KABARBURSA.COM - Koperasi Desa Merah Putih: Penggerak Ekonomi Kerakyatan Peluncuran simbolis 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih oleh Presiden RI di Klaten, Jawa Tengah, 21 Juli 2025.
Peluncuran massal koperasi desa ini menandai tonggak penting menuju kemandirian ekonomi rakyat. Gagasan Koperasi Desa Merah Putih sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.
Pemerintah mendukung penuh gerakan koperasi sebagai wujud ekonomi kerakyatan, dengan prinsip gotong royong dan saling membantu. Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih didorong oleh kebutuhan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa melalui model pemberdayaan lokal.
Prinsip koperasi dianggap Presiden Prabowo sebagai “alatnya orang lemah” untuk bersatu menjadi kekuatan ekonomi besar. Artinya, masyarakat desa yang secara individual punya kapasitas terbatas dapat bergabung dalam koperasi untuk mengelola usaha bersama. Contohnya, koperasi desa dapat mengelola usaha pertanian, peternakan, hingga proyek infrastruktur lokal seperti pembangkit listrik desa. Namun, untuk merealisasikan proyek besar semacam pembangkit energi, koperasi membutuhkan dukungan pendanaan yang inovatif dan partisipatif.

Di sinilah tokenisasi pembiayaan komunitas berperan. Tokenisasi Pembiayaan Ritel dan Berbasis Komunitas Tokenisasi pembiayaan adalah proses digitalisasi aset atau proyek menjadi satuan token di platform blockchain, sehingga masyarakat luas dapat memiliki bagian (fractional ownership) dari aset tersebut melalui kepemilikan token.
Setiap token mewakili porsi kepemilikan atau hak terhadap manfaat ekonomi aset (misalnya pendapatan proyek energi terbarukan). Skema ini menurunkan hambatan investasi, karena investor ritel dapat berpartisipasi dengan nominal kecil sekalipun.
Bagi komunitas lokal, tokenisasi membuka peluang urun dana (crowdfunding) digital yang transparan dan dapat diakses oleh warga desa, diaspora, maupun investor global. Keunggulan tokenisasi meliputi Inklusivitas
Pendanaan yaitu masyarakat lokal dapat menjadi investor proyek desa mereka sendiri dan Transparansi dan Akuntabilitas yaitu setiap aliran dana dan kepemilikan token tercatat transparan. Hal ini membangun kepercayaan investor bahwa dana dikelola dengan baik. Kemudian Likuiditas terjaga karena token dapat diperjualbelikan di pasar sekunder sehingga investor memiliki opsi untuk mencairkan investasi sebelum proyek selesai, dan efisien karena dengan smart contract, distribusi keuntungan bagi pemegang token dapat diotomatisasi, mengurangi biaya administrasi.
Melalui tokenisasi, Koperasi Desa Merah Putih dapat menggalang dana untuk proyek energi baru dengan mengeluarkan “token proyek” yang ditawarkan ke anggota koperasi dan publik. Skema ini menjadi bentuk modern dari gotong royong: banyak orang urun modal untuk membangun aset produktif bersama, lalu menikmati hasilnya bersama-sama. Pembangkit Listrik Osmotik: Energi Biru bagi Desa Pesisir Upacara peresmian pembangkit listrik osmotik di Fukuoka, Jepang (Agustus 2025).
Teknologi ini memanfaatkan pertemuan air tawar dan air laut untuk menghasilkan listrik. Pembangkit listrik osmotik merupakan jenis pembangkit energi terbarukan yang memanfaatkan perbedaan salinitas antara air laut dan air tawar untuk menghasilkan listrik. Energi osmotik kerap disebut “energi biru” karena bersumber dari lautan (memanfaatkan gradien garam) dan termasuk dalam ekonomi biru yang ramah lingkungan.
Teknologi ini bekerja berdasarkan prinsip osmosis: ketika air tawar dan air asin dipisahkan membran semi-permeabel, air tawar akan mengalir ke air asin untuk menyeimbangkan konsentrasi garam. Aliran air tersebut menciptakan tekanan osmotik yang dapat memutar turbin dan generator, menghasilkan listrik. Keunggulan utama pembangkit osmotik adalah mampu beroperasi 24 jam nonstop, tidak tergantung cuaca siang/malam seperti tenaga surya atau angin.
Selama pasokan air tawar (misal dari sungai atau air payau) dan air laut tersedia, pembangkit bisa terus menghasilkan listrik stabil dan bebas emisi karbon. Dengan kata lain, pembangkit osmotik dapat menjadi solusi kemandirian energi desa yang berkelanjutan: desa pesisir bisa memiliki listrik sendiri dari sumber alam setempat, tanpa bergantung pada bahan bakar fosil.
Dengan garis pantai yang panjang, Indonesia berpotensi memanfaatkan energi biru osmosis di wilayah pesisir. Pilot project skala kecil bisa dimulai di desa yang dekat muara sungai atau memiliki akses air laut dan air tawar. Pembangkit osmotik skala komunitas dapat didesain modular, menyesuaikan kebutuhan listrik desa.
Agar proyek semacam ini terwujud, dibutuhkan model pembiayaan yang tepat – di sinilah koperasi desa dan tokenisasi berperan. Skema Tokenisasi untuk Pendanaan Pembangkit Osmotik Desa Skema integrasi tokenisasi dalam pembiayaan pembangkit listrik osmotik yaitu pertama Koperasi Desa mengusulkan proyek pembangunan pembangkit listrik osmotik.
Setelah disetujui anggota koperasi, proyek ini menjadi usaha milik bersama koperasi. Kemudian Koperasi, bekerja sama dengan platform blockchain nasional, menerbitkan token digital yang merepresentasikan porsi investasi di proyek pembangkit osmotik tersebut.
Setelah itu, token ditawarkan secara hybrid yaitu prioritas pertama kepada warga lokal dan anggota koperasi (misalnya 50 persen alokasi untuk komunitas setempat), sehingga mereka bisa mudah membeli token via aplikasi koperasi. Sisanya ditawarkan ke investor domestik umum dan bahkan global melalui platform online. Dengan nilai terjangkau per token, petani, nelayan, UMKM desa dapat ikut memiliki proyek cukup dengan membeli beberapa ratus atau ribu token sesuai kemampuan.
Dana hasil penjualan token terkumpul di escrow koperasi dan digunakan untuk membangun fasilitas pembangkit osmotic. Selama fase pembangunan, investor dapat memantau progres via laporan berkala yang tercatat di blockchain (meningkatkan transparansi). Langkah berikutnya adalah Operasional dan Monetisasi. Setelah beroperasi, pembangkit osmotik menghasilkan listrik 24 jam yang disalurkan ke desa.
Pendapatan diperoleh dari penjualan listrik ke anggota (misal lewat tagihan listrik koperasi) dan mungkin menjual kelebihan daya ke jaringan PLN setempat jika memungkinkan. Karena koperasi yang mengelola, tarif listrik bisa disepakati terjangkau untuk warga namun tetap mencukupi biaya operasi dan keuntungan.
Lalu pendapatan pembangkit didistribusikan: sebagian untuk biaya operasional & pemeliharaan, sebagian untuk kas koperasi desa, dan porsi dividen bagi pemegang token. Smart contract di blockchain otomatis mengirim hasil bagi secara periodik ke dompet digital pemilik token sesuai jumlah token mereka.
Koperasi bertindak sebagai entitas penerbit token dan penanggung jawab proyek. Semua ini tunduk pada regulasi keuangan dan koperasi Indonesia, memastikan keamanan investor.

Karena melibatkan teknologi blockchain, dilakukan agar tokenisasi ini legal dan terpantau. Koperasi juga memastikan literasi digital bagi anggota desa supaya mereka paham cara memiliki dan menyimpan token dengan aman.
Skema di atas menggambarkan sinergi pemberdayaan komunitas dengan teknologi finansial. Warga desa tidak hanya sebagai konsumen listrik, tapi turut menjadi pemilik pembangkitnya. Hal ini mendorong rasa memiliki (sense of ownership) sehingga infrastruktur dijaga bersama.
Selain itu, dengan melibatkan investor lebih luas, desa mendapat suntikan modal tanpa sepenuhnya bergantung pada APBN atau utang pemerintah. Secara ekonomi, aliran pendapatan dari proyek akan meningkatkan pendapatan rumah tangga desa (melalui dividen koperasi atau hasil investasi token). Multiplier effect-nya, kesejahteraan lokal meningkat dan dana bisa diputar lagi untuk proyek desa lainnya.(*)