KABARBURSA.COM - Wisatawan yang datang ke Indonesia berhasil mencetak rekor, naik 21,87 persen dibandingkan tahun sebelumnya pada periode yang sana. Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf) Ni Luh Puspa, melaporkan bahwa jumlah perjalanan wisatawan nusantara pada Oktober 2024 mencapai 839,39 juta perjalanan.
“Hingga Oktober 2024, jumlah perjalanan wisatawan nusantara sudah mencapai hampir satu miliar perjalanan, yang merupakan pencapaian luar biasa. Angka ini meningkat 21,87 persen dibandingkan dengan kumulatif periode yang sama pada tahun 2023. Kami berharap jumlah perjalanan ini dapat terus bertumbuh,” ujar Ni Luh Puspa dalam keterangan resmi di Jakarta, Minggu, 15 Desember 2024.
Ni Luh Puspa juga menegaskan bahwa pihaknya akan terus mendorong intensifikasi program Bangga Berwisata di Indonesia (BBWI) sebagai salah satu upaya cepat (quick wins). Beberapa langkah akan dilakukan, antara lain melalui kampanye atau branding, pengintegrasian paket wisata, efisiensi biaya transportasi, dan peningkatan daya saing destinasi wisata.
"Kami berharap dukungan dari seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung pengembangan program BBWI ke depan,” tambah Wamenparekraf.
Lebih lanjut, semangat Bangga Buatan Indonesia (BBI) juga dinilai efektif dalam memperkuat pelaku UMKM dan produk lokal. Hal ini tercermin dalam semakin banyaknya pelaku UMKM dan produk lokal yang bergabung dengan platform marketplace anggota Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA).
Digitalisasi yang diusung melalui BBI kini menjadi faktor penentu dalam mendongkrak penjualan produk lokal, yang pada gilirannya turut memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Pemerintah Diminta Segera Benahi Sektor Pariwisata
Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mendesak pemerintah untuk segera berinovasi di sektor pariwisata, dengan menekankan pentingnya memaksimalkan digitalisasi. Menurutnya, digitalisasi dapat mempermudah wisatawan sekaligus meningkatkan efisiensi pengelolaan data pariwisata.
“Digitalisasi sangat penting. Selain mempermudah wisatawan, digital juga mendukung pengelolaan data pariwisata yang lebih efisien,” ujar Sara dalam keterangannya, beberapa waktu lalu.
Sara berpendapat bahwa digitalisasi akan memberikan kontribusi besar dalam penyusunan kebijakan pariwisata berbasis data yang lebih akurat dan tepat sasaran. Ia mencontohkan penerapan digitalisasi di Tiongkok yang telah berhasil memperkuat sektor pariwisatanya.
“Ketika saya mengunjungi Tiongkok, untuk masuk ke Forbidden City hanya perlu menggunakan paspor. Prosesnya cepat dan tanpa repot. Di Indonesia, kita juga bisa memanfaatkan KTP untuk keperluan serupa,” kata Sara.
Menurutnya, dengan digitalisasi, Indonesia dapat memiliki data yang lebih akurat, termasuk informasi tentang destinasi wisata yang sudah dikunjungi wisatawan.
Sara menilai bahwa keunggulan sektor pariwisata Indonesia terletak pada keramahan masyarakatnya. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah untuk lebih fokus pada aspek hospitality dengan meningkatkan kualitas pendidikan pelayanan wisata dalam negeri.
“Dengan keramahan masyarakat Indonesia, saya yakin kita bisa memiliki keunggulan kompetitif di pasar internasional. Hospitality kita sebenarnya salah satu yang terbaik di dunia, bahkan bisa mengalahkan Swiss,” ujarnya.
Sara juga mengapresiasi keberhasilan Politeknik Pariwisata (Poltekpar) Indonesia, khususnya jurusan hospitality, yang diakui secara internasional dengan menempati peringkat kelima terbaik di dunia. Menurutnya, sektor hospitality harus terus dikembangkan karena merupakan kebanggaan Indonesia.
Kolaborasi dan kerjasama antar kementerian dan lembaga sangat diperlukan jika kita ingin meningkatkan kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB. Kementerian Pariwisata tidak bisa bekerja sendirian, dan semua pihak, termasuk pemerintah daerah, harus sejalan dengan visi nasional,” tegas Sara.
Selain itu, Sara juga menyoroti peran penting Kementerian Pariwisata dalam mengkampanyekan keunggulan geografis Indonesia yang lebih strategis dibandingkan dengan negara-negara tetangga, sebagai upaya untuk menarik lebih banyak wisatawan.
Harga Tiket Masih Jadi Beban
Sementara itu, Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICI), Prof Azril Azahari, menyatakan bahwa destinasi wisata di Indonesia sudah mulai berbenah.
Berbagai persiapan dilakukan, mulai dari peningkatan kualitas destinasi hingga penyediaan fasilitas pendukung seperti akomodasi dan jasa agen perjalanan.
Namun, Prof Azril menggarisbawahi bahwa tingginya harga tiket pesawat menjadi salah satu kendala utama dalam meningkatkan kunjungan wisatawan domestik maupun internasional.
“Kebijakan pemerintah terkait penurunan harga tiket masih belum jelas, meskipun Satgas telah dibentuk. Ada banyak komponen biaya yang memengaruhi, bukan hanya avtur,” ujarnya kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Jumat, 27 November 2024.
Prof Azril memaparkan, biaya avtur yang menyumbang 30 persen dari total biaya penerbangan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara tetangga seperti Singapura. Selain itu, beban operasional maskapai juga dipengaruhi oleh PPN yang akan naik menjadi 12 persen pada Januari 2025.
Kemudian kewajiban penggunaan Sustainable Aviation Fuel (SAF) untuk mendukung dekarbonisasi dan mencapai zero emission, dan penyesuaian beban liability oleh ICAO, sebesar 17,9 persen per 28 Desember 2024.
“Khusus untuk SAF, meskipun dapat menurunkan emisi karbon hingga 80 persen, biayanya jauh lebih mahal, yaitu sekitar 6-10 kali lipat dari avtur biasa. Negara seperti Singapura sudah mulai menetapkan aturan ini, dan kita akan tertinggal jika tidak bersiap,” jelasnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.