KABARBURSA.COM - Bursa saham Amerika Serikat menutup perdagangan Kamis waktu New York atau Jumat pagi, 7 November 2025, dengan nada negatif. Tekanan jual di sektor teknologi yang sebelumnya sempat menjadi motor reli Wall Street, justru mengubah keadaan.
Ketiga indeks utama, yaitu Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq, kompak melemah di tengah meningkatnya kekhawatiran atas valuasi saham yang dinilai terlalu tinggi. Begitu pula dengan ketidakpastian ekonomi akibat macetnya pemerintahan federal AS.
Dow Jones Industrial Average merosot 397 poin atau 0,84 persen ke 46.913, sementara S&P 500 jatuh 1,12 persen ke 6.720. Nasdaq Composite, yang sarat saham teknologi, anjlok lebih dalam sebesar 1,90 persen ke 23.053.
Penurunan ini menggambarkan kerapuhan reli pasar beberapa bulan terakhir, yang ditopang euforia terhadap saham-saham berbasis kecerdasan buatan (AI). Ketika saham-saham “AI-adjacent” mulai melemah, pasar kembali diingatkan bahwa kenaikan spektakuler Wall Street belakangan ini banyak bergantung pada satu sektor yang sangat sensitif terhadap perubahan sentimen.
Indeks semikonduktor Philadelphia (SOX), yang menjadi barometer industri chip turun, tajam 2,4 persen. Aksi jual ini menandai rotasi keluar dari sektor teknologi besar, di tengah kekhawatiran bahwa valuasi sudah melampaui rasionalitas fundamental.
Analis dari Murphy & Sylvest Paul Nolte, menyebut bahwa meski valuasi masih menjadi “bom waktu” jangka panjang, mentalitas beli di saat harga turun (buy the dip) masih kuat di pasar.
“Kita sempat turun 1 sampai 1,5 persen, tapi keesokan harinya indeks langsung rebound 0,8 persen,” ujarnya, menyoroti pola spekulatif yang masih mendominasi perilaku investor.
Namun, di balik dinamika teknikal itu, sentimen makro justru memburuk. Kebuntuan pemerintahan AS telah menunda rilis berbagai data ekonomi penting yang dibutuhkan The Fed untuk menilai arah suku bunga.
Dengan “lampu indikator” ekonomi padam ini, pasar kini bergantung pada data alternatif dari sektor swasta yang hasilnya tidak menggembirakan.
Laporan dari Challenger Gray & Christmas, misalnya, menunjukkan adanya lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebesar 183 persen secara bulanan pada Oktober. Ini menjadikannya sebagai bulan dengan lonjakan PHK tertinggi dalam lebih dari dua dekade.
Penyebab utamanya adalah efisiensi biaya dan penyesuaian organisasi terkait otomatisasi dan penerapan AI.
Sementara itu, data Revelio Labs memperlihatkan bahwa ekonomi AS kehilangan 9.100 pekerjaan pada bulan lalu. Sebagian besar justru di sektor pemerintahan.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran baru bahwa pasar tenaga kerja AS mungkin melemah lebih cepat dari perkiraan The Fed. Hal senada disampaikan Michael Green dari Simplify Asset Management. Dirinya menilai bahwa lonjakan PHK tersebut berpotensi memaksa pasar untuk menilai ulang prospek pemangkasan suku bunga pada Desember.
Sebelumnya, pemangkasan tersebut masih terbuka untuk diperdebatkan oleh Ketua The Fed Jerome Powell. Dengan kata lain, optimisme pasar terhadap pelonggaran moneter bisa jadi terlalu dini.
MA AS Tinjau Ulang Legalitas Tarif Trump
Dari sisi politik, ketegangan turut menambah tekanan. Mahkamah Agung AS tengah meninjau ulang legalitas tarif besar-besaran yang diberlakukan Presiden Donald Trump. Kebijakan ini sebelumnya mengguncang pasar global.
Ketidakpastian hasil sidang ini menambah lapisan risiko baru, terutama bagi saham-saham industri dan perdagangan internasional yang sangat bergantung pada kestabilan kebijakan tarif.
Dari sektor-sektor di indeks S&P 500, consumer discretionary menjadi yang paling terpukul dengan penurunan 2,5 persen. Sementara, sektor energi justru mencatat kenaikan tipis, yang diuntungkan oleh fluktuasi harga minyak.
Meski demikian, secara keseluruhan, tekanan jual jauh lebih dominan. Di NYSE, jumlah saham turun hampir dua kali lipat lebih banyak dari yang naik. Sedangkan di Nasdaq, proporsinya bahkan mencapai 2,7 banding 1.
Di tengah gejolak ini, musim laporan keuangan kuartal III mulai memasuki babak akhir. Dari 424 perusahaan S&P 500 yang sudah merilis hasil, sekitar 83 persen masih mampu melampaui ekspektasi analis. Angka ini menunjukkan daya tahan korporasi AS di tengah tekanan makro.
Namun, kenaikan laba agregat sebesar 16,8 persen year-on-year lebih banyak mencerminkan pemulihan dari basis rendah tahun lalu daripada lonjakan permintaan baru.
Di sisi korporasi, saham DoorDash anjlok 17,5 persen setelah laba kuartalannya meleset akibat lonjakan biaya operasional. Elf Beauty bahkan jatuh 35 persen setelah menurunkan proyeksi penjualan tahunannya.
Sebaliknya, Snap naik 9,7 persen berkat kinerja pendapatan di atas ekspektasi dan kemitraan baru dengan Perplexity AI. Kenaikan ini menjadi salah satu sedikit titik terang di sektor teknologi hari itu.
Secara keseluruhan, sesi Kamis memperlihatkan kontras tajam antara kekuatan fundamental dan euforia pasar yang menipis. Wall Street kini berhadapan dengan realitas baru, yaitu valuasi tinggi, ekonomi yang melemah, dan ketergantungan berlebihan pada sektor teknologi.
Selama ketiga faktor ini belum menemukan keseimbangan, volatilitas kemungkinan tetap akan menjadi wajah dominan pasar saham AS menuju akhir tahun.(*)