KABARBURSA.COM - Saham-saham perusahaan teknologi Asia kompak naik gegara satu kabar yang lumayan melegakan, yakni pemerintahan Donald Trump ternyata mengecualikan sejumlah barang elektronik dari tarif impor. Mulai dari peralatan semikonduktor, ponsel pintar, sampai jam tangan pintar, semua dapat "karpet merah" dari otoritas Bea Cukai Amerika Serikat.
Dilansir dari The Wall Street Journal di Jakarta, Senin, 14 April 2025, langkah ini langsung bikin pasar bergairah. SMIC, produsen chip terbesar di China, naik 0,5 persen di perdagangan siang Hong Kong hari ini. Hua Hong Semiconductor melonjak 3,05 persen. Tokyo Electron dari Jepang juga ikut menguat 2,4 persen, sementara Samsung Electronics asal Korea Selatan naik 1,8 persen. Dari Malaysia, Inari Amertron dan Unisem (M) masing-masing naik 6,6 persen dan 3 persen.
Pemasok Apple yang terdaftar di Asia juga ikut pesta. Largan Precision dari Taiwan naik 5,2 persen, Foxconn Technology 3 persen, dan GoerTek di Shenzhen naik tipis 0,8 persen. Di Hong Kong, BYD Electronic International dan Sunny Optical Technology masing-masing naik 2,3 persen dan 0,2 persen. LG Innotek dari Korea Selatan mencatat kenaikan signifikan: 6,2 persen.
Perusahaan pembuat PC juga tak mau ketinggalan. Lenovo naik 3,4 persen, sementara Quanta Computer melejit 5,8 persen.
Kenaikan ini muncul setelah pengumuman dari Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS yang dirilis Jumat malam waktu setempat. Dalam pengumuman itu, disebutkan bahwa komputer, tablet, Apple Watch, monitor, peralatan semikonduktor, dan perangkat elektronik lain dibebaskan dari banyak tarif atas barang asal China, termasuk tarif 10 persen untuk seluruh impor AS.
Meski begitu, para pejabat pemerintahan AS tetap menegaskan produk-produk ini tetap akan dikenakan tarif tambahan nantinya, dalam rangka penyelidikan rantai pasok semikonduktor dan keamanan nasional. Para analis menyambut kabar ini sebagai angin segar setelah seminggu penuh drama tarif yang bikin pasar keuangan gonjang-ganjing.
Analis Barclays menyebut revisi tersebut "secara signifikan mengurangi nilai impor AS dari negara-negara berkembang Asia yang terkena tarif balasan." Nomura memperkirakan sekitar 16,3 persen ekspor China ke AS kini bebas dari tarif timbal balik.
Pihak yang paling diuntungkan adalah para pemasok Apple. Menurut catatan Citi, sekitar 90 persen kapasitas perakitan iPhone berada di China, begitu pula 80 persen iPad. Tak heran jika Apple yang sempat jadi korban tarif Trump hingga 145 persen minggu lalu, kini bisa sedikit bernapas lega.
"Langkah ini bisa memberi Apple sedikit ruang bernapas," tulis analis Wedbush, Dan Ives. Ia menambahkan, ini juga bisa memberi waktu bagi China untuk negosiasi karena mereka tidak harus langsung menaikkan harga besar-besaran ke konsumen Amerika.
Analis Nomura juga memprediksi adanya gelombang ekspor dalam jumlah besar dalam beberapa minggu hingga bulan ke depan, terutama untuk produk-produk yang kini bebas tarif.
Ekonom Capital Economics, Paul Ashworth, memperkirakan kelonggaran ini bukan yang terakhir. "Keberhasilan CEO Apple, Tim Cook, dalam membebaskan iPhone dari tarif kemungkinan akan memicu lobi dari sektor lain," katanya.
Tapi jangan senang dulu. Investor tetap waspada. Soalnya Trump sendiri sudah bersuara di platform Truth Social miliknya, "TIDAK ADA yang lolos dari pemeriksaan!" tulisnya. "Kami akan meneliti semikonduktor dan SELURUH RANTAI PASOK ELEKTRONIK dalam investigasi tarif keamanan nasional berikutnya." Jadi, meski dapat diskon hari ini, besok bisa saja tagihannya membengkak lagi.
Bagi Investor, ini Bukan Sekadar Perang Tarif
Bagi investor Indonesia, berita pengecualian tarif untuk barang elektronik China bukan sekadar isu dagang luar negeri. Ia adalah sinyal—semacam notifikasi tak kasatmata—bahwa pasar sedang menyesuaikan napasnya. Dan dalam dunia pasar modal, napas yang berubah setengah detik lebih cepat bisa jadi berarti cuan atau kerugian.
Jika merujuk pada teori rantai pasok global yang dijabarkan Ruslaini dan Kusnanto (2020: 3–5) dalam artikel jurnal Universitas Trisakti berjudul Analisis Kritis tentang Pengelolaan Rantai Pasokan dalam Konteks Globalisasi, perubahan kebijakan dagang di satu negara bisa mengalir hingga ke pasar negara lain. Investor di Indonesia yang jeli akan segera menangkap dua hal, potensi peluang dan risiko tersembunyi.
Potensi peluang datang dari sektor-sektor yang berada dalam posisi menguntungkan dalam rantai. Emiten produsen logam dasar, seperti nikel dan bauksit, bisa menjadi incaran jika permintaan dari China tetap kuat akibat stabilnya produksi elektronik mereka. Saham-saham seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Timah Tbk (TINS)--dua pemasok bahan baku elektronik Apple–bisa memperoleh limpahan sentimen positif. Demikian pula emiten di sektor logistik dan pelabuhan—yang pergerakan muat-bongkarnya bisa terdorong oleh lalu lintas ekspor-impor regional.
Tapi di sisi lain, risikonya juga nyata. Ketika produk jadi dari China mengalir deras masuk ke pasar ASEAN, termasuk Indonesia, maka emiten manufaktur lokal yang tidak efisien bisa tertekan. Saham sektor elektronik rakitan dalam negeri atau tekstil yang bersaing langsung dengan barang impor bisa lesu. Jika ketimpangan neraca dagang memburuk, tekanan pada nilai tukar rupiah bisa kembali menghantui. Investor yang menggenggam saham berbasis konsumsi atau ritel bisa terdampak tanpa sadar.
Lebih jauh, situasi ini menunjukkan bahwa investor hari ini tidak bisa hanya membaca laporan keuangan emiten atau menanti rilis kinerja triwulanan. Membaca geopolitik dan dinamika perdagangan menjadi bagian dari analisis fundamental yang setara penting. Pasar modal, pada akhirnya, bukan tempat untuk mereka yang hanya mengandalkan angka. Ia adalah arena yang memaksa investor untuk berpikir lintas sektor, lintas negara, dan lintas narasi.(*)