Logo
>

Trump Resmikan Tarif Massal, Inflasi di Depan Mata

Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif impor besar-besaran terhadap hampir semua mitra dagang utama. Pajak 34 persen untuk China dan 20 persen untuk Uni Eropa dinilai berpotensi memicu inflasi.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Trump Resmikan Tarif Massal, Inflasi di Depan Mata
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menunjukkan dokumen berisi perintah eksekutif penetapan tarif resiprokal terhadap puluhan negara mitra dagang AS. Penandatanganan dilakukan di Rose Garden, Gedung Putih, Washington, D.C., pada 2 April 2025. Foto: Instagram @potus.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Era perang dagang resmi dimulai kembali. Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Rabu, 2 April 2025, mengumumkan tarif impor besar-besaran untuk hampir semua mitra dagang AS—mulai dari pajak 34 persen untuk barang asal China, 20 persen untuk Uni Eropa, hingga 10 persen tarif dasar untuk semua negara.

    Kebijakan yang diumumkan langsung di Rose Garden Gedung Putih ini disebut Trump sebagai respons terhadap “darurat ekonomi nasional.” Ia menuding negara-negara mitra telah “menjarah” perekonomian Amerika selama puluhan tahun.

    “Negara kita telah dijarah, dijarah, diperkosa, dan dirampok,” ucap Trump dengan retorika keras, dikutip dari AP di Jakarta, Kamis, 3 April 2025.

    Trump mengklaim tarif ini akan menjadi jalan balik untuk menghidupkan kembali industri manufaktur domestik dan mendatangkan ratusan miliar dolar pemasukan baru bagi pemerintah. Tapi dampaknya bisa sangat besar: mengancam arsitektur ekonomi global yang dibangun sejak akhir Perang Dunia II, dan membuat harga kebutuhan masyarakat seperti perumahan, otomotif, dan pakaian bisa melonjak tajam.

    “Wajib pajak telah dirampok selama lebih dari 50 tahun. Tapi itu tidak akan terjadi lagi,” tegasnya.

    Tarif ini diberlakukan tanpa persetujuan Kongres dengan menggunakan Undang-Undang Kewenangan Darurat Internasional 1977 (IEEPA). Trump menyebutnya sebagai tarif “resiprokal” demi keadilan dagang. Namun, langkah ini justru bisa membahayakan mandat pemilihannya tahun lalu, terutama karena tarif bisa mendorong inflasi kembali naik.

    Bursa saham AS langsung goyah. Futures Wall Street jatuh tajam semalam, menyusul pelemahan pasar sejak awal tahun. Beberapa senator dari Partai Republik, terutama dari negara bagian pertanian dan perbatasan, menyuarakan keprihatinan serius.

    “Dengan pengumuman hari ini, tarif AS mendekati level yang terakhir kali kita lihat saat Smoot-Hawley Tariff Act tahun 1930, yang memicu perang dagang global dan memperparah Depresi Besar,” kata ekonom dari Cato Institute, Scott Lincicome dan Colin Grabow.

    Kenaikan tarif ini dirancang untuk mencerminkan defisit perdagangan AS dengan masing-masing negara. Secara teknis, tarif dihitung berdasarkan selisih antara ekspor dan impor, lalu dibagi dua—yang oleh Trump disebut sebagai “tindakan yang sangat baik hati.”

    Pemerintah AS menyebut tarif dan ketimpangan perdagangan telah menciptakan defisit USD1,2 triliun pada 2024. Untuk menurunkan tarif baru ini, negara-negara mitra harus melakukan tindakan balasan atau perundingan panjang, dan jika mereka membalas dengan tarif baru, situasinya bisa makin memburuk.

    Kepala Riset Ekonomi AS di Fitch Ratings, Olu Sonola, memperkirakan rata-rata tarif AS melonjak dari 2,5 persen menjadi sekitar 22 persen. “Banyak negara kemungkinan akan masuk ke jurang resesi,” kata Sonola. “Kita bisa buang hampir semua proyeksi ekonomi kalau tarif setinggi ini bertahan lama.”

    Tarif baru ini ditambah dengan sejumlah pengumuman sebelumnya, pajak 25 persen untuk mobil impor, sanksi dagang terhadap China, Kanada, dan Meksiko, serta hukuman dagang untuk baja, aluminium, hingga pembeli minyak dari Venezuela. Trump juga berencana mengenakan tarif tambahan untuk obat-obatan, kayu, tembaga, dan semikonduktor.

    Untuk saat ini, barang yang sesuai dengan ketentuan USMCA (perjanjian dagang Amerika Utara) masih bebas dari tarif tambahan, sebagai bentuk kompromi untuk Kanada dan Meksiko. Namun, produk dari China yang dikaitkan dengan produksi fentanyl akan dikenakan tarif kombinasi mencapai 54 persen. Beberapa komoditas seperti otomotif dan obat-obatan memang belum langsung dikenakan tarif dalam pengumuman kali ini, tetapi sudah masuk dalam daftar target berikutnya.

    Ancaman Balasan dan Potensi Kekacauan

    Meski pasar saham menunjukkan gejala kejatuhan dan kepercayaan konsumen mulai suram, pemerintahan Trump tetap bersikukuh. Tak ada tanda-tanda keraguan atau koreksi arah kebijakan tarif, meskipun risiko politik kian membayangi.

    Pejabat senior Gedung Putih—yang bicara secara anonim sebelum pidato resmi Trump—menyatakan bahwa tarif ini ditargetkan menghasilkan ratusan miliar dolar pendapatan per tahun bagi pemerintah AS. Tarif dasar sebesar 10 persen diberlakukan sebagai instrumen kepatuhan, sementara tarif tambahan ditentukan berdasarkan defisit perdagangan masing-masing negara, lalu dibagi dua, untuk mencapai angka tarif yang disampaikan Trump di Rose Garden.

    Tarif dasar 10 persen akan berlaku mulai Sabtu, sedangkan tarif yang lebih tinggi akan mulai diberlakukan pada 9 April 2025.

    Trump juga mencabut pembebasan tarif atas barang impor dari China senilai USD800 atau kurang. Ia berencana mencabut perlakuan bebas tarif yang serupa bagi negara lain, begitu pemerintah federal memiliki sumber daya dan personel yang cukup untuk menerapkannya.

    Kebijakan tarif besar-besaran ini membuat banyak analis ekonomi dan lembaga think tank memperkirakan akan muncul tekanan harga dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Namun karena Trump memberlakukan tarif ini secara sepihak tanpa perlu persetujuan Kongres, kritik dari Demokrat dan sejumlah ekonom semakin tajam.

    Anggota DPR Suzan DelBene dari Partai Demokrat menyebut langkah Trump sebagai bagian dari “kekacauan dan disfungsi” yang terus meluas dalam pemerintahannya. Ketua Democratic Congressional Campaign Committee ini juga menilai bahwa kenaikan pajak sebesar ini seharusnya tidak dilakukan tanpa persetujuan anggota parlemen dan mengecam Partai Republik yang dinilai “loyal membabi buta.”

    “Presiden seharusnya tidak punya wewenang seperti itu,” kata DelBene. “Ini adalah kenaikan pajak besar-besaran bagi keluarga Amerika, dan dilakukan tanpa pemungutan suara di Kongres. Trump berjanji akan menurunkan harga sejak hari pertama. Sekarang dia bilang tak masalah kalau harga naik—janji itu sudah dia ingkari.”

    Bahkan kalangan Republik yang biasanya percaya pada naluri Trump pun mulai berhitung ulang. Meski tingkat pengangguran AS masih sehat di 4,1 persen, tarif ini bisa jadi pemicu gangguan besar.

    “Kita lihat saja bagaimana semuanya berkembang,” ujar Ketua DPR dari Partai Republik, Mike Johnson.

    “Mungkin memang akan sedikit goyah di awal. Tapi saya rasa ini akan masuk akal bagi rakyat Amerika dan bisa membantu semua warga,” katanya lagi.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).