Logo
>

Utang Publik Tinggi, Pasar Keuangan Terancam

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Utang Publik Tinggi, Pasar Keuangan Terancam
Layar utama Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). (Foto: Kabarbursa/Abbas Sandji)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ekonom Yanuar Rizky menyoroti tingginya korelasi antara utang publik (gross external debt) dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencapai 0,92. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa utang memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas pasar modal Indonesia.

    "Utang Publik korelasinya dengan IHSG 0,92, jadi disinilah hutang menjadi masalah," ujar Yanuar dalam pernyataannya yang diterima Kabarbursa.com, Selasa, 2 April 2025.

    Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa mekanisme revolving—membayar utang dengan utang baru—serta praktik Repurchase Agreement (RePO) di korporasi menjadi faktor utama dalam menjaga peredaran uang di pasar portofolio.

    "Jadi, revolving (bayar utang pake utang) dan RePO di korporasi adalah darah uang beredar portofolio," katanya.

    Menurut Yanuar, kondisi ini juga menjadi alasan utama lembaga keuangan global seperti Goldman Sachs dan Morgan Stanley melakukan downgrade terhadap pasar keuangan Indonesia.

    "Jadi, Goldman Sachs dan Morgan Stanley itu dasarnya melakukan downgrade," tegasnya.

    Penurunan peringkat oleh dua raksasa keuangan dunia tersebut mencerminkan kekhawatiran investor terhadap keberlanjutan utang publik dan stabilitas pasar finansial nasional. Dengan korelasi yang begitu tinggi antara utang dan IHSG, Yanuar menilai Indonesia perlu memperhatikan kebijakan fiskal dan manajemen risiko agar tidak terjebak dalam krisis yang lebih dalam.

    Utang Sektor Publik Rp17.095 Triliun

    Posisi utang sektor publik (USP) Indonesia per akhir Desember 2023 tercatat sebesar Rp17.095,03 triliun. Data tersebut tercantum dalam laporan Statistik Utang Sektor Publik Indonesia (SUSPI) yang disusun oleh Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan. Laporan SUSPI Triwulan IV tahun 2024 ini dirilis pada 26 Maret 2025.

    Dalam SUSPI, sektor publik mencakup seluruh unit institusi residen yang dikendalikan langsung maupun tidak langsung oleh pemerintah. Hal ini meliputi unit dalam sektor Pemerintah Umum dan korporasi publik. Definisi pengendalian mencakup kemampuan menentukan kebijakan keuangan dan operasional suatu korporasi.

    Posisi utang sektor publik pada Desember 2024 terdiri dari beberapa kelompok institusi, yakni Pemerintah Pusat sebesar Rp8.812,90 triliun, Pemerintah Daerah Rp78,19 triliun, Korporasi Publik Non-Lembaga Keuangan Rp995,98 triliun, dan Korporasi Publik Lembaga Keuangan Rp7.206,96 triliun.

    Ekonom Bright Indonesia, Awalil Rizky, mencatat bahwa tren kenaikan utang sektor publik semakin meningkat selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

    “Kenaikan ini disumbang oleh semua institusi, seperti Pemerintah Pusat, Bank Indonesia, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tren kenaikan utang pemerintah dan BUMN sudah berlangsung sebelum pandemi, namun dampak pandemi meningkatkan lajunya serta membuat utang Bank Indonesia turut bertambah,” ujarnya dalam keterangan yang diterima oleh Kabar Bursa, 31 Maret 2025.

    Awalil menjelaskan bahwa posisi USP pada akhir 2014 hanya sebesar Rp5.780 triliun, lalu meningkat menjadi Rp10.113 triliun pada akhir 2019. Saat pandemi, jumlahnya melonjak drastis, yakni Rp12.215 triliun pada 2020 dan Rp13.448 triliun pada 2021. Kenaikan ini terus berlanjut hingga 2024.

    Rasio utang sektor publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga mengalami peningkatan signifikan. Pada akhir 2024, rasio USP terhadap PDB mencapai 77,22 persen, dihitung berdasarkan posisi USP sebesar Rp17.905 triliun dengan nilai PDB sebesar Rp22.139 triliun. Meski lebih rendah dibanding rasio pada 2020 (79,12 persen) dan 2021 (79,21 persen) akibat pertumbuhan PDB pasca-pandemi, angka tersebut masih jauh lebih tinggi dibanding awal pemerintahan Jokowi pada 2014 yang hanya 54,68 persen.

    Namun, Awalil menyoroti bahwa laporan SUSPI belum mencakup seluruh institusi sesuai definisi yang ditetapkan Bank Indonesia. 

    “Belum semua institusi dilaporkan dalam SUSPI dan masih akan terus disempurnakan. Sebagai contoh, data utang Bank Pembangunan Daerah (BPD) belum tercakup, dan data utang BUMN belum seluruhnya diperhitungkan,” jelasnya.

    Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa data utang BUMN dalam SUSPI lebih kecil dibanding data dari Kementerian BUMN maupun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). 

    “Sebagai contoh, LKPP tahun 2023 menyebut total utang BUMN di bawah Kementerian BUMN mencapai Rp8.137,67 triliun, sementara utang badan usaha di bawah Kementerian Keuangan sebesar Rp152,35 triliun. Totalnya mencapai Rp8.290,02 triliun,” papar Awalil.

    Sebaliknya, dalam laporan SUSPI akhir 2023, utang korporasi publik non-lembaga keuangan tercatat Rp1.007,35 triliun dan utang korporasi publik keuangan sebesar Rp6.593,48 triliun. Totalnya hanya Rp7.600,83 triliun, meskipun sudah termasuk utang Bank Indonesia.

    Sayangnya, tidak ada rincian mengenai utang Bank Indonesia yang masuk dalam SUSPI, khususnya untuk akhir 2024. Namun, Awalil memperkirakan salah satunya adalah Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang nilainya mencapai Rp923,53 triliun pada akhir 2024.

    Dengan mempertimbangkan data yang belum sepenuhnya tercakup dalam SUSPI, Awalil memprediksi bahwa posisi utang sektor publik sesungguhnya jauh lebih besar. 

    “Jika sudah sesuai definisi yang ditetapkan Bank Indonesia, termasuk seluruh utang BUMN, Badan Usaha Lain, dan Bank Pembangunan Daerah, maka totalnya bisa bertambah hampir Rp3.000 triliun. Dengan demikian, total utang sektor publik bisa mencapai sekitar Rp20.000 triliun dengan rasio terhadap PDB mencapai 100 persen,” pungkasnya. (

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.