Logo
>

15,21 Persen Keluarga di Indonesia Belum Punya Rumah

Ditulis oleh KabarBursa.com
15,21 Persen Keluarga di Indonesia Belum Punya Rumah

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Banyak keluarga di Indonesia yang masih belum memiliki rumah sendiri, karena masih ada yang tinggal di rumah dengan status kontrak, bebas sewa, dan lainnya.

    Data ini diungkapkan dalam publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) yang berjudul Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2023.

    Pada tahun 2023, sekitar 84,79 persen rumah tangga menempati rumah milik sendiri, sementara 15,21 persen lainnya belum memiliki rumah sendiri.

    Dari 15,21 persen tersebut, sebagian besar keluarga tinggal di hunian dengan status bebas sewa, mencapai 9,37 persen dari total rumah tangga.

    Dalam tiga tahun terakhir, persentase keluarga yang menempati rumah milik sendiri di Indonesia mengalami peningkatan meski tidak signifikan.

    Pada tahun 2021, jumlah rumah tangga yang memiliki rumah sendiri sekitar 81,08 persen. Angka ini naik menjadi 83,99 persen pada tahun 2022, dan pada tahun 2023 mencapai 84,79 persen. Dengan demikian, peningkatan hanya sekitar 3 persen dari tahun 2021 hingga 2023.

    Sementara itu, berdasarkan data dari Housing and Real Estate Information System (2022) menunjukkan bahwa ada sekitar 12.715.297 orang yang masih belum memiliki rumah atau mengalami backlog kepemilikan rumah pada tahun 2021.

    Lebih dari 84 persen dari jumlah backlog tersebut ditemukan pada golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

    Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa sekitar 10.741.689 golongan MBR tidak memiliki rumah, sementara sisanya, sekitar 1.973.608, termasuk dalam golongan Non-MBR.

    Apa yang menjadi permasalahan utama dalam penyediaan rumah di Indonesia?

    Menurut Panel Ahli Katadata Insight Center, Mulya Amri, terdapat korelasi positif antara harga rumah dan jumlah backlog kepemilikan. Semakin tinggi harga rumah di suatu daerah, semakin tinggi juga angka backlog-nya.

    Mulya menyatakan bahwa pembangunan rumah subsidi kurang diminati oleh pengembang besar karena lebih banyak dilakukan oleh pengembang skala kecil menengah. Pelayanan kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dianggap sebagai risiko oleh beberapa pihak, termasuk pengembang, karena potensi kegagalan pembayaran dari golongan MBR.

    Selain itu, akses permodalan dan regulasi juga menjadi keluhan utama bagi pengembang rumah subsidi, mengingat motif ekonomi menjadi faktor utama minimnya partisipasi dari pengembang skala besar. Diperlukan peran dari pemerintah bersama lembaga perbankan untuk meningkatkan jumlah rumah subsidi.

    Lebih dari itu, lembaga perbankan harus berkomitmen untuk menyalurkan kredit konstruksi dan KPR bersubsidi.

    Pemerintah sebenarnya telah mendukung program pembiayaan perumahan melalui dana APBN, termasuk melalui program Fasilitas Likuiditas Pembangunan Perumahan (FLPP).

    Alokasi dana untuk program ini meningkat dari tahun ke tahun, yang diharapkan dapat mengurangi backlog kepemilikan rumah sekitar 1,2 hingga 2,16 persen setiap tahunnya.

    Meskipun demikian, kebanyakan bank masih belum memenuhi kuota untuk menyalurkan FLPP, dengan lebih dari 50 persen bank tidak menggunakan dana yang telah dialokasikan. Hal ini disebabkan karena urusan rumah untuk golongan MBR dinilai kurang menarik secara komersial bagi sebagian bank, meskipun telah mendapatkan subsidi dan fasilitas likuiditas.

    Sepertiga Penduduk Indonesia Tinggal di Rumah Tak Layak Huni

    Sementara itu, lebih dari sepertiga penduduk Indonesia, tepatnya 36,85 persen dari rumah tangga, masih tinggal di rumah yang tak layak huni. Ini berarti sekitar 36 hingga 37 rumah tangga dari setiap 100 masih mengalami kondisi rumah yang tidak memenuhi standar hunian yang layak.

    Menurut Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2023 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), persentase tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

    Pada tahun 2022, sekitar 39,34 persen rumah tangga masih tinggal di rumah tak layak huni, sedangkan pada tahun 2021, angka tersebut mencapai sekitar 39,1 persen. Data ini diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023 yang mencakup jumlah sampel sebanyak 345.000 rumah tangga di 34 provinsi dan 514 kabupaten atau kota di Indonesia.

    Perbedaan signifikan juga terlihat antara daerah perkotaan dan perdesaan. Di perkotaan, persentase rumah tangga yang tinggal di rumah tak layak huni adalah sekitar 34,53 persen, sementara di perdesaan mencapai 40,09 persen.

    Secara provinsi, terdapat empat provinsi dengan persentase rumah tangga yang menempati rumah tak layak huni di atas 50 persen pada tahun 2023. Provinsi-provinsi tersebut adalah Papua dengan 70,99 persen, Kepulauan Bangka Belitung 67,43 persen, DKI Jakarta 61,2 persen, dan Nusa Tenggara Timur 57,3 persen. Sementara itu, provinsi dengan persentase terendah adalah DI Yogyakarta dengan hanya 14,21 persen rumah tangga yang menempati rumah tak layak huni.

    Ada kecenderungan peningkatan persentase rumah tangga yang menempati rumah layak huni seiring dengan kenaikan kelompok kuintil pengeluaran. Sebanyak 73,89 persen masyarakat dengan status ekonomi tertinggi (kuintil 5) menempati rumah layak huni, sementara 50,48 persen dari masyarakat dengan status ekonomi terendah (kuintil 1) juga menempati rumah layak huni.

    Kriteria Rumah Layak Huni

    Dalam indikator tujuan nomor 11 Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, ada empat kriteria utama yang harus dipenuhi agar tempat tinggal dapat dikatakan sebagai rumah layak huni. Kriteria-kriteria tersebut meliputi:

    1. Ketahanan Bangunan

    Ketahanan bangunan rumah tangga diukur melalui bahan bangunan atap, dinding, dan lantai rumah. Agar bangunan dinyatakan tahan, bahan-bahan berikut harus digunakan:

    • Atap: beton, genteng, kayu/sirap, atau seng.
    • Dinding: tembok, plesteran, anyaman bambu/kawat, kayu/papan, atau batang kayu.
    • Lantai: marmer/granit, keramik, parket/vinil/karpet, ubin/tegel/teraso, kayu/papan, atau semen/bata merah.

    2. Luas Tempat Tinggal Rumah layak huni harus memiliki luas minimal 7,2 meter persegi per kapita. Misalnya, untuk keluarga dengan empat anggota, luas lantai minimal yang layak huni adalah 28,8 meter persegi.

    3. Akses Air Minum Layak Rumah layak huni harus memiliki akses terhadap sumber air minum layak. Sumber air minum dianggap layak jika berasal dari:

    • Leding
    • Sumur bor/pompa
    • Sumur terlindung
    • Mata air terlindung
    • Air hujan

    Jika sumber air minum utama tidak berkelanjutan (misalnya, air kemasan bermerek atau air isi ulang), rumah tangga harus memiliki sumber air mandi atau cuci yang terlindungi untuk dikatakan memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak.

    Akses Sanitasi Layak Rumah layak huni harus memiliki akses terhadap sanitasi layak, yang diukur melalui:

    Kepemilikan fasilitas tempat buang air besar (sendiri, bersama, atau di fasilitas mandi cuci kakus (MCK) komunal).

    Jenis kloset yang memenuhi syarat sanitasi layak adalah kloset leher angsa.

    Tempat pembuangan akhir tinja yang layak adalah tangki septik atau instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Untuk daerah perdesaan, tempat pembuangan akhir tinja dapat berupa lubang tanah.

    Keempat kriteria ini dirancang untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki akses ke tempat tinggal yang aman, sehat, dan layak huni sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh SDGs.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi