Logo
>

Tren Harga Global Menurun, Industri Tambang Diminta Adaptif

Ditulis oleh Pramirvan Datu
Tren Harga Global Menurun, Industri Tambang Diminta Adaptif
Fasilitas kilang terintegrasi dari Sinopec Guangdong Oil Products Co mulai beroperasi di Jieyang, provinsi Guangdong, pada bulan Maret 2024. Foto: China Daily.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Tren harga komoditas global yang terus menurun, ditambah dengan kondisi ekonomi global yang memburuk dan ancaman kontraksi ekonomi lokal, menjadi perhatian serius bagi industri pertambangan di Indonesia. Di tengah tantangan ini, para pelaku usaha meminta pemerintah untuk lebih fleksibel dalam menerapkan kebijakan agar industri tetap bertahan dan mampu bersaing di pasar global.

    Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menyampaikan bahwa situasi ekonomi saat ini tidak kondusif bagi industri tambang. Berbagai tekanan eksternal dan internal berpotensi menghambat pertumbuhan sektor ini jika tidak diantisipasi dengan kebijakan yang tepat.

    “Sekarang industri sudah terbebani dengan berbagai kewajiban akibat regulasi yang terus berubah-ubah. Tren harga sedang turun, ekonomi global juga tidak dalam kondisi baik-baik saja, sementara ekonomi lokal berpotensi mengalami kontraksi. Situasi ini tentu menjadi tantangan besar bagi pelaku usaha,” ujar Hendra.

    Hendra juga menyoroti bahwa perubahan kebijakan yang terjadi secara cepat membuat pelaku industri sulit beradaptasi. Ia juga menambahkan bahwa regulasi yang terlalu ketat akan menghambat investasi dan pertumbuhan industri.

    "Kami meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali berbagai regulasi yang diterapkan. Jika tidak ada kepastian kebijakan, maka banyak investor yang akan berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di sektor ini," tambahnya

    Senada dengan itu, Ketua Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Nanan Soekarna, menyoroti pentingnya stabilitas regulasi di tengah fluktuasi pasar global. Menurutnya, jika kebijakan tidak dikaji dengan matang, industri nasional akan semakin sulit bersaing.

    “Kita ingin industri ini tetap tumbuh dan berkontribusi bagi negara, tetapi jika kondisi ekonomi global memburuk dan regulasi justru semakin memberatkan, tentu ini akan menjadi hambatan besar bagi pelaku usaha. Pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi ini sebelum menerapkan kebijakan baru,” jelas Nanan.

    Ia juga mengingatkan bahwa perubahan kebijakan yang mendadak bisa mengganggu kestabilan operasional perusahaan.

    "Kami bukan menolak aturan, tetapi setiap kebijakan harus dikaji lebih matang. Jangan sampai regulasi yang dibuat justru melemahkan daya saing industri kita sendiri," tambahnya.

    Nanan juga menekankan bahwa asosiasi pertambangan terus menjalin komunikasi dengan pemerintah untuk memastikan kebijakan yang diterapkan selaras dengan realitas pasar. Ia berharap ada ruang diskusi yang lebih luas agar kebijakan yang diambil benar-benar mendukung keberlanjutan industri.

    Dampak Kebijakan Royalti

    Pelaku industri pertambangan meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencana kenaikan royalti yang dinilai semakin membebani sektor tersebut. Berbagai asosiasi pertambangan menyoroti dampak kebijakan ini terhadap investasi dan keberlanjutan industri, terutama di tengah tren harga global yang sedang melemah dan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil.

    Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menegaskan bahwa industri saat ini sudah dibebani oleh berbagai regulasi yang terus berubah. Menurutnya, kebijakan ini dapat menghambat pertumbuhan industri serta mengurangi daya saing Indonesia di pasar global.

    “Sekarang industri sudah terbebani dengan berbagai kewajiban akibat regulasi yang terus berubah-ubah. Tren harga sedang turun, ekonomi global juga tidak dalam kondisi baik-baik saja, sementara ekonomi lokal berpotensi mengalami kontraksi. Kenaikan royalti ini tentu akan berdampak bukan hanya pada perusahaan, tetapi juga pada target pemerintah dalam menarik investasi, terutama di sektor hilirisasi,” ujar Hendra.

    IMA sendiri telah mengajukan surat kepada pemerintah untuk meminta kajian lebih lanjut terkait rencana tersebut. Mereka menyoroti bahwa kebijakan ini tidak hanya akan memukul perusahaan pertambangan, tetapi juga investor yang telah menanamkan modal di sektor ini. Hendra juga meminta agar pengambil kebijakan berdiskusi lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan sebelum kebijakan ini diterapkan.

    Senada dengan Hendra, Ketua Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Nanan Soekarna, menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan dalam kebijakan pertambangan. Ia menyoroti bahwa industri nikel dan sektor mineral lainnya harus memiliki regulasi yang adil dan tidak memberatkan pelaku usaha.

    “Kita ingin industri ini maju karena menjadi tulang punggung investasi dan perekonomian nasional. Jika industri sehat, maka negara juga akan sehat. Namun, jika regulasi terus berubah tanpa kajian mendalam, maka para pelaku usaha akan menghadapi ketidakpastian yang merugikan,” kata Nanan.

    Menurutnya, asosiasi pertambangan saat ini telah membangun sinergi dengan membentuk sekretariat bersama untuk mengawal regulasi di sektor ini. Ia berharap pemerintah dapat membuka ruang dialog yang lebih luas sebelum mengambil keputusan strategis yang dapat berdampak luas bagi sektor pertambangan.(info-bks/*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Pramirvan Datu

    Pram panggilan akrabnya, jurnalis sudah terverifikasi dewan pers. Mengawali karirnya sejak tahun 2012 silam. Berkecimpung pewarta keuangan, perbankan, ekonomi makro dan mikro serta pasar modal.