KABARBURSA.COM - Harga batu bara kian kehilangan panasnya. Pada perdagangan Selasa waktu setempat, atau Rabu WIB, 8 Oktober 2025, harga batu bara kontrak acuan di pasar global melemah ke USD106,4 per ton, turun 0,70 persen. Pelemahan ini melanjutkan tren negatif selama dua hari berturut-turut.
Di bursa ICE Newcastle, harga batu bara pengiriman bulan depan hanya menguat tipis ke USD104,8 per ton, atau nyaris tak bergerak dari hari sebelumnya. Performa yang loyo ini menandakan tekanan jangka menengah belum berakhir, yang artinya sebuah cermin dari lemahnya permintaan industri dan transisi energi global yang kian nyata.
Penyebab utama penurunan harga batu bara datang dari melemahnya permintaan di China, konsumen terbesar komoditas ini. Sektor industri dan kelistrikan di negeri tirai bambu tersebut sedang memasuki fase “cooling sales”. Konsumsi energi menurun pasca musim panas.
Di saat bersamaan, pembangkit listrik tenaga air dan energi terbarukan meningkat efisiensinya, hingga mengurangi ketergantungan terhadap batu bara.
Kondisi ini diperparah oleh kelebihan pasokan domestik, sementara harga batu bara impor yang lebih murah menekan margin produsen lokal. Laporan Sxcoal menyebut pasar batu bara thermal China kini berada dalam fase stagnan, di mana pasokan berlebih beradu dengan permintaan yang melemah. Sebuah kombinasi yang membuat harga sulit bergerak naik.
Bahkan, meski beberapa pabrik baja di Hebei dan Tianjin sempat menaikkan harga kokas menjelang libur nasional, kenaikan tersebut tak cukup kuat menopang harga batu bara. Permintaan baja jadi lemah, margin pabrikan menipis, dan stok menumpuk. Akibatnya, harga kokas hanya naik sesaat sebelum kembali tertahan.
Energi Hijau jadi Pemain Baru
Dunia kini memasuki titik balik sejarah energi global. Lembaga riset Ember mencatat bahwa pada semester I-2025, produksi listrik dari energi terbarukan mencapai 5.072 TWh, melampaui pembangkit berbahan batu bara yang menghasilkan 4.896 TWh.
Untuk pertama kalinya, energi bersih, terutama dari matahari dan angin, mengambil alih tahta “raja listrik” yang selama ini dipegang batu bara.
“Matahari dan angin kini tumbuh cepat untuk memenuhi permintaan listrik global,” ujar Malgorzata Wiatros-Myotka, analis senior listrik dari Ember.
Peningkatan permintaan listrik dunia sebesar 2,6 persen atau 369 TWh sepanjang paruh pertama 2025 sepenuhnya mampu diserap oleh pertumbuhan energi terbarukan, bukan oleh batu bara. Ini menandakan era baru dalam dinamika energi dunia, bahwa batu bara tak lagi jadi prioritas.
Dampak dari lemahnya pasar domestik China langsung dirasakan oleh eksportir utama seperti Indonesia dan Australia. Harga batu bara domestik China yang turun membuat impor menjadi kurang menarik dan menekan volume ekspor serta meningkatkan persaingan harga global.
Produsen dengan margin operasional tipis kini menghadapi dilemma, mau melanjutkan produksi dengan risiko rugi, atau menahan volume agar harga tak jatuh lebih dalam. Beberapa bahkan memilih efisiensi biaya dan menunda ekspansi tambang baru.
Batu Bara Masih Terjebak di Zona Bearish
Dari sisi teknikal, tren harian menunjukkan bahwa batu bara masih berada dalam zona bearish ringan. Nilai RSI (Relative Strength Index) sebesar 47 menandakan tekanan jual masih dominan, walau belum mencapai titik jenuh. Artinya, harga cenderung melemah tetapi dengan peluang konsolidasi jika momentum beli muncul di area support.
Sementara Stochastic RSI di level 73 menunjukkan momentum beli jangka pendek mulai terbentuk, meski belum cukup kuat untuk mengubah arah tren. ATR (Average True Range) sebesar 0,81 menunjukkan volatilitas rendah, menandakan harga cenderung bergerak sideways dengan rentang sempit.
Untuk jangka pendek, support harga berada di kisaran USD103–100 per ton, sedangkan resisten terdekat di area USD106–109 per ton. Jika harga mampu menembus di atas resisten tersebut dengan volume kuat, ada peluang terbentuknya pembalikan tren menuju zona netral.
Namun, selama RSI masih tertahan di bawah 50, reli besar tampaknya belum akan terjadi.
Prospek harga batu bara dalam waktu dekat masih cenderung tertahan. Kombinasi permintaan global yang melambat, tekanan pasokan, serta transisi energi bersih menjadi faktor penahan utama.
Kecuali, muncul kejutan dari sisi suplai, seperti gangguan produksi besar atau lonjakan permintaan musiman, harga batu bara berpotensi tetap berada di kisaran US$100–110 per ton dalam beberapa minggu ke depan.
Dalam jangka panjang, tekanan struktural dari ekspansi energi terbarukan menjadi tantangan serius bagi industri batu bara global. Sekali bara kehilangan panasnya, sulit bagi komoditas ini untuk kembali memimpin panggung energi dunia.(*)