KABARBURSA.COM - Indeks saham Amerika Serikat atau Wall Street kembali dibuka anjlok pada perdagangan Minggu malam waktu setempat, atau Senin dinihari WIB, 7 April 2025. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa tekanan jual besar-besaran di pasar saham kemungkinan masih akan berlanjut.
Anjloknya Wall Street terjadi setelah dua hari terakhir pasar global terguncang oleh kebijakan tarif baru dari pemerintahan Trump yang dinilai lebih keras dari perkiraan. Sentimen pasar yang sudah rapuh langsung terpukul, dengan para investor bersiap menghadapi pekan penuh gejolak sebagai reaksi dari mitra dagang global terhadap langkah tersebut.
Futures indeks S&P 500 E-minis terakhir tercatat turun 4 persen, sementara Dow E-minis merosot 3,8 persen, dan Nasdaq 100 E-minis mengalami tekanan lebih dalam dengan penurunan 4,6 persen saat pembukaan perdagangan Minggu malam.
Dalam dua hari setelah pengumuman tarif pada Rabu lalu, indeks acuan S&P 500 ambruk 10,5 persen dan kehilangan nilai pasar sekitar USD5 triliun. Ini menjadi kejatuhan dua hari terbesar sejak Maret 2020, masa awal pandemi COVID-19 mengguncang ekonomi dunia.
Penurunan tajam pada Kamis dan Jumat itu juga mendorong S&P 500 mendekati wilayah bear market, yang biasanya ditandai dengan penurunan lebih dari 20 persen dari rekor tertinggi—dalam hal ini dari posisi tertinggi pada 19 Februari.
Mark Malek, Chief Investment Officer di Siebert Financial, menyatakan bahwa "bull market sudah berakhir." Menurutnya, meski pasar mungkin akan mengalami hari-hari penguatan dalam waktu dekat, reli tersebut tidak akan bertahan lama.
Ia menilai bahwa kombinasi waktu pengumuman tarif dengan awal musim laporan keuangan kuartal pertama semakin memperburuk sentimen pasar, karena investor seharusnya fokus pada kinerja perusahaan, bukan pada ketidakpastian kebijakan dagang.
Di tengah kekhawatiran ini, sejumlah pejabat ekonomi pemerintahan Trump mencoba meredakan kepanikan pasar. Dalam acara “Meet the Press” di NBC News, Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan tidak ada alasan untuk mengantisipasi resesi.
Ia menegaskan bahwa kebijakan tarif merupakan bentuk "reposisi strategis" yang dinilai cerdas dalam menghadapi ketegangan dagang.
Namun, pelaku pasar masih bersikap hati-hati. Beberapa analis memperkirakan pasar saham mungkin akan mencoba untuk bangkit sementara dalam waktu dekat.
Steve Sosnick, Kepala Strategi Investasi di Interactive Brokers, menyebut bahwa "dalam minggu ini, sangat mungkin pasar akan mengalami satu hari penguatan." Namun, menurut Alex Morris dari F/m Investments, reli jangka panjang belum akan terjadi dalam waktu dekat.
Ia memperkirakan butuh waktu tiga hingga empat minggu sebelum investor mulai melihat pasar telah mengalami koreksi yang cukup dalam untuk membentuk dasar pemulihan.
Dengan ketidakpastian yang terus membayangi, baik dari sisi kebijakan pemerintah maupun kondisi ekonomi global, pelaku pasar saat ini cenderung memilih sikap wait and see. Meski peluang pemulihan jangka pendek tetap terbuka, tekanan dari ketegangan geopolitik dan sinyal-sinyal perlambatan ekonomi bisa terus membebani sentimen dalam beberapa minggu ke depan.
Evercore ISI Pangkas Proyeksi Indeks S&P 500
Salah satu suara paling optimistis di Wall Street kini mengakui bahwa badai ekonomi global tengah berkumpul dan tak bisa lagi diabaikan. Julian Emanuel dari Evercore ISI, yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu analis paling bullish terhadap pasar saham AS, secara drastis memangkas proyeksinya untuk indeks S&P 500 di akhir tahun 2025.
Target yang sebelumnya dipatok setinggi 6.800 kini direvisi turun menjadi 5.600. Penyesuaian ini mencerminkan peningkatan kekhawatiran terhadap risiko stagflasi dan potensi penurunan ekonomi yang semakin besar, seiring meningkatnya tensi perdagangan yang dipicu kebijakan tarif agresif dari pemerintahan Trump.
Penurunan tajam indeks S&P 500 sebesar 6 persen pada hari Jumat lalu, yang membuat indeks ditutup pada level 5.074,08, menjadi sinyal nyata bahwa pasar mulai mencerminkan ketakutan akan perlambatan ekonomi. Dalam catatan kepada kliennya, Emanuel menyatakan bahwa ketidakpastian yang berkepanjangan telah menciptakan gelombang volatilitas di berbagai kelas aset, meruntuhkan kepercayaan investor, dan berpotensi membuat kelemahan pada data ekonomi lunak — seperti survei sentimen dan ekspektasi — mulai menjalar ke data keras seperti produksi industri dan tenaga kerja. Jika hal itu terjadi, ekonomi AS tidak hanya menghadapi risiko stagflasi, tetapi juga ancaman resesi.
Lebih lanjut, Emanuel turut menurunkan proyeksi laba per saham (EPS) untuk S&P 500 tahun 2025 dari USD263 menjadi USD255. Rasio price-to-earnings (P/E) ke depan juga dipangkas menjadi 20,6 kali dari sebelumnya 23,7 kali, sebuah sinyal bahwa ekspektasi valuasi tinggi tidak lagi realistis di tengah lanskap global yang semakin tidak bersahabat.
Emanuel tak segan menyebut pendekatan perdagangan pemerintahan Trump sebagai faktor utama yang memicu keresahan pasar. Ia mengibaratkan kebijakan tarif baru sebagai "palu godam" yang bahkan lebih destruktif daripada tarif Smoot-Hawley era 1930-an — kebijakan yang banyak ekonom yakini memperburuk Depresi Besar.
Menurutnya, upaya untuk merombak tatanan ekonomi dan geopolitik global yang telah bertahan selama lebih dari delapan dekade secara cepat dan radikal hanya akan menimbulkan gejolak besar.
Penyesuaian target yang dilakukan oleh Evercore ISI ini juga mengikuti langkah serupa dari sejumlah bank investasi besar seperti Goldman Sachs, Wells Fargo, UBS, dan RBC. Semuanya kompak menurunkan proyeksi indeks S&P 500 mereka dalam beberapa hari terakhir, mencerminkan semakin meluasnya kekhawatiran terhadap arah pasar dan ekonomi global.
Dalam konteks ini, pasar tampaknya tengah memasuki fase ketidakpastian tinggi, di mana kehati-hatian menjadi kata kunci dan optimisme harus dikaji ulang dengan lebih realistis.(*)