KABARBURSA.COM - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Prof. Omas Bulan Samosir, menawarkan solusi atas tingginya tingkat pengangguran di kalangan generasi muda berusia 15-24 tahun (Generasi Z), yang disebabkan oleh ketidaksesuaian antara sistem pendidikan dan permintaan tenaga kerja.
"Akibatnya, kompetensi lulusan tidak sejalan dengan kebutuhan pasar kerja saat ini," ungkap Prof. Omas Bulan Samosir, Ph.D, dikutip, Jakarta, Rabu 17 Juli 2024.
Prof. Omas mengemukakan bahwa dinamika pasar tenaga kerja berkembang lebih cepat dibandingkan kapasitas input tenaga kerja. Lembaga pendidikan seharusnya membekali angkatan kerja dengan pengetahuan yang relevan, namun seringkali tertinggal dalam merespons kebutuhan pasar. Kurikulum yang dirancang tidak selalu diperbarui sesuai perkembangan industri.
“Pengangguran berarti tidak atau berhenti berproduksi. Angkatan kerja yang menganggur saat ini akan menjadi beban jika terjadi pengangguran dalam skala besar ke depannya," katanya.
Jika masalah ini tidak diatasi, Indonesia Emas berisiko tidak tercapai, karena satu generasi dapat menjadi hambatan dalam pencapaian pembangunan. Angkatan kerja diharapkan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi untuk mencapai Indonesia Emas.
Untuk menangani permasalahan ini, Prof. Omas menekankan pentingnya kolaborasi dan sinergi antara institusi pendidikan dan pelatihan vokasional, tenaga kerja, dan pemerintah. Etos kerja harus dibangun untuk memastikan kesiapan tenaga kerja menghadapi dinamika pasar. Institusi pendidikan perlu terus memperbarui kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan industri.
Tenaga kerja harus proaktif dalam meningkatkan keterampilan, sementara pemerintah perlu mengembangkan kebijakan yang mendukung dunia pendidikan, termasuk memperbarui kurikulum. Prof. Omas menambahkan bahwa pendidikan formal saja tidak cukup; sertifikasi vokasional dan pelatihan tambahan sangat diperlukan untuk melengkapi kompetensi lulusan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah mengakui pentingnya sertifikat vokasional sebagai bagian dari human capital pencari kerja. "Semakin banyak sertifikat yang dimiliki seorang pelamar kerja, semakin baik peluang mereka untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja yang terus berubah," ujar Prof. Omas.
Ia menambahkan, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan bentuk formal dari pendidikan vokasi. Dunia pendidikan masih membutuhkan keahlian vokasional melalui sekolah kejuruan dan tetap relevan untuk menghasilkan angkatan kerja yang kompeten dalam industri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperluas koneksi langsung antara SMK dan dunia industri, sehingga industri dapat terlibat dalam membangun kurikulum SMK secara berkala.
“Seharusnya industri dapat langsung bekerja sama dengan sekolah kejuruan dalam membuat atau sebagai manufaktur spare part dari industrinya," katanya. Sebagai contoh, industri sepeda BMW di Jerman melibatkan sekolah kejuruan dalam produksi spare part, melatih siswa dan menawarkan harga pasar.
"Siswa sekolah kejuruan langsung mendapat gaji ketika membuatnya. Namun, Indonesia belum melaksanakan hal dan kerja sama seperti ini. Dunia pendidikan vokasi kita masih jauh dari dunia manufaktur/industri,” ujar Prof. Omas.
Kesulitan Kelola Keuangan
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Friderica Widyasari Dewi, menyebutkan ada tiga fenomena yang membuat Generasi (Gen Z) kesulitan dalam mengelola keuangan dengan bijak.
“Pertama, fenomena You Only Live Once (YOLO) mendorong mereka (Gen Z) lebih memilih kesenangan semata dengan argumen bahwa hidup hanya sekali,” kata Firderica dalam acara Indonesia Sharia Financial Olympiad 2024 yang diselenggarakan secara virtual pada Senin, 24 Juni 2024
Hal itu, lanjut Friderica, menyebabkan kurangnya minat dalam menabung dan berinvestasi karena lebih memilih untuk menghabiskan uang untuk hal-hal yang menyenangkan.
“Gen Z sering merasa bahwa karena hidup hanya sekali, mereka boleh membelanjakan uang untuk hal-hal yang mereka inginkan tanpa memikirkan konsekuensi masa depan seperti menabung atau berinvestasi,” ujarnya.
Kedua, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) membuat Gen Z terlalu fokus pada tren dan kegiatan di media sosial. Hal ini sering kali menyebabkan mereka terjebak dalam penipuan investasi atau skema cepat kaya yang sebenarnya tidak berkelanjutan atau berisiko tinggi.
“Dalam upaya untuk terlihat keren atau ikut tren di media sosial, banyak Gen Z yang menjadi korban investasi bodong atau penipuan karena mereka terlalu terpengaruh dengan apa yang sedang populer di media sosial,” tuturnya.
Fenomena lainnya yaitu, Fear of Other People’s Opinion (FOPO) yang membuat Gen Z terlalu memikirkan apa yang dipikirkan orang lain tentang mereka.
Mereka cenderung terlalu peduli dengan opini dan pandangan orang lain terhadap gaya hidup dan keuangan mereka.
Friderica menjelaskan, Gen Z sering kali terjebak dalam kebiasaan membelanjakan uang untuk hal-hal yang tidak mereka butuhkan hanya karena ingin terlihat keren di mata teman-teman mereka, padahal hal itu dapat mengakibatkan masalah keuangan seperti utang yang tidak terkendali.
Friderica menekankan bahwa jika fenomena-fenomena ini tidak ditangani dengan baik, akan semakin banyak generasi muda yang terjebak dalam utang, terutama melalui pinjaman online (pinjol).
Oleh karena itu, dia mengajak OJK dan pemangku kepentingan lainnya untuk memberikan literasi keuangan yang baik kepada generasi muda guna membantu mereka mengelola keuangan dengan bijak dan menghindari risiko-risiko yang tidak perlu.