KABARBURSA.COM — Presiden Donald Trump kembali bikin heboh. Lewat unggahan di Truth Social pada Minggu malam, Trump bilang dia sudah memberi lampu hijau ke Departemen Perdagangan dan Kantor Perwakilan Dagang AS buat mengenakan tarif seratus persen pada “semua film yang masuk ke negara kita dan diproduksi di luar negeri.”
“Industri film Amerika sedang MATI dengan sangat cepat,” tulis Trump, dikutip dari AP di Jakarta, Senin, 5 Mei 2025. Trump juga mengeluh bahwa negara lain memberikan segala macam insentif untuk menarik pembuat film dan studio keluar dari AS. Ia lantas menyebut ini sebagai ancaman keamanan nasional. “Selain itu, ini soal pesan dan propaganda juga!,” katanya.
Belum jelas bagaimana tarif setinggi itu bakal diterapkan. Soalnya film-film besar seperti Mission: Impossible – The Final Reckoning sering kali syutingnya di berbagai negara, termasuk Amerika. Apalagi, sudah lama program insentif pajak memengaruhi lokasi syuting, yang bikin California makin sering ditinggalkan demi Kanada atau Inggris yang menawarkan keringanan pajak.
Padahal, kalau dilihat dari dominasi layar, film-film produksi Amerika tetap menguasai bioskop di dalam negeri. Misalnya di Tiongkok, memang produksi film lokal sedang menggeliat, kayak animasi Ne Zha 2 yang meraup lebih dari USD2 miliar (sekitar Rp31,2 triliun) tahun ini, tapi hampir semua penjualan itu datang dari pasar domestik Tiongkok sendiri. Di Amerika Utara, film itu cuma dapat USD20,9 juta (sekitar Rp326 miliar).
Data Motion Picture Association (MPA) menunjukkan ekspor film Hollywood menghasilkan USD22,6 miliar (sekitar Rp352,6 triliun) dan surplus perdagangan USD15,3 miliar (sekitar Rp238,7 triliun) pada 2023. Namun, Trump — yang sejak dulu bangga menyebut diri “manusia tarif” — tetap ngegas soal bea masuk. Selain film, dia juga sudah mengenakan tarif 145 persen untuk barang-barang dari China dan tarif dasar 10 persen untuk barang dari negara lain, bahkan mengancam tarif lebih tinggi untuk produk seperti obat farmasi.
“Negara lain sudah mencuri kemampuan pembuatan film dari Amerika Serikat,” kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih usai pulang dari akhir pekan di Florida. “Kalau mereka nggak mau bikin film di dalam Amerika, kita harus kenakan tarif untuk film-film yang masuk.”
Masalahnya tak berhenti di soal tarif. Produksi film dan televisi di Amerika Serikat memang sedang terseok-seok. Data ProdPro menunjukkan produksi di AS turun 26 persen tahun lalu dibandingkan 2021. FilmLA mencatat produksi di wilayah Los Angeles tahun lalu anjlok 5,6 persen dibandingkan 2023, hanya kalah dari tahun 2020 saat pandemi menggila.
Negara bagian seperti California mencoba melawan arus ini. Gubernur Gavin Newsom bahkan mengusulkan perluasan program kredit pajak film dari USD330 juta (sekitar Rp5,1 triliun) menjadi USD750 juta (sekitar Rp11,7 triliun) per tahun. Sementara itu, kota-kota seperti Atlanta, New York, Chicago, dan San Francisco juga berebut menarik produksi lewat insentif pajak atau hibah tunai, seperti yang ditawarkan Texas, Georgia, dan New Mexico.
Sebuah survei tahunan yang dilansir Hollywood Reporter menemukan bahwa dari daftar lokasi syuting favorit para eksekutif, tak ada satu pun lokasi di AS yang masuk lima besar. Urutannya: Toronto, Inggris, Vancouver, Eropa Tengah, dan Australia. California harus puas di posisi keenam, diikuti Georgia, New Jersey, dan New York.
Dengan langkah tarif 100persen untuk film asing, Trump berharap bisa membawa Hollywood “KEMBALI—LEBIH BESAR, LEBIH BAIK, DAN LEBIH KUAT DARI SEBELUMNYA!” seperti janjinya dulu saat menunjuk Mel Gibson, Jon Voight, dan Sylvester Stallone sebagai “duta khusus” untuk mengembalikan kejayaan film Amerika.
Dampak Kebijakan Tarif Film Trump bagi Investor Indonesia
Kebijakan Donald Trump yang mengancam mengenakan tarif 100 persen pada film asing ini memang terdengar sebagai isu luar negeri yang jauh dari tanah air. Namun, bila dianalisis dengan pendekatan teori Indirect Spillover dalam ekonomi internasional, kebijakan ini tetap memiliki implikasi tidak langsung yang patut dicermati oleh investor Indonesia, khususnya mereka yang menanam modal di sektor hiburan, media, dan teknologi digital.
Teori indirect spillover menjelaskan kebijakan suatu negara besar dapat menimbulkan efek berantai ke negara lain, tidak selalu melalui jalur perdagangan langsung, tetapi lewat pergeseran pola konsumsi, investasi, atau aliran modal global. Dalam konteks ini, meskipun film-film produksi Indonesia jarang didistribusikan secara fisik ke pasar Amerika Serikat, perubahan arah kebijakan industri film global dapat memengaruhi ekosistem industri kreatif secara keseluruhan.
Salah satu kesalahpahaman umum adalah menganggap bahwa masuknya film Indonesia ke platform seperti Netflix otomatis termasuk kategori ekspor yang dikenai tarif bea masuk. Padahal, kerja sama antara rumah produksi Indonesia seperti PT MD Pictures Tbk (FILM) atau PT Tripar Multivision Plus Tbk (RAAM) dengan platform global seperti Netflix bersifat kontrak bisnis digital.
Ia tidak melewati jalur perdagangan barang fisik yang umumnya menjadi sasaran tarif. Oleh karena itu, secara langsung, ancaman tarif Trump tidak memukul pemasukan produsen film Indonesia yang film-filmnya tersedia secara daring di Amerika Serikat.
Namun, di sisi lain, kebijakan proteksionis seperti ini tetap membawa dinamika yang harus dicermati investor. Bila Hollywood semakin terdorong untuk berfokus pada produksi domestik karena tekanan tarif, mereka mungkin mengurangi ekspansi investasi ke luar negeri. Hal ini bisa berarti semakin sedikit peluang kolaborasi atau co-production antara studio besar dan pemain industri di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Dalam kerangka teori Comparative Advantage, negara-negara seperti Kanada, Australia, atau kawasan Eropa Tengah selama ini unggul menarik produksi film berkat insentif pajak dan biaya produksi yang lebih efisien dibanding Amerika Serikat. Jika pasar Amerika mulai tertutup karena kebijakan tarif tinggi, keunggulan komparatif negara-negara tersebut bisa ikut tergerus.
Investor Indonesia yang memiliki portofolio di sektor hiburan global perlu memperhatikan potensi penurunan arus investasi lintas negara yang selama ini menjadi salah satu mesin pertumbuhan industri kreatif internasional.
Lebih jauh, kebijakan sepihak seperti tarif Trump berpotensi memicu retaliasi atau pembalasan dagang dari negara-negara mitra. Meski sektor film menjadi titik awal, bukan tidak mungkin ketegangan meluas ke sektor lain, termasuk barang konsumsi, teknologi, bahkan produk farmasi. Bagi Indonesia, yang memiliki hubungan dagang signifikan dengan Amerika Serikat di berbagai bidang, eskalasi ketegangan dagang ini dapat meningkatkan risiko makroekonomi yang memengaruhi stabilitas pasar keuangan nasional.
Lantas, apa yang perlu diperhatikan investor? Investor Indonesia sebaiknya mencermati beberapa aspek berikut:
- Perusahaan bioskop lokal seperti PT Graha Layar Prima Tbk (BLTZ) dan jaringan XXI mungkin harus menyesuaikan strategi pemutaran film internasional bila pola distribusi global berubah.
- Produsen film domestik memiliki peluang memperkuat pangsa pasar lokal apabila arus film asing terhambat, tetapi ini juga menuntut peningkatan kualitas produksi agar mampu memenuhi selera penonton.
- Investor dengan portofolio global, terutama di sektor hiburan dan media, perlu memantau ketidakpastian yang muncul dari arah kebijakan dagang Amerika Serikat.
- Sektor-sektor lain yang sensitif terhadap dinamika perdagangan global harus diwaspadai karena retaliasi dagang dapat meluas.
Dengan demikian, meskipun kebijakan tarif 100 persen Trump tampaknya berfokus pada industri film, investor Indonesia tidak boleh mengabaikan potensi dampak tidak langsung yang dapat memengaruhi iklim bisnis dan strategi investasi ke depan. Sebagaimana teori indirect spillover tunjukkan, arus kebijakan ekonomi global selalu memiliki cara untuk menjangkau jauh melampaui batas negara.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.