KABARBURSA.COM - Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, mengkritik rencana pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi bantuan langsung tunai (BLT) yang diwacanakan pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Mulyanto menyebut ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pengalihan subsidi ini. Pertama, pemerintah perlu memperbaiki dan memperbarui data penerima bantuan agar lebih akurat dan transparan.
Menurut dia, langkah ini penting karena selama ini banyak laporan menyebutkan BLT tidak tepat sasaran. Penerimanya kerap orang yang lebih mampu, sementara mereka yang lebih berhak malah tak mendapatkan bantuan.
Syarat kedua, sistem distribusi bantuan harus langsung ke masyarakat tanpa melalui perantara. Mulyanto yakin cara ini bisa mengurangi potensi pemotongan oleh pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan.
"Hal ini bisa juga meminimalisasi penyalahgunaan BLT menjadi alat kampanye politik pihak tertentu. BLT ini hak masyarakat, bukan hadiah penguasa. Jadi jangan dilabeli dengan materi-materi kampanye atau pencitraan siapapun," kata Mulyanto dalam keterangan tertulis, Jum’at, 27 September 2024.
Syarat ketiga, kata Mulyanto, Pemerintah harus memperbaiki sistem pengawasan untuk meminimalisasi penyimpangan penyaluran BLT. Dia menilai, pemerintah harus menyiapkan aparat penegak hukum dan aturan yang tegas untuk menindak pihak yang coba berbuat curang.
Mulyanto menegaskan, mekanisme BLT jangan sampai dikorupsi banyak pihak. Hal itu terjadi sebagaimana di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 dan BSD. "Jangan sampai subsidi untuk rakyat dikurangi tapi subsidi untuk pengusaha dan kelompok bisnis tertentu tetap jalan. Contohnya pemberian dana PSN ke proyek komersial swasta seperti PIK 2 dan BSD. Kebijakan ini tentu tidak adil," ujar Mulyanto.
Selain itu, lanjut Mulyanto, pemerintah harus berani mengevaluasi proyek ambisius yang menelan anggaran sangat banyak sebagaimana proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Dia menilai, pemerintahan Prabowo harus berani ambil sikap atas proyek tak terencana jika dianggap memberatkan APBN sebaiknya dihentikan.
Apalagi, kata Mulyanto, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara tidak langsung menyatakan sudah menyerah karena baru menyadari bahwa memindahkan ibu kota negara dan ASN tidak mudah. "Syarat ini perlu dilakukan agar bantuan tepat sasaran dan masyarakat miskin tidak makin berat beban hidupnya," katanya.
Tak Ada Pembatasan Subsidi BBM
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tengah merancang kebijakan baru terkait pengetatan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, menyampaikan bahwa aturan mengenai siapa saja yang berhak menggunakan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) seperti Pertalite dan Jenis BBM Tertentu (JBT) seperti Solar Subsidi masih dalam tahap pembahasan. Kebijakan ini diharapkan akan lebih mencerminkan asas keadilan dan memastikan subsidi energi tepat sasaran.
Sebelumnya, Menteri Bahlil mengumumkan bahwa aturan tersebut dijadwalkan untuk diberlakukan pada 1 Oktober 2024. Namun, dalam pernyataan terbarunya, Bahlil menegaskan bahwa aturan ini kemungkinan besar belum akan diterapkan pada tanggal tersebut.
“Feeling saya belum (Oktober),” kata Bahlil seperti dikutip Minggu, 22 September 2024.
Dia menambahkan, pembahasan yang masih berlangsung bertujuan agar aturan ini lebih adil dan dapat diimplementasikan dengan tepat.
Penyaluran subsidi BBM selama ini dianggap belum sepenuhnya tepat sasaran. Oleh karena itu, pemerintah ingin memastikan subsidi yang diberikan dapat benar-benar dinikmati oleh mereka yang paling membutuhkan, seperti petani dan nelayan, yang sangat bergantung pada BBM bersubsidi untuk mendukung kegiatan ekonomi mereka.
“Targetnya adalah bagaimana subsidi yang diturunkan untuk BBM itu tepat sasaran,” ujar dia.
Masih Bimbang
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih bimbang dalam memutuskan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi.
Hal itu menyusul pernyataan para menteri Jokowi yang hilir-mudik menyatakan bahwa pemerintah akan segera membatasi BBM bersubsidi. Pertama, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, pembatasan BBM Subsidi akan dimulai 17 Agustus 2024.
Namun, tutur Fahmy, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa pemerintah tidak berencana membatasi BBM bersubsidi pada 17 Agustus 2024. Pada kesempatan lain, Jokowi juga ikut menyangkal pernyataan Luhut.
“Presiden Joko Widodo juga ikut menyangkal pernyataan Luhut dengan mengatakan bahwa kebijakan pembatasan BBM Subsidi belum terpikirkan,” kata Fahmy dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 5 September 2024.
Tak berselang lama, Menteri Energi dan Sumber Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, paska dilantik sebagai pengganti Arifin Tasrif mengatakan pembatasan pembelian BBM Subsidi akan dilakukan mulai 1 Okober 2024, yang akan didahului dengan sosialisasi.
Pernyataan Bahlil pun turut disangkal Jokowi, yang menyebut belum ada pembahasan mengenai pembatasan BBM bersubsidi. Tak lama setelahnya, Menteri Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, juga menyangkal pernyataan Bahlil dengan mengatakan belum ada pembahasan soal kebijakan pembatasan BBM Subsidi.
“Bantahan Presiden Jokowi yang kedua kalinya mengindikasikan bahwa Jokowi masih bimbang memutuskan kebijakan pembatasan BBM Subsidi,” jelasnya.
Fahmy menilai, Jokowi menaruh kekhawatiran kebijakan pembatasan BBM Subsidi akan menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat, sehingga bisa menurunkan legasi Jokowi sebelum lengser pada 20 Oktober 2024.
Menurutnya, pembatasan BBM bersubsidi memang berpotensi mengerek harga BBM bagi konsumen yang tidak berhak menerima subsidi, yang secara tidak langsung harus migrasi dari BBM Subsidi ke BBM Non-Subsidi dengan harga lebih mahal.
Kendati begitu, Fahmy menilai hendaknya kenaikan harga tersebut dilokalisir sehingga tidak memicu inflasi secara signifikan dan tidak menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah ke atas. Menurutnya, tidak ada alasan bagi Jokowi untuk bimbang dalam memutuskan kebijakan pembatasan BBM Subsidi.
Pasalnya, kata Fahmy, jumlah beban subsidi BBM yang salah sasaran sudah sangat besar, yakni sekitar Rp90 triliun per tahun. Menurutnya, hal tersebut akan memberatkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kalau sampai dengan lengser, Jokowi tidak juga memutuskan kebijakan pembatasan BBM Subsidi, beban APBN tersebut akan diwariskan kepada Pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subiyanto,” katanya.(*)