KABARBURSA.COM - Penurunan kelas menengah di Indonesia menjadi sorotan setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan jumlah masyarakat kelas menengah menurun sebesar 9,48 juta jiwa sebagai dampak dari pandemi Covid-19.
Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan perekonomian Indonesia menderita akibat fenomena ‘long Covid’, di mana pemulihan daya beli belum sepenuhnya terjadi. Amalia mengatakan penguatan daya beli seharusnya tidak hanya fokus pada kelompok miskin, tetapi juga pada kelas menengah yang memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas ekonomi.
Namun, Partai Buruh menyebut pernyataan Kepala BPS tidak sepenuhnya komprehensif. Juru Bicara Bidang Ekonomi Partai Buruh, Gede Sandra, mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai turut memperparah kondisi ekonomi kelas menengah pasca pandemi. “Covid-19 memang membuat perekonomian merosot, tetapi banyak negara sudah pulih lebih cepat dibandingkan Indonesia. Lihat saja Vietnam, China, dan Amerika Serikat, yang indeks GDP riilnya sudah kembali ke jalur pertumbuhan sebelum pandemi,” ujar Gede dalam keterangan tertulis kepada KabarBursa, Sabtu 7 September 2024.
Gede mengatakan Indonesia tertinggal dibandingkan negara-negara tersebut dalam hal pemulihan ekonomi. “Indonesia belum kembali ke jalur pertumbuhan pra-Covid, dan ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada pandemi. Faktor kebijakan pemerintah, terutama UU Cipta Kerja (UUCK), ikut berperan dalam memperpanjang dampak long Covid ekonomi di Indonesia,” tegas Gede.
UU Cipta Kerja, kata Gede, menjadi salah satu penyebab utama stagnasi pemulihan ekonomi. Menurut dia, kebijakan yang diatur dalam UU tersebut, terutama terkait upah minimum, merugikan kelas pekerja. “Kenaikan upah minimum hanya dibatasi sebesar 1,09 persen, sementara inflasi mencapai 5,5 persen pada 2022 dan 2,6 persen pada 2023. Ini jelas membuat upah riil pekerja terpuruk ke zona negatif, yang kemudian menekan daya beli mereka,” jelasnya.
Menurut Gede, penurunan daya beli kelas pekerja yang juga bagian dari kelas menengah mempengaruhi kapasitas produksi industri. Akibatnya, terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal seperti yang belakangan ini banyak terjadi. “Jika daya beli masyarakat terus menurun, perusahaan tidak punya pilihan selain mengurangi produksi. Ini memperburuk kondisi lapangan kerja dan perekonomian secara keseluruhan,” katanya.
Ia juga menegaskan UU Cipta Kerja dan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 yang mengatur kenaikan upah, menciptakan ketidakadilan ekonomi. Gede juga mengatakan adanya perbedaan antara pertumbuhan ekonomi makro dan kondisi ekonomi riil di masyarakat adalah salah satu indikasi utama kegagalan kebijakan tersebut. “Ekonomi kita tumbuh di atas 4-5 persen, tetapi upah minimum hanya boleh naik 1,09 persen. Ini adalah bukti terjadinya pemisahan antara pertumbuhan ekonomi makro dan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Partai Buruh pun mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini, baik di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo maupun jika Prabowo Subianto terpilih dalam pemerintahan berikutnya. “Kami mendesak agar UU Cipta Kerja dibatalkan karena terbukti memperburuk daya beli kelas menengah di Indonesia,” kata Gede.
Turun Jadi 47,85 Juta Jiwa
Kepala Badan Pusat Statistik, Amalia Adininggar Widyasanti, sebelumnya mengungkapkan sebuah fakta mengejutkan: jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan sejak pandemi Covid-19.
Berdasarkan data terbaru, jumlah masyarakat yang tergolong dalam kelas menengah menyusut menjadi 47,85 juta jiwa atau sekitar 17,13 persen dari total populasi pada tahun ini.
Penurunan tersebut disertai dengan bertambahnya jumlah penduduk yang termasuk dalam kategori kelas menengah yang sedang berkembang atau aspiring middle class, yaitu kelompok yang berada di antara kelas rentan miskin dan kelas menengah. Berdasarkan data BPS, pada 2024 tercatat 137,5 juta orang atau 49,22 persen dari total populasi berada dalam kategori ini. “Kelompok yang berjumlah 137,5 juta ini sebenarnya bisa di-upgrade dengan mudah menjadi kelas menengah,” ujar Amalia.
Amalia menjelaskan pada 2021, jumlah kelas menengah tercatat sebanyak 58,83 juta orang dengan proporsi 19,28 persen. Ini berarti, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, jumlah kelas menengah menyusut sekitar 5,98 juta orang. Penurunan ini mencerminkan dampak jangka panjang dari pandemi, yang disebut juga sebagai scarring effect, terhadap stabilitas kelas menengah.
“Dalam periode tersebut, kami mengamati bahwa dampak pandemi sangat terasa, dengan pengurangan yang signifikan dalam jumlah kelas menengah. Pada tahun 2021, jumlah kelas menengah adalah 53,83 juta orang, atau 19,82 persen dari populasi,” ungkap Amalia dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Gedung Nusantara, Jakarta, Rabu 28 Agustus 2024.
Melihat dari sektor pekerjaan, data menunjukkan bahwa 57 persen dari kelas menengah bekerja di sektor jasa, 22,98 persen di sektor industri, dan 19,97 persen di sektor pertanian. Perubahan ini mencerminkan pergeseran dalam struktur ekonomi yang mempengaruhi stabilitas pendapatan kelas menengah. (*)