Logo
>

Wall Street Cenderung Datar, S&P 500 Ditutup Naik Tipis

Rupanya, meredanya perang tarif AS-China tidak memberikan pengaruh signifikan. Pasar masih menunggu data yang akan dirilis The Fed pada Kamis ini.

Ditulis oleh Yunila Wati
Wall Street Cenderung Datar, S&P 500 Ditutup Naik Tipis
Ilustrasi kondisi Wall Street, sejumlah investor memperhatikan beberapa indeks penting.

KABARBURSA.COM - Pasar saham Amerika Serikat atau Wall Street bergerak lesu pada penutupan Rabu (waktu setempat), atau Kamis dinihari WIB, 15 Mei 2025.

Indeks S&P 500 mencatat kenaikan tipis setelah sepanjang hari bergerak naik turun. Minimnya rilis data ekonomi membuat investor menahan langkah, sambil menanti sinyal baru dari kebijakan perdagangan dan arah suku bunga.

Kondisi pasar pekan ini sebenarnya dibuka dengan nada optimis. Ada dua faktor besar mendorong reli di awal pekan, yaitu meredanya tensi dagang antara Amerika Serikat dan China, serta rilis data inflasi konsumen yang menunjukkan kenaikan moderat di bulan April. 

Sentimen membaik setelah Washington dan Beijing menyepakati jeda tarif selama 90 hari. Sayangnya, ternyata pelaku pasar belum sepenuhnya yakin apakah gencatan ini akan berujung pada kesepakatan permanen.

"Masih ada ketidakpastian yang menggantung terkait apa yang akan dikatakan para pemimpin dunia, termasuk Presiden (Donald) Trump, soal perdagangan," kata Tim Ghriskey, analis senior dari Ingalls & Snyder di New York. 

"Pasar menyambut baik pengumuman terakhir, tapi ini belum cukup untuk menghapus keraguan," lanjut dia.

Dari sisi geopolitik, kunjungan Presiden Trump ke kawasan Teluk juga menyita perhatian. Ia mengamankan komitmen investasi senilai 600 miliar dolar dari Arab Saudi. 

Di saat yang sama, pemerintah AS mengumumkan kesepakatan kerja sama teknologi, termasuk proyek kecerdasan buatan dengan negara-negara Timur Tengah. Kesepakatan ini membuat saham-saham teknologi langsung merespons positif.

Nvidia memimpin kenaikan di indeks S&P 500, naik lebih dari 4 persen, sementara Advanced Micro Devices (AMD) menguat hampir 5 persen setelah menyetujui program pembelian kembali saham senilai 6 miliar dolar. 

Saham Boeing pun ikut terangkat usai Qatar Airways meneken kesepakatan pembelian pesawat dalam rangkaian kunjungan Trump ke Doha.

Namun tak semua sektor ikut bergembira. Saham perusahaan farmasi seperti Merck dan Amgen anjlok masing-masing 4 persen dan 3 persen, menyeret sektor kesehatan menjadi yang terlemah hari itu. Sektor material juga mencatat pelemahan, sementara sektor komunikasi dan teknologi berhasil menutup hari di zona hijau.

Secara keseluruhan, Dow Jones Industrial Average turun 89 poin atau 0,21 persen ke level 42.051. S&P 500 naik tipis 6 poin atau 0,10 persen menjadi 5.892, memperpanjang tren positifnya selama enam hari beruntun. Sementara itu, Nasdaq Composite melonjak lebih dari 136 poin atau 0,72 persen ke 19.146, didorong oleh saham-saham berkapitalisasi besar.

Tekanan Jual Masih Dominan

Meski indeks terlihat stabil, aktivitas perdagangan menunjukkan tekanan jual masih dominan. Di New York Stock Exchange, saham yang turun hampir dua kali lipat lebih banyak dari yang naik. Situasi serupa terjadi di Nasdaq, menandakan pelaku pasar tetap selektif meski indeks utama menguat.

Pelaku pasar kini memusatkan perhatian pada pidato Ketua The Fed Jerome Powell, yang dijadwalkan Kamis ini waktu setempat. Pernyataannya akan dicermati ketat, terutama setelah Wakil Ketua Fed Philip Jefferson, menyatakan bahwa meski inflasi menunjukkan tanda melambat, prospek ke depan masih belum pasti. 

Sementara, Gubernur Fed Chicago Austan Goolsbee, menambahkan bahwa dampak tarif baru mungkin belum tercermin sepenuhnya dalam data ekonomi terbaru.

Beralih ke rilis data indeks harga produsen (PPI) dan penjualan ritel untuk April. Baik data PPI maupun penjualan ritel akan menjadi acuan utama dalam menilai apakah ketegangan tarif mulai mempengaruhi sektor riil. 

Andrew Graham dari Jackson Square Capital menyebut, selama jeda tarif masih berlaku, pasar kemungkinan tidak terlalu reaktif terhadap data April.

Di tengah semua perkembangan ini, tidak sedikit perusahaan yang mulai berhati-hati. Saham American Eagle Outfitters anjlok lebih dari 6 persen setelah menarik proyeksi kinerja tahunan mereka, dengan alasan ketidakpastian ekonomi akibat tarif.

Pasar saham AS saat ini berada di persimpangan jalan, antara optimisme atas gencatan dagang dan kekhawatiran terhadap arah kebijakan moneter serta ketahanan ekonomi. 

Sentimen bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung dari nada yang dibawa oleh data dan pejabat kunci di pemerintahan maupun bank sentral.

Kesepakatan Penting AS-Arab Saudi

Uni Emirat Arab (UEA) tengah bersiap menapaki babak baru dalam ambisi teknologinya. Pemerintah negara kaya minyak di Teluk itu dilaporkan telah mencapai kesepakatan awal dengan Amerika Serikat untuk mengimpor setengah juta chip AI paling mutakhir dari Nvidia setiap tahun, mulai 2025. Jika terealisasi, langkah ini akan menandai loncatan besar UEA dalam persaingan global di sektor kecerdasan buatan.

Menurut dua sumber yang mengetahui langsung proses negosiasi ini, kesepakatan tersebut berlaku setidaknya hingga 2027, dan bisa diperpanjang hingga 2030. Rencananya, 100.000 chip per tahun akan dialokasikan ke perusahaan teknologi asal Abu Dhabi, G42, sementara sisanya akan digunakan oleh perusahaan-perusahaan teknologi Amerika seperti Microsoft dan Oracle, yang tengah menjajaki pembangunan pusat data di UEA.

Namun, kesepakatan ini belum final. Salah satu sumber menyebutkan adanya resistensi dari dalam pemerintahan Amerika Serikat dalam 24 jam terakhir. Penolakan ini muncul seiring kekhawatiran bahwa ekspor chip berteknologi tinggi ke luar negeri, meski ke negara mitra, bisa berisiko bila tidak diawasi ketat. 

Terlebih, pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden Joe Biden telah menerapkan pembatasan ekspor semacam ini, dengan alasan keamanan dan kekhawatiran akan alih teknologi ke China.

Pemerintahan Presiden Donald Trump tampaknya mengambil pendekatan berbeda. Dalam kunjungannya ke wilayah Teluk pekan ini, Trump mengumumkan komitmen investasi dari Arab Saudi senilai USD600 miliar, termasuk pembelian chip AI dari Nvidia, AMD, dan Qualcomm. 

Langkah ini menjadi bagian dari upaya lebih besar untuk mempererat hubungan ekonomi dan teknologi dengan negara-negara kawasan tersebut, sekaligus mengimbangi pengaruh Tiongkok yang kian meluas.

Untuk UEA, kesepakatan ini bisa menjadi game changer. Chip yang akan diterima G42 jauh melampaui kapasitas yang diizinkan di bawah aturan ekspor sebelumnya. Bahkan, satu sumber menyebutkan, kapasitas komputasi yang bisa diperoleh akan meningkat tiga hingga empat kali lipat. 

Jika semua rencana pembangunan pusat data berjalan sesuai jadwal, kawasan Teluk, terutama UEA, maka berpotensi menjadi poros ketiga dalam peta kekuatan AI global, menyusul Amerika Serikat dan China.

Menariknya, kesepakatan ini juga mencakup kewajiban G42 untuk membangun pusat data kembar di AS. Artinya, setiap fasilitas yang didirikan di UEA harus diimbangi dengan fasilitas serupa di wilayah Amerika. Tujuan dari klausul ini jelas, memastikan keseimbangan dan keamanan dalam penggunaan teknologi strategis.

Meski begitu, masih ada sejumlah detail yang belum disepakati. Termasuk di antaranya adalah definisi teknis soal apa yang dimaksud dengan “chip AI paling canggih". Rencananya, kelompok kerja khusus akan dibentuk untuk menyusun standar teknis dan protokol keamanan.

Jenis chip yang dimaksud kemungkinan mencakup seri Blackwell dari Nvidia—generasi terbaru yang lebih canggih dari lini Hopper—dan bisa juga merujuk ke Rubin, seri yang masih dalam tahap pengembangan namun digadang-gadang sebagai chip terkuat perusahaan tersebut.

Sejauh ini, pihak Gedung Putih, Departemen Perdagangan AS, Nvidia, maupun G42 belum memberikan pernyataan resmi. Namun yang pasti, G42 bukan pemain baru dalam percaturan teknologi global. 

Perusahaan ini didukung oleh dana investasi negara (sovereign wealth fund) Mubadala, serta investor swasta asal Amerika seperti Silver Lake. Chairman G42, Sheikh Tahnoon bin Zayed Al Nahyan, juga menjabat sebagai penasihat keamanan nasional UEA dan merupakan saudara dari Presiden negara tersebut.

Jika kesepakatan ini berjalan mulus, UEA akan mengambil posisi strategis dalam lanskap kecerdasan buatan dunia—tak hanya sebagai pengguna teknologi, tapi juga sebagai pusat pengembangan infrastruktur AI kelas dunia.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79