KABARBURSA.COM – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengungkap adanya penjarahan di perkebunan kelapa sawit Kalimantan Selatan. Adapun penjarahan kelapa sawit tersebut telah berlangsung sudah cukup lama, terutama di kawasan perkebunan Kalimantan Tengah.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono, mengatakan penjarahan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan terjadi secara besar-besaran. Dia menyebut ada puluhan ton kelapa sawit yang dijarah di Kalimantan Tengah.
“Sekarang ini yang terjadi di Kalimantan Tengah adalah penjarahan luar biasa, sangat besar. Satu hari itu bisa puluhan ton yang akan keluar dari kebun dan mereka terang-terangnya menjarah,” ungkap Eddy dalam diskusi panel di peluncuran buku Sawit, Anugerah yang Perlu Diperjuangkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Kamis, 5 September 2024.
Eddy menilai, penjarahan kelapa sawit di Kalimantan Tengah terjadi akibat regulasi yang tumpang-tindih. Karenanya, penjarahan kelapa sawit tidak dapat ditindak oleh aparat penegak hukum (APH).
Dia menyebut, tumpang-tindihnya regulasi terjadi semenjak penerbitan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Regulasi tersebut memuat ketentuan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM), di mana terdapat kewajiban perusahaan perkebunan untuk menerapkan kebijakan kemitraan 20 persen.
Dirinya mengungkap, kebijakan FPKM 20 persen memuat ketentuan dari berbagai macam pihak, yakni Kementerian Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Pertanian, hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Akhirny,a mana yang kita pegang? Kalau kita memegang di pelaku industri ini, dari Kementerian Pertanian karena sebagai pengampu, seharusnya untuk masalah FPKM ini. Jadi dari tanaman yang diusahakan. Tetapi si masyarakat ini juga tidak mau. Kadang-kadang mereka merasa ini kan menurut Kementerian ATR belum selesai kan yang 20 persennya. Menurut hutan 20 persen dari pelepasan,” ungkapnya.
Di sisi lain, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138 Tahun 2015 juga dinilai menambah persoalan yang dihadapi para pelaku usaha kelapa sawit. Sebelum diputuskan, kata Eddy, operasional perkebunan kelapa sawit bisa berjalan tanpa Hak Guna Usaha (HGU).
Ketika keputusan tersebut diterbitkan, kata Eddy, operasional perkebunan sawit mesti memiliki HGU. Hal itu yang menyebabkan terjadinya kekacauan, lantaran terbitnya ketentuan Kawasan Pengembangan Produksi dan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan lainnya (KPPL) pada tahun 2005.
“Yang terjadi di Kalimantan Tengah itu adalah bukan mereka tidak mau mengurus HGU, tetapi karena terjadi kekacauan di tahun 2005. Pada waktu itu di Kalimantan Tengah itu, dikeluarkan izin itu bukan di kawasan hutan. Karena di adanya di KPP, KPPL. Artinya di situ adalah memang untuk kawasan budidaya,” tutupnya.
Sawit Perlu Diperjuangkan
Diberitakan sebelumnya, Ketua Dewan Pengawas Independen Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), Darmin Nasution mengungkap, kelapa sawit merupakan komoditas yang layak untuk diperjuangkan.
Jika melihat data-data statistik saat ini, tutur Darmin, sekitar 16 juta masyarakat Indonesia hidup bersandar pada komoditas kelapa sawit. Di sisi lain, dia juga menyebut kelapa sawit memiliki tingkat produktifitas yang tinggi dalam menghasilkan minyak nabati.
“Di dalam perjalanannya komoditi ini, kalau kita lihat data-data statistik sekarang, Masyarakat Indonesia mungkin 16 juta hidup berasal dari komoditi ini. Sehingga kalau dibilang layak untuk diperjuangkan, ya memang layak. Aneh kalau kita kemudian tidak memperjuangkan ini,” kata Darmin dalam peluncuran buku Sawit, Anugerah yang Perlu Diperjuangkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Kamis, 5 September 2024.
Saat ini, Indonesia menjadi negara terbesar pemasok minyak dengan presentase 59 persen atau setara dengan 45,5 juta ton dalam setahun dari lahan seluas 16,8 juta hektare. Dengan tingkat produktifitas yang tinggi, Darmin menilai terdapat ketidaksukaan yang berasal dari negara-negara lain yang kemudian melahirkan kampanye hitam menolak komoditas kelapa sawit.
“Sehingga lahirlah black campaign. Karena apa? Kalah dia,” ungkapnya.
Di Indonesia sendiri, kelapa sawit mengalami pertumbuhan sejak tahun 90an. Pada waktu itu, tutur Darmin, pemerintah membentuk Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dengan bunga 6 persen yang disokong oleh World Bank.
“Sejak itu, kita juga lahannya luas, sehingga benar-benar, tahun 90an dan tahun 2000an itu terutama, kelapa sawit itu benar-benar pertumbuhannya hebat sekali, sedemikian hebat,” jelasnya.
Pertumbuhan komoditas kelapa sawit terus bertumbuh hingga mengalami suplai berlebih di tahun 2011. Sehingga, kata Darmin, pemerintah melakukan hilirisasi kelapa sawit dengan mendorong produksi biodiesel untuk menaikan demand produk.
Dari tahun 2011 hingga 2015, kata Dirman, pemerintah Indonesia terus mendalami hilirisasi kelapa sawit. Hasilnya, kata dia, Indonesia berhasil menghasilkan biodiesel 35 persen kurang dari 10 tahun.
“Dalam waktu kurang dari 10 tahun kita kemudian sudah mencapai B35,” ungkapnya.(*)