Logo
>

Tidak Hanya Co-Payment! Ini Aturan Baru OJK untuk Asuransi Kesehatan

SEOJK 7/2025: Aturan Baru OJK Wajibkan Pemegang Polis Tanggung Sebagian Biaya Klaim Asuransi Kesehatan Mulai 2026

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Tidak Hanya Co-Payment! Ini Aturan Baru OJK untuk Asuransi Kesehatan
Ilustrasi tentang asuransi kesehatan. Foto: Freepik

KABARBURSA.COM - Pembahasan mengenai aturan pembagian risiko di mana pemegang polis asuransi kesehatan harus menanggung 10 persen dari biaya klaim atau yang dikenal sebagai co-payment sedang menjadi topik hangat dan memicu beragam pendapat. 

Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025 yang mengatur penyelenggaraan produk asuransi kesehatan.

Pelaksana Tugas Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, menjelaskan bahwa dalam SEOJK tersebut, tidak hanya soal mekanisme co-payment yang diatur. 

“Melalui ketentuan ini, OJK mendorong efisiensi pembiayaan layanan kesehatan jangka panjang di tengah tren inflasi medis yang terus meningkat secara global,” ungkap Ismail dalam siaran resmi dikutip, Senin, 9 Juni 2025.

Secara garis besar, SEOJK 7/2025 memuat aturan lebih rinci terkait perusahaan asuransi yang dapat menjalankan lini bisnis asuransi kesehatan, termasuk penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang memadai bagi perusahaan dalam menjalankan usahanya.

Berikut beberapa poin penting yang tercantum dalam SEOJK 7/2025:

Penyesuaian fitur asuransi kesehatan

Perusahaan asuransi yang menjual produk kesehatan wajib memberlakukan sistem co-payment, yaitu pemegang polis harus menanggung minimal 10 persen dari total klaim rawat jalan atau rawat inap di fasilitas kesehatan. Risiko maksimum yang ditanggung peserta adalah Rp300.000 untuk klaim rawat jalan dan Rp3 juta untuk klaim rawat inap. 

“Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan layanan medis dan layanan obat yang lebih berkualitas serta akan mendorong premi asuransi kesehatan yang affordable atau lebih terjangkau karena peningkatan premi dapat dimitigasi dengan lebih baik,” jelas Ismail.

Ia juga menambahkan bahwa pengalaman di berbagai negara, termasuk Indonesia, menunjukkan mekanisme co-payment atau deductible dapat meningkatkan kesadaran pemegang polis dalam menggunakan layanan kesehatan. 

Selain itu, aturan ini juga mewajibkan adanya fitur Coordination of Benefit (CoB) yang memungkinkan koordinasi biaya layanan kesehatan sesuai dengan skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari BPJS Kesehatan.

Pemenuhan standar sumber daya manusia dan sistem informasi

SEOJK 7/2025 juga mengharuskan perusahaan asuransi memiliki tenaga ahli yang cukup, termasuk dokter yang berkompeten untuk melakukan analisis tindakan medis dan telaah pemanfaatan layanan atau utilization review. Perusahaan wajib membentuk Dewan Penasihat Medis atau Medical Advisory Board.

Selain itu, sistem informasi yang memadai harus dimiliki untuk mendukung pertukaran data digital dengan fasilitas kesehatan. 

Melalui standarisasi ini, OJK berharap perusahaan dapat melakukan evaluasi terhadap efektivitas layanan medis dan obat-obatan berbasis data digital, serta memberikan masukan secara berkala kepada fasilitas kesehatan lewat mekanisme utilization review.

Sebagai catatan, SEOJK 7/2025 merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 3B ayat (3) Peraturan OJK Nomor 36 Tahun 2024 yang mengubah POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Reasuransi, baik konvensional maupun syariah. Ketentuan ini mulai berlaku pada 1 Januari 2026. 

Untuk produk asuransi kesehatan yang sudah berjalan saat SEOJK diterbitkan, ketentuan lama tetap berlaku sampai masa pertanggungan berakhir. 

Sedangkan untuk produk yang dapat diperpanjang otomatis dan telah mendapat persetujuan atau dilaporkan ke OJK sebelum aturan ini berlaku, harus disesuaikan paling lambat 31 Desember 2026.

Ismail menegaskan bahwa aturan ini hanya berlaku untuk produk asuransi kesehatan komersial dan tidak mengatur skema JKN yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan. 

“Penerbitan SEOJK 7/2025 dimaksudkan untuk mendorong setiap pihak dalam ekosistem asuransi kesehatan untuk dapat memberikan nilai tambah bagi upaya efisiensi biaya kesehatan dalam jangka panjang, mengingat tren inflasi medis yang terus meningkat dan jauh lebih tinggi dari inflasi umum, dan tidak hanya di Indonesia namun juga terjadi di seluruh dunia,” tutupnya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.