KABARBURSA.COM - Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyoroti defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp507,8 triliun, atau setara dengan 2,29 persen dari produk domestik bruto (PDB).
“Dengan tambahan defisit APBN tentu menambah utang baru, yang pemerintahan baru akan bayar nantinya pokok utang berikut bunganya,” ujarnya melalui keterangan tertulis pada Rabu, 15 Januari 2025.
Anis mengungkap bahwa penerimaan pajak tahun 2024 tercatat hanya mencapai 97,2 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN, padahal selama tiga tahun berturut-turut sebelumnya, penerimaan pajak selalu sesuai dengan target.
“Rata-rata defisit tahun 2000-2004 hanya 1,75 persen, tahun 2005-2009 pada angka 0,80 persen, 2010-2014 sebesar 1,58 persen, sementara itu di dua periode pemerintahan Jokowi defisit meningkat tajam sebesar 2,32 persen rata-rata sepanjang 2015-2019, dan 3,39 persen di 2019-2024,” tambahnya.
Anis mengatakan pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo dinilai dapat memperbaiki kondisi ini, mengingat pada rezim sebelumnya, defisit APBN selalu mengalami lonjakan signifikan, bahkan sebelum pandemi pun, defisit sudah meningkat tajam di atas 2 persen.
“Semoga pemerintah Prabowo bisa memperbaiki, karena pada rezim sebelumnya defisit selalu melonjak, bahkan di era sebelum pandemi pun, defisit meningkat tajam di atas 2 persen,” jelas Anis.
Terkait pendapatan negara di tahun 2024 legislator PKS ini mengomentari penyataan Kemenkeu yang menyebut pendapatan negara tumbuh positif.
“Padahal rasio Pendapatan Negara atas PDB secara historis terlihat tidak ada kemajuan, bahkan cenderung menurun. Pada tahun 2014 sebesar 14,57 persen, kemudian di 2024 Rasio Pendapatan Negara atas PDB menurun hingga 12,50 persen,” katanya.
Anis juga mengungkapkan faktor menurunnya penerimaan pajak di tahun 2024 diantaranya karena pemerintah seolah tidak berdaya menghadapi tekanan gejolak global dan turunnya harga komoditas. Sementara di dalam negeri sendiri, fundamental ekonomi nasional juga tidak kunjung membaik.
“Terjadinya deflasi selama lima bulan berturut-turut menunjukkan efek dari lemahnya daya beli masyarakat akibat pertumbuhan penghasilan yang tidak signifikan serta turunnya pendapatan masyarakat selama tahun 2024,” katanya.
Ia juga menambahkan pemerintah baru perlu fokus pada upaya menstabilkan ekonomi terlebih dahulu, guna memastikan penerimaan negara dapat optimal. Selain itu, perhatian khusus juga diperlukan untuk menambal kebocoran pajak, terutama di sektor-sektor strategis seperti sawit, pertambangan, dan bidang sumber daya alam (SDA) lainnya.
“Pemerintah baru perlu menstabilkan ekonomi terlebih dahulu, agar penerimaan negara optimal, selain itu pemerintah perlu menambal kebocoran pajak seperti di sektor sawit, tambang, dan bidang sumber daya alam (SDA) lainnya,” pungkasnya.
Prabowo akan Tarik Utang Baru pada 2025
Pemerintah Indonesia berencana menarik utang baru sebesar Rp775,86 triliun pada tahun 2025. Rencana ini tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2025, yang diteken Presiden Prabowo pada 30 November 2024.
Pembiayaan utang ini terdiri dari dua sumber utama, yaitu Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman. SBN menjadi komponen terbesar dengan target penerbitan mencapai Rp642,56 triliun. Sementara itu, pembiayaan melalui pinjaman ditetapkan sebesar Rp133,30 triliun, yang terbagi atas pinjaman dalam negeri sebesar Rp5,17 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp128,13 triliun.
Selain pembiayaan utang, pemerintah juga mencatat anggaran untuk pembiayaan investasi sebesar Rp154,50 triliun. Dana ini akan dialokasikan untuk investasi ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Organisasi internasional dan badan usaha lainnya, serta investasi pemerintah oleh Bendahara Umum Negara (BUN).
Di sisi lain, pemberian pinjaman tercatat sebesar Rp5,44 triliun, sedangkan pembiayaan lainnya sebesar Rp262 miliar.
Dengan rencana penarikan utang yang signifikan, pemerintah diharapkan mampu memanfaatkan dana tersebut secara optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta investasi strategis lainnya.
Di sisi lain, pengelolaan utang yang efisien menjadi tantangan untuk menjaga stabilitas fiskal dalam jangka panjang.
Per Oktober 2024 Utang RI Naik
Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa posisi utang luar negeri Indonesia pada Oktober 2024 meningkat sebesar USD2,7 miliar, menjadi USD427,8 miliar, dibandingkan dengan posisi pada Agustus yang tercatat sebesar USD425,1 miliar.
Secara tahunan, utang luar negeri mengalami pertumbuhan sebesar 8,3 persen (year on year/yoy). Dalam rupiah, posisi utang luar negeri (ULN) tersebut setara dengan Rp6.790,9 triliun (dengan kurs Rp15.874 per dolar AS).
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Ramdan Denny Prakoso, menyampaikan bahwa perkembangan ULN tersebut sebagian besar berasal dari sektor publik.
“Posisi ULN kuartal III-2024 juga dipengaruhi oleh pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, termasuk rupiah,” ujar Denny dalam keterangan resmi.
Meski terjadi kenaikan secara keseluruhan, Denny menekankan bahwa utang luar negeri pemerintah tetap terjaga dengan baik. Pada kuartal III-2024, posisi ULN pemerintah tercatat sebesar USD204,1 miliar, atau tumbuh 8,4 persen yoy, setelah sebelumnya mengalami kontraksi sebesar 0,8 persen pada kuartal II/2024.
Perkembangan ini dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri serta peningkatan aliran masuk modal asing pada SBN domestik, yang menunjukkan tetap terjaganya kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.