, tetapi juga dapat menghambat mereka dalam mencari pekerjaan atau mengajukan kredit rumah.
“Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) mencatat semua riwayat utang yang diambil oleh konsumen, dan ini bisa berdampak buruk bagi mereka, terutama ketika mereka mencoba untuk mendapatkan pembiayaan lain di masa depan, seperti kredit rumah. Ini menjadi masalah serius bagi generasi muda,” ujar Kiki.
Fenomena ini, menurut Kiki, menggambarkan adanya dua sisi yang bertolak belakang dalam hal inklusi keuangan. Di satu sisi, ada kelompok masyarakat yang sangat membutuhkan akses ke layanan keuangan, tetapi kesulitan mendapatkannya. Di sisi lain, ada kelompok yang terlalu mudah mengakses produk keuangan, yang kemudian berujung pada perilaku sembrono dalam mengambil keputusan keuangan.
Namun, Kiki menekankan, kemudahan dalam mengakses produk keuangan seperti paylater harus digunakan dengan hati-hati. Menurutnya, meskipun teknologi mempermudah akses, tetap harus ada pembatasan agar konsumen tidak jatuh dalam utang yang berlebihan.
“OJK mendukung inklusi keuangan, tetapi juga menekankan pentingnya tanggung jawab dalam penggunaannya. Kami mendorong inklusi yang bertanggung jawab, yang artinya pelaku jasa keuangan harus memberikan edukasi kepada konsumen agar mereka bisa membuat keputusan keuangan yang bijak,” ujarnya.
Sebagai bagian dari upaya untuk mengedukasi generasi muda, OJK juga mengajak pelaku industri jasa keuangan untuk lebih proaktif dalam memberikan pemahaman mengenai pentingnya manajemen keuangan yang sehat.
“Ini adalah tugas pelaku jasa keuangan untuk memberikan edukasi kepada konsumen. Kami mendorong inklusi, tetapi inklusi yang bertanggung jawab, karena mereka adalah konsumen yang nantinya akan berkembang dan berperan dalam pertumbuhan sektor jasa keuangan,” ucap Kiki.
Data dari OJK menunjukkan bahwa pengguna layanan paylater didominasi oleh generasi muda, khususnya mereka yang berada dalam rentang usia 26 hingga 35 tahun. Secara rinci, sekitar 26,5 persen pengguna paylater berusia antara 18 hingga 25 tahun, sedangkan 43,9 persen berusia 26 hingga 35 tahun. Selain itu, sekitar 21,3 persen pengguna berusia antara 36 hingga 45 tahun, 7,3 persen berusia 46 hingga 55 tahun, dan hanya 1,1 persen pengguna yang berusia di atas 55 tahun.
Sebagian besar pengguna layanan paylater menggunakan produk ini untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup, seperti membeli barang-barang fesyen, perlengkapan rumah tangga, elektronik, serta perangkat elektronik seperti laptop dan ponsel. Berdasarkan data, 66,4 persen pengguna paylater menggunakan layanan ini untuk membeli barang fesyen, diikuti dengan perlengkapan rumah tangga sebesar 52,2 persen, elektronik 41 persen, dan perangkat teknologi seperti laptop atau ponsel sebanyak 34,5 persen. Sedangkan 32,9 persen pengguna paylater menggunakan fasilitas ini untuk perawatan tubuh.
Selain paylater, tren penggunaan pinjaman online (pinjol) juga menunjukkan angka yang signifikan. Pada September 2024, total pembiayaan yang disalurkan oleh industri pinjaman online mencapai Rp74,48 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman mengungkapkan bahwa total pembiayaan di sektor pinjol ini mengalami kenaikan yang signifikan, yakni sebesar 33,73 persen secara tahunan (year on year/yoy).
“Pada September 2024, nilai pembiayaan di industri pinjol tumbuh sebesar 33,73 persen secara tahunan, mencapai Rp74,48 triliun. Sebelumnya, pada Agustus 2024, industri pinjol tercatat mengalami kenaikan sebesar 35,62 persen secara tahunan,” jelas Agusman, Jumat, 1 November 2024. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.