KABARBURSA.COM - Presiden Korea Selatan yang dimakzulkan, Yoon Suk Yeol, akhirnya ditahan dalam operasi besar di kompleks kepresidenan pada Rabu, 15 Januari 2025. Meski menegaskan bahwa badan anti-korupsi tidak memiliki kewenangan untuk menyelidiki tindakannya, Yoon memilih patuh untuk menghindari bentrokan kekerasan. Dilansir dari AP di Jakarta, Rabu, dalam video pernyataan yang direkam sebelum dibawa ke markas badan anti-korupsi, Yoon menyatakan bahwa aturan hukum di negerinya telah benar-benar runtuh.
Yoon, yang menjadi presiden pertama yang ditahan saat masih menjabat, bertahan selama berminggu-minggu di kediaman resmi Hannam-dong, Seoul, sembari bersumpah akan melawan hingga akhir upaya pelengseran dirinya. Ia berdalih deklarasi darurat militer pada 3 Desember adalah tindakan sah untuk melawan oposisi yang disebutnya anti-negara karena menggunakan mayoritas legislatif untuk menggagalkan agendanya.
Kronologi Penahanan
[caption id="attachment_113257" align="alignnone" width="717"] Penyelidik tiba di pintu masuk kediaman presiden Yoon Suk Yeol, ketika pihak berwenang mencoba mengeksekusi surat perintah penangkapan, di Seoul, Korea Selatan, pada 15 Januari 2025.
Foto: Getty Images.[/caption]
Badan Penyelidik Korupsi Pejabat Tinggi (CIO) menyatakan Yoon ditahan sekitar lima jam setelah penyidik tiba di kompleks kepresidenan dan tiga jam setelah mereka berhasil masuk ke kediamannya dalam upaya kedua untuk menangkapnya. Konvoi SUV hitam yang dikawal polisi terlihat keluar dari kompleks tersebut. Yoon kemudian tampak keluar dari kendaraan setelah tiba di kantor CIO di Gwacheon. Setelah pemeriksaan, ia direncanakan dikirim ke pusat penahanan di Uiwang, dekat Seoul.
Penahanan Yoon bermula dari ketidakhadirannya dalam pemeriksaan yang dijadwalkan oleh Badan Penyelidik Korupsi Pejabat Tinggi (CIO), yang kemudian mengajukan surat perintah penangkapan pada 31 Desember. Surat tersebut diperpanjang hingga pertengahan Januari setelah sebelumnya berakhir pada 6 Januari. Tuduhan pemberontakan yang dialamatkan kepada Yoon menjadi sorotan, mengingat tuduhan tersebut tidak tunduk pada kekebalan presiden dan memiliki ancaman hukuman maksimal berupa hukuman mati.
Deklarasi darurat militer yang diumumkan Yoon pada 3 Desember menjadi pemicu utama kisruh politik ini. Dalam pidato malam yang mengejutkan, Yoon menyebut ancaman dari “pasukan komunis Korea Utara” dan “kelompok anti-negara” sebagai alasan untuk mengambil langkah ekstrem tersebut. Darurat militer ini merupakan yang pertama sejak lebih dari 40 tahun terakhir di Korea Selatan.
Namun, langkah Yoon mendapat perlawanan keras. Anggota parlemen berhasil menembus barikade polisi dan membatalkan deklarasi darurat militer di gedung parlemen. Beberapa hari kemudian, mosi pemakzulan Yoon disetujui pada 14 Desember yang membuatnya resmi diskors dari jabatan presiden.
Proses Hukum yang Berlanjut
CIO bersama kepolisian dan militer, menyelidiki apakah deklarasi darurat militer Yoon merupakan upaya pemberontakan. Mereka memiliki waktu 48 jam untuk meminta pengadilan mengeluarkan perintah penahanan resmi. Jika permohonan itu ditolak, Yoon akan dibebaskan. Namun jika diterima, penahanannya bisa diperpanjang hingga 20 hari sebelum kasusnya dilimpahkan ke jaksa untuk persidangan.
Selama dua jam pertama pemeriksaan, Yoon menggunakan haknya untuk tetap diam. Surat penahanan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Distrik Barat Seoul menyebut ada alasan kuat untuk menduga Yoon terlibat sebagai pemimpin pemberontakan.
Setelah pemakzulan Yoon pada 14 Desember, kekuasaannya sebagai presiden telah dicabut sementara. Nasib politik Yoon kini berada di tangan Mahkamah Konstitusi—apakah mereka akan mengesahkan pemakzulan dan mencopotnya secara resmi atau justru membatalkan kasus tersebut dan memulihkan jabatannya.
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dijadwalkan membuka sidang pemakzulan pada 14 Januari, tetapi harus menunda hingga 16 Januari setelah Yoon kembali absen dalam persidangan. Drama politik ini masih jauh dari kata selesai, dan semua mata tertuju pada keputusan akhir Mahkamah Konstitusi terkait nasib Yoon.
Reaksi Pasar Saham Tenang
[caption id="attachment_113255" align="alignnone" width="570"] Saham KOSPI di Korea Selatan. Foto: Jung Yeon-je/AFP.[/caption]
Pasar saham Korea Selatan merespons berita penahanan Yoon Suk Yeol dengan tenang. Indeks blue-chip Kospi menguat tipis 0,21 persen, sementara Kosdaq yang didominasi saham berkapitalisasi kecil justru terkoreksi 0,44 persen.
Saham perusahaan galangan kapal asal Korea Selatan, Samsung Heavy Industries, sebelumnya pun melonjak hingga 9,45 persen dan mencapai level tertinggi dalam sembilan tahun terakhir. Meski tidak jelas apa pemicunya, laporan Reuters menyebut bahwa rencana Presiden terpilih AS, Donald Trump, untuk meningkatkan produksi minyak dan gas serta melonggarkan aturan ekspor menjadi katalis positif bagi industri galangan kapal. Saham perusahaan kapal HMM, sebelumnya dikenal sebagai Hyundai Merchant Marine, juga naik 5,7 persen.
Namun, di tengah euforia pasar saham, data ekonomi Korea Selatan menunjukkan kenaikan tingkat pengangguran menjadi 3,7 persen pada Desember 2024, tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Jumlah pengangguran naik 171.000 orang, atau 18,1 persen dibanding tahun sebelumnya, menjadi 1,12 juta orang. Meski begitu, jumlah angkatan kerja secara keseluruhan meningkat 0,4 persen menjadi 29,16 juta orang.
Di sisi lain, nilai tukar won melemah terhadap dolar AS dan terakhir diperdagangkan di angka 1.459,75 per dolar. Imbal hasil obligasi acuan 10 tahun Korea Selatan juga mengalami kenaikan.(*)