KABARBURSA.COM - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan perputaran uang judi online mencapai Rp600 triliun pada kuartal I-2024, dengan sekitar 3 juta pemain aktif.
Mayoritas pemain judi online, sebanyak 80 persen, memasang taruhan relatif kecil, sekitar Rp100.000.
Koordinator Humas PPATK, Natsir Kongah, menyatakan bahwa mayoritas pemain judi online yang bermain dengan nilai taruhan kecil adalah kalangan ibu rumah tangga, pelajar, pegawai golongan rendah, dan pekerja harian lepas. Meskipun individualnya kecil, namun secara agregat jumlah transaksi mencapai Rp30 triliun.
Data PPATK juga menunjukkan bahwa pelaku judi online sering terlibat dalam kegiatan ilegal lainnya, seperti pinjol (pinjaman online) dan penipuan. Hal ini terjadi karena kurangnya modal dari penghasilan legal untuk bermain judi online.
Natsir menegaskan pentingnya menghindari judi online dan mengelola uang dengan lebih produktif, seperti menabung atau untuk pendidikan.
Meskipun jumlah perputaran uang judi online mengalami penurunan, tetap diperlukan kewaspadaan karena tanpa penanganan serius, jumlahnya bisa meningkat.
Kerja sama antar kementerian dan lembaga di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Hadi Tjahjanto telah berhasil menghambat aktivitas judi online.
Satgas Judi Online
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Harian Pencegahan Satgas Judi Online, Usman Kansong, menyatakan bahwa pembentukan Satgas ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif judi online.
Dampak tersebut mencakup aspek sosial, ekonomi, psikologis, hingga kriminalitas.
"Tujuan akhirnya adalah melindungi masyarakat dari bahaya judi online. Negara wajib melindungi warganya, itulah target kita," ujar Usman, Selasa 18 Juni 2024.
Usman menjelaskan bahwa Satgas Judi Online akan bekerja secara komprehensif, terintegrasi, holistik, dan konsisten dari hulu ke hilir untuk memberantas judi online.
Oleh karena itu, di dalam satgas terdapat tim pencegahan dan tim penindakan.
Bagian pencegahan bertugas melakukan edukasi dan literasi secara masif kepada masyarakat, serta melibatkan mereka untuk mengedukasi yang lain tentang bahaya judi online.
Sementara itu, penindakan di hilir meliputi tindakan seperti pemblokiran konten judi online, blokir bukti dan akun rekening, hingga penelusuran bandar judi online.
Menurut Usman, Satgas Judi Online akan efektif bekerja setelah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024 ditandatangani oleh presiden.
Usman mengakui, selama ini Kemenkominfo telah berupaya mencegah judi online. Melalui Keppres tersebut, pemberantasan judi online akan lebih diintensifkan dan terintegrasi.
"Kerja sebenarnya sudah dilakukan. Namun, kerja-kerja tersebut belum terintegrasi dan belum menyeluruh. Sebagian besar fokus kita masih pada penindakan, terutama dalam hal take down konten. Pencegahan juga belum masif, baru dilakukan oleh Kominfo," kata Usman.
OJK Minta Bank Bikin Sistem Pelacak Aktivitas Judi Online
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta perbankan untuk turut serta memberantas aktivitas judi online atau daring yang kian marak, di mana salah satu upayanya dengan membangun sistem untuk melacak aktivitas transaksi mencurigakan.
"Kami terus meminta bank untuk membangun sistem, agar melihat transaksi-transaksi yang seperti itu (terkait dengan judi online). Karena kan harus dibangun sistemnya," ujar Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara, Minggu, 9 Juni 2024.
Mirza mengatakan aktivitas judi online merupakan salah satu aktivitas yang banyak diadukan oleh masyarakat kepada OJK. Maraknya aktivitas judi online juga kerap menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Kami juga mendorong penanganan-penanganan pengaduan. Bapak/Ibu mungkin juga mencermati Presiden resah melihat judi online. Tentu itu juga menjadi kegelisahan kita semua," kata Mirza.
Menurut dia, aktivitas pelacakan terhadap transaksi perbankan yang terkait judi online tidak mudah. Hal itu karena nominal transaksi yang terkait judi online tidak selalu bernilai besar.
"Transaksinya mungkin hanya Rp100.000, Rp200.000, atau Rp1 juta rupiah. Tapi kok menggunakan rekening itu, sering dipakai untuk tektokan. Karena itu harus dibangun sistemnya,” kata Mirza.
Ia mencontohkan PPATK sudah memiliki sistem yang berjalan cukup lama, yakni yang mengharuskan perbankan melaporkan jika ada transaksi di atas Rp500 juta.
"Kalau judi online kan bukan transaksi Rp500 juta, tapi kecil.. Jadi, kalau kita mau bisa menelusuri itu, kalian harus mempunyai sistem yang bisa memantau pergerakan aneh-aneh di rekening kecil-kecil itu. Jadi, hal itu harus dibangun,” kata dia.
Menurut data OJK, kata Mirza, telah terdapat sekitar 5.000 rekening yang diblokir karena teridentifikasi digunakan terkait kegiatan judi online. Ia mengatakan industri jasa keuangan akan terus berupaya membantu pemberantasan judi online.
"Jadi, sudah sekitar 5.000 rekening kami tutup, kami blokir. Upaya tentu tidak berhenti di situ, harus bisa di-tracing dana ini sebenarnya ke mana," kata Mirza. (*)