Logo
>

Trump Desak The Fed Pangkas Bunga, Ancaman ke Powell Menguat

Trump kembali menekan The Fed untuk memangkas suku bunga, menyebut Powell “pecundang besar” dan mengancam ambil alih kendali kebijakan moneter.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Trump Desak The Fed Pangkas Bunga, Ancaman ke Powell Menguat
Ilustrasi Presiden AS Donald Trump dan Ketua The Fed Jerome Powell. Foto: The National.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menggencarkan tekanannya terhadap Federal Reserve agar segera memangkas suku bunga acuan. Di tengah ketegangan akibat perang dagang yang ia picu sendiri, Trump menilai pemangkasan bunga bisa jadi “bantalan” untuk meredam dampak ekonomi yang mungkin terjadi.

    Dalam unggahan di Truth Social pada Senin, 21 April 2025, Trump menyebut inflasi saat ini “hampir tidak ada”, mengacu pada data Maret sebelum tarif-tarif baru diberlakukan. Dilansir dari The Wall Street Journal di Jakarta, Selasa, ia kemudian mengarahkan kritik keras kepada Ketua The Fed Jerome Powell, yang ia sebut “selalu terlambat” dan bahkan menyebut Powell sebagai “pecundang besar”.

    Pasar langsung bereaksi. Dolar AS melemah lagi terhadap mata uang asing, sementara saham turun dan imbal hasil obligasi AS naik. Ini terjadi setelah Trump pekan lalu mengancam akan mengambil alih lebih banyak kendali terhadap kebijakan moneter jika The Fed tidak segera memangkas suku bunga.

    Padahal, di belakang layar, sebagian penasihat ekonomi Trump sendiri menyuarakan kekhawatiran bahwa pemangkasan bunga terlalu cepat justru bisa memicu lonjakan inflasi.

    Sikap Gedung Putih pun mulai terlihat lebih ambigu. Kevin Hassett, Direktur Dewan Ekonomi Nasional, yang sebelumnya dikenal membela independensi bank sentral, kini enggan membela Powell secara terbuka. Ia hanya menyebut pemerintah masih mempelajari status Powell dan bahkan menuding The Fed selama ini membuat keputusan dengan pertimbangan politis—sesuatu yang langsung dibantah oleh para pejabat The Fed.

    WSJ Dollar Index mencatat penurunan tiga pekan berturut-turut, turun 3,5 persen—terbesar sejak November 2022. Nilai tukar dolar kembali tertekan saat pasar Asia dibuka pada Minggu malam.

    Trump sendiri terus menggoyang independensi The Fed. Dalam jumpa pers pada Kamis lalu, ia menyatakan bisa memecat Powell kapan saja. “Kalau saya mau dia keluar, dia akan keluar dengan cepat, percayalah,” ujarnya.

    Meski pernyataan seperti ini sudah sering terdengar sejak periode pertamanya, investor kini lebih cemas. Ada dua alasannya: pertama, Trump kini jauh lebih berani menabrak norma kelembagaan dan hukum. Kedua, tarif-tarif terbaru jauh lebih besar dan luas dari kebijakan serupa yang ia terapkan pada 2019–2020 sehingga menambah tekanan bagi The Fed yang selama beberapa tahun terakhir telah menaikkan bunga ke level tertinggi dua dekade demi melawan inflasi.

    Kekhawatiran pun muncul bahwa The Fed tak lagi bebas menyesuaikan suku bunga seperti yang mereka lakukan pada 2022. Jika benar terjadi, kredibilitas AS dalam pengelolaan ekonomi bisa semakin dipertanyakan, terutama oleh investor asing.

    Kilas balik ke 2018, saat Trump juga mengancam akan memecat Powell, Hassett sempat meredam kepanikan pasar dengan menyebut Powell “100 persen aman”. Dalam bukunya yang terbit 2021, Hassett mengaku saat itu bicara tanpa koordinasi, tapi Trump justru mengucapkan selamat karena pasar saham langsung rebound.

    Dalam buku yang sama, Hassett juga menekankan pentingnya menjaga independensi The Fed. Ia menyebut pemecatan Powell akan “menghancurkan kredibilitas dolar” dan merusak reputasi The Fed sebagai pengelola moneter yang objektif.

    Namun kini, Hassett terlihat lebih pragmatis. Kepada wartawan pada Jumat lalu, ia berkata, “Kalau ada analisis hukum baru yang bilang lain, maka respons pasar tentu juga akan berbeda.”

    Pada 2022 lalu, saat The Fed berada di bawah tekanan karena rencana menaikkan bunga hingga bisa memicu resesi, Hassett justru membela Powell dari serangan Demokrat. Menurutnya, “menyerang Powell hanya akan merugikan ekonomi dan pasar.”

    Powell sendiri meyakini bahwa dirinya tak bisa dipecat sebelum masa jabatannya berakhir pada Mei 2026. Jika Trump nekat mencoba, bukan tak mungkin konflik ini akan dibawa ke Mahkamah Agung.

    Senator John Kennedy dari Partai Republik pun angkat bicara. “Saya tidak yakin presiden berhak mencopot ketua The Fed,” katanya di program Meet the Press di NBC. Ia menambahkan, “Menurut saya, Jay Powell punya darah harimau. Dia akan tetap melakukan apa yang menurutnya benar, dan tidak akan dikenang sebagai Ketua The Fed yang membiarkan inflasi liar seperti kelinci di musim kawin.”

    Dilema Suku Bunga

    Sejatinya Powell sedang berada dalam posisi yang bikin kepalanya pening. Di tengah naiknya tensi ekonomi akibat tarif impor baru yang dikeluarkan Presiden Donald Trump, Powell kini dipaksa menari di antara dua kutub yang saling bertabrakan: inflasi dan resesi.

    Tarif baru yang dijadwalkan mulai berlaku Rabu pekan lalu tak cuma membuat pelaku pasar kelabakan, tapi juga memicu spekulasi resesi. Banyak ekonom, pelaku usaha, dan investor khawatir lonjakan tarif ini bakal menekan belanja dan perekrutan tenaga kerja. Dalam situasi seperti itu, biasanya bank sentral akan memangkas suku bunga untuk meredam dampak pelemahan ekonomi.

    Masalahnya, di saat yang sama, lonjakan tarif akan membuat harga barang impor—termasuk bahan baku industri dalam negeri—naik tajam. Ini bisa mendorong inflasi naik lebih cepat. Jadi, kalau suku bunga dipangkas, The Fed justru bisa dituding memperkeruh inflasi.

    “Mereka ada di posisi serba salah,” kata mantan Gubernur The Fed, Laurence Meyer.

    Sejak dulu, tugas utama The Fed memang menjaga inflasi tetap rendah dan stabil, sembari memastikan pasar tenaga kerja sehat. Tapi, menurut Riccardo Trezzi, mantan ekonom The Fed yang kini mendirikan firma konsultasi Underlying Inflation di Jenewa, “Pemerintahan ini sudah menghasilkan kejutan paling buruk buat The Fed dan sekarang mereka tak bisa berbuat apa-apa.”

    Dalam pernyataan pekan lalu, Powell menyebut The Fed belum butuh terburu-buru memotong suku bunga. Ini sinyal bahwa opsi rate cut masih jauh dari meja rapat. “Nanti juga bakal ketahuan seiring waktu. Kita belum bisa pastikan kapan tepatnya, tapi proses pembelajarannya sedang berlangsung,” ujarnya.

    Meski begitu, pasar tetap yakin pemangkasan suku bunga akan dilakukan akhir tahun ini. Alasannya, tekanan ekonomi akibat tarif akan membuat perusahaan kehilangan daya untuk menaikkan harga yang artinya inflasi akan melambat usai lonjakan awal.

    Namun di sisi lain, The Fed juga ogah memotong suku bunga terlalu cepat. Kalau kelemahan ekonomi berhasil diredam, inflasi bisa jadi justru akan bertahan lebih lama. Para pejabat Fed memberi sinyal akan lebih hati-hati dibanding krisis-krisis sebelumnya dan hanya akan bergerak setelah benar-benar melihat pelemahan pasar tenaga kerja.

    “Kalau kamu pemain trapeze, jangan lompat dulu dari platform sebelum partnermu benar-benar lompat,” ujar Kepala Ekonom BNY Investments, Vincent Reinhart.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).