KABARBURSA.COM - Pasar saham Amerika Serikat ditutup merana pada Senin, 21 April 2025, setelah Donald Trump kembali melemparkan “bom” retoris ke arah Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell. Lewat unggahan panas di Truth Social, mantan Presiden AS itu menyebut Powell sebagai "Tuan Terlambat, si pecundang besar" dan mendesak pemangkasan suku bunga "SEKARANG JUGA."
Serangan ini sontak mengguncang sentimen pelaku pasar yang tengah sensitif terhadap segala sinyal kebijakan moneter. Kekhawatiran pun merebak bahwa independensi The Fed, pilar penting stabilitas pasar, sedang berada dalam tekanan politik.
Seperti dilansir Reuters, reaksi pasar tak kalah dramatis. Ketiga indeks utama di Wall Street, Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq, kompak ambruk lebih dari 2 persen. Yang paling terpukul adalah kelompok saham megacap teknologi yang dikenal dengan julukan "Magnificent Seven," yang membebani kinerja Nasdaq.
Saham-saham teknologi seperti Tesla dan Nvidia mengalami tekanan jual signifikan, mencerminkan ketegangan yang tak hanya datang dari ranah kebijakan moneter, tetapi juga dari dinamika geopolitik dan persaingan teknologi global.
Dow Jones Industrial Average ditutup melemah 971,82 poin atau 2,48 persen ke level 38.170,41, sementara S&P 500 terkoreksi 124,50 poin atau 2,36 persen ke 5.158,20. Nasdaq Composite, yang paling terpapar saham teknologi, ambles 415,55 poin atau 2,55 persen ke posisi 15.870,90. Kini, S&P 500 berada sekitar 16 persen di bawah rekor penutupan tertingginya pada 19 Februari. Jika koreksi terus berlanjut hingga mencapai 20 persen, maka indeks ini secara teknikal akan memasuki zona pasar bearish.
Di tengah kekacauan itu, muncul pula komentar yang lebih tenang namun sarat peringatan. “Negara-negara dengan bank sentral yang independen tumbuh lebih cepat, inflasinya lebih rendah; hasil ekonominya lebih baik bagi masyarakatnya,” ujar Jed Ellerbroek, manajer portofolio di Argent Capital Management, St. Louis.
Ia menyebut upaya politisasi terhadap The Fed sebagai hal yang "sangat buruk dan sangat menakutkan bagi pasar."
Namun, problem bukan hanya datang dari dalam negeri. Di luar sana, ketegangan dagang antara AS dan China kembali mengencang. Beijing memperingatkan negara-negara lain agar tak menjalin kesepakatan dengan Washington yang bisa merugikan China, memicu kekhawatiran bahwa babak baru perang tarif bisa segera dimulai.
"Perusahaan-perusahaan, tidak tahu harus bagaimana bersikap, masih menunggu kepastian tarif dari Amerika Serikat," lanjut Ellerbroek.
"Yang bikin frustrasi adalah, ini seperti menyakiti diri sendiri; kita ada dalam situasi ini karena pilihan—pilihan dari pemerintahan ini," imbuhnya.
Di sisi lain, musim laporan keuangan kuartal pertama masih berlangsung panas. Dari 59 perusahaan S&P 500 yang telah melaporkan kinerja, 68 persen berhasil melampaui ekspektasi analis menurut data LSEG. Namun, ekspektasi secara keseluruhan justru terkikis.
Awalnya analis memperkirakan pertumbuhan laba kuartalan sebesar 12,2 persen secara tahunan, namun kini hanya tinggal 8,1 persen. Investor akan mencermati lebih lanjut laporan dari perusahaan-perusahaan besar pekan ini, termasuk Tesla dan Alphabet dari kelompok Magnificent Seven, serta raksasa industri seperti Boeing, Northrop Grumman, Lockheed Martin, dan 3M.
Di lantai bursa, tekanan tak hanya terasa pada indeks. Saham Nvidia terperosok 4,5 persen setelah Reuters melaporkan bahwa Huawei Technologies bakal memulai pengiriman chip AI canggih secara massal ke pelanggan di China mulai bulan depan.
Tesla bahkan lebih terpukul, jatuh 5,8 persen usai kabar bahwa produksi varian Model Y versi hemat mengalami penundaan. Di sisi lain, ada sedikit kabar baik dari saham FIS yang naik 2,4 persen setelah mendapatkan upgrade dari salah satu broker besar.
Secara statistik, tekanan jual mendominasi. Di New York Stock Exchange (NYSE), jumlah saham yang turun melampaui saham yang naik dengan rasio mencolok 4,76 banding 1.
Di Nasdaq, situasinya sedikit lebih baik, meski tetap suram, dengan 1.205 saham naik dan 3.174 saham turun (rasio penurunan 2,63 banding 1).
Volume transaksi di seluruh bursa AS tercatat 13,89 miliar saham, masih di bawah rata-rata 20 hari terakhir yang mencapai 18,87 miliar saham.
Prospek Melemah, Ancaman Resesi Membayangi
Seiring dengan meningkatnya agresivitas Trump dalam mendorong tarif impor terhadap sejumlah mitra dagang utama AS, proyeksi pertumbuhan ekonomi dan sentimen pasar terus merosot. Beberapa ekonom papan atas bahkan telah menaikkan estimasi kemungkinan resesi tahun ini.
Peringatan dini datang dari Conference Board, yang melaporkan bahwa indeks Leading Economic Indicators (LEI) turun 0,7 persen pada Maret. Meski angka tersebut belum menyentuh ambang resesi, indikator ini secara eksplisit mengisyaratkan perlambatan aktivitas ekonomi ke depan.
“Indeks ini menunjukkan sinyal perlambatan yang cukup jelas,” kata Justyna Zabinska-La Monica, manajer senior indikator siklus bisnis di Conference Board.
Ia menambahkan bahwa pelemahan ini sejalan dengan menurunnya sentimen konsumen, sektor manufaktur yang terus melemah, dan penurunan harga saham dalam beberapa pekan terakhir.
Di tengah perlambatan ini, ada satu hal yang sempat diharapkan menjadi penyejuk: inflasi. Banyak pihak memperkirakan inflasi akan mulai menurun dalam waktu dekat. Namun sayangnya, rencana Trump untuk kembali menaikkan tarif impor terhadap berbagai produk kunci justru berpotensi mendorong inflasi kembali naik, bahkan bisa menyentuh level 4% atau lebih sepanjang sisa tahun ini.
Para pejabat Federal Reserve mengakui bahwa tekanan harga ini mungkin bersifat sementara, sehingga masih membuka ruang bagi pemangkasan suku bunga di masa depan. Namun, mereka juga mewaspadai skenario terburuk: tekanan inflasi yang lebih bertahan lama, yang akan memaksa The Fed untuk tetap menjaga kondisi kredit tetap ketat.
Presiden The Fed Chicago, Austan Goolsbee, dalam komentarnya kepada CNBC hari Senin, 21 April 2025 menyebut bahwa bank sentral masih perlu waktu untuk menilai secara utuh dampak dari kebijakan dagang Trump. “Dampak tarif terhadap makroekonomi bisa jadi bersifat moderat,” ujarnya.
“Kita belum tahu seperti apa efeknya terhadap rantai pasok. Karena itu, kami memilih untuk tetap menjadi tangan yang stabil, menunggu dan mencari garis besar cerita ini sebelum melompat ke aksi kebijakan,” tegasnya. (*)