KABARBURSA.COM – Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan keyakinannya bahwa Washington akan mencapai kesepakatan dagang dengan China. Namun, ia tidak memberikan rincian atau sinyal konkrit terkait bagaimana pembicaraan antara dua negara dengan ekonomi terbesar dunia itu akan kembali dimulai, mengingat posisi keduanya masih buntu.
“Oh, kita akan membuat kesepakatan. Saya pikir kita akan membuat kesepakatan yang sangat bagus dengan China,” ujar Trump dari Gedung Putih, kemarin, dikutip dari Reuters di Jakarta. Trump menyatakan hal tersebut ketika menjawab pertanyaan wartawan soal kemungkinan dirinya menghubungi Presiden China, Xi Jinping.
Pernyataan ini muncul di tengah ketegangan dagang yang belum mereda. Sebelumnya pada hari yang sama, Kementerian Perdagangan China meminta Amerika Serikat untuk menghentikan tekanan ekstrem terhadap perekonomian Negeri Tirai Bambu.
Beijing juga menuntut adanya sikap saling menghormati jika kedua pihak ingin melanjutkan pembicaraan dagang. Meski begitu, hingga kini belum ada kejelasan siapa yang akan mengambil inisiatif memulai dialog.
Trump memang sempat melonggarkan sebagian tarif yang baru saja diumumkan terhadap puluhan mitra dagang. Namun, tarif tinggi terhadap barang impor asal China masih tetap berlaku, dengan total beban tarif gabungan yang mencapai 145 persen.
Ketegangan dagang ini terus menjadi sorotan pasar global, terutama karena belum ada tanda-tanda penyelesaian dalam waktu dekat. Sementara itu, pelaku usaha dan investor menanti apakah pernyataan Trump hanyalah gestur politis atau akan benar-benar diikuti dengan langkah negosiasi nyata.
Investor Indonesia Harus Waspada Antara Janji Trump dan Risiko Nyata
Pernyataan Presiden Donald Trump yang menyebut akan ada “kesepakatan dagang yang sangat bagus” dengan China mungkin terdengar menjanjikan di permukaan. Tapi buat investor — terutama yang aktif di pasar negara berkembang seperti Indonesia — ini justru alarm baru bahwa ketidakpastian belum akan mereda.
Pasalnya, di saat ucapan optimistis itu dilontarkan dari Gedung Putih, kebijakan tarif impor AS terhadap barang-barang dari China tetap berlaku, bahkan mencapai total 145 persen. Sementara itu, pihak China juga belum menunjukkan gestur konkret untuk kembali duduk di meja perundingan. Artinya, investor menghadapi dua hal sekaligus: harapan politik dan realitas proteksionisme.
Dalam konteks ini, teori Policy Uncertainty (Handley, 2011) menjadi pisau analisis yang relevan. Ketika arah kebijakan perdagangan tidak jelas — apakah ingin negosiasi ulang, relaksasi tarif, atau justru pengetatan lebih lanjut — pelaku usaha cenderung menunda ekspansi, dan investor menahan diri untuk masuk ke sektor yang rentan terhadap risiko global.
Bagi Indonesia, yang memiliki eksposur ekspor cukup besar ke pasar Tiongkok maupun mitra dagang sekunder yang terdampak oleh ketegangan ini, ketidakpastian arah kebijakan AS-China bisa membuat investor berpikir dua kali sebelum menambah posisi di sektor manufaktur, komoditas, atau logistik ekspor.
Risiko Premium Naik di Negara Berkembang
Dalam teori Risk Premium in Emerging Markets, ketegangan global semacam ini memicu respons klasik: investor mulai menuntut imbal hasil lebih tinggi saat menempatkan modal di pasar negara berkembang. Jika ekspektasi risiko meningkat tapi prospek keuntungan tidak berubah signifikan, maka terjadi yang disebut “flight to safety” — modal asing akan cenderung keluar dari pasar saham dan obligasi negara seperti Indonesia, dan pindah ke aset aman seperti dolar AS, emas, atau US Treasury.
Imbasnya?
- Rupiah bisa tertekan
- Yield obligasi pemerintah naik
- IHSG sektor ekspor atau logistik bisa tersendat
Tak bisa dipungkiri, ucapan Trump itu sendiri adalah contoh klasik dari apa yang dijelaskan dalam kerangka Behavioral Finance, terutama soal noise trading dan market sentiment. Dalam studi De Long et al. (1990), dijelaskan bahwa pasar tidak selalu rasional. Investor bisa bertindak berdasarkan ekspektasi yang dibentuk oleh opini, media, atau bahkan tweet presiden — bukan semata-mata data ekonomi.
Kalimat Trump seperti “Kita akan membuat kesepakatan (dengan China)” bisa bikin pasar sempat reli jangka pendek. Tapi karena tidak disertai kejelasan waktu, mekanisme, dan konsensus, euforia itu cepat hilang. Investor justru makin bingung apakah harus masuk, bertahan, atau mundur?
Untuk investor di Indonesia, sektor-sektor dengan keterkaitan ekspor seperti tekstil, otomotif, elektronik, hingga sawit dan batu bara bisa mengalami tekanan sentimen. Jika permintaan global meredup karena tensi dagang berkepanjangan, maka margin ekspor bisa tertekan.
Di sisi lain, bisa juga terjadi efek substitusi dalam portofolio. Investor mungkin akan berpindah dari saham berbasis ekspor ke sektor domestik yang lebih defensif seperti perbankan, konsumsi, atau energi berbasis batu bara — setidaknya untuk jangka pendek.
Pernyataan Trump mungkin terlihat menggembirakan, tapi bagi investor, narasi politik bukan pegangan mutlak. Yang dibutuhkan adalah kepastian arah kebijakan, bukan sekadar gestur retoris.
Indonesia perlu waspada. Ketegangan dagang global, jika terus dibiarkan mengambang, bisa berdampak pada penilaian risiko investor terhadap negara-negara berkembang. Dan jika investor mulai ragu, bukan tidak mungkin arus modal keluar kembali menghantui pasar domestik. Dengan kata lain, pasar sedang lapar kepastian, bukan optimisme tanpa isi.(*)