KABARBURSA.COM - Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2025, yang menjelaskan tentang Perlakukan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara, menjadi sebuah angin segar.
Analis Stocknow.id Abdul Haq Al Faruqy Lubis mengatakan, sentimen pasar terhadap emiten batu bara Indonesia pasca terbitnya PP No 18 Tahun 2025 cenderung mengarah ke positif hati-hati (cautiously optimistic).
Dia menyebut, regulasi baru itu memberikan pendekatan yang lebih adaptif dibandingkan aturan sebelumnya yakni PP No. 15/2022, yang mana tarif royalti ekspor disesuaikan berdasarkan rentang Harga Batubara Acuan (HBA) yang lebih realistis.
"Misalnya, untuk kisaran HBA USD 120–140 per ton, tarif royalti ditetapkan sebesar 19 persen, lebih rendah dibandingkan tarif 23 persen dalam aturan sebelumnya," ujarnya kepada KabarBursa.com dikutip, Rabu, 23 April 2025.
Abdul menyatakan kondisi ini merupakan kabar baik bagi emiten batu bara karena dapat mengurangi tekanan terhadap margin keuntungan, khususnya saat harga batu bara global sedang mengalami tren penurunan.
Selain itu, kepastian regulasi juga menjadi nilai tambah. Dengan diterbitkannya PP ini lebih awal dan skema tarif yang sudah transparan, kata Abdul, risiko ketidakpastian dari sisi kebijakan menjadi lebih kecil.
"Hal ini berpotensi mendukung sentimen investor terhadap saham-saham batu bara berfundamental kuat seperti ADRO, PTBA, atau ITMG," terangnya.
Lanjut dia, penurunan tarif royalti saat harga batu bara sedang lemah juga memberikan semacam "penyangga" bagi arus kas produsen, menunjukkan bahwa pemerintah tidak bersikap terlalu eksploitatif terhadap industri di tengah kondisi yang tidak ideal.
Namun demikian, Abdul menuturkan sentimen ini tidak sepenuhnya bebas risiko. Menurutnya, harga batu bara global yang masih dalam tren penurunan tetap menjadi ancaman terhadap profitabilitas jangka pendek emiten.
Dirinya menyebut emiten yang tidak efisien atau sangat bergantung pada ekspor berisiko mengalami tekanan lebih besar. Selain itu, sektor batu bara secara umum masih berada di bawah tekanan global dari sisi isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), sehingga minat investor institusional global tetap terbatas meski kondisi domestik membaik.
"Jika tren harga rendah ini berlanjut, ada kemungkinan bahwa kebijakan dividen tinggi yang selama ini menjadi daya tarik saham-saham batu bara akan terganggu karena menyusutnya arus kas bebas," pungkasnya.
Harga Batu Bara Anjlok 75 Persen: Titik Terendah Sejak 2021
Sebelumnya diberitakan, harga batu bara di pasar internasional pada Maret 2025 mengalami penurunan signifikan, menyentuh level terendah sejak Mei 2021.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti, menyatakan bahwa penurunan harga komoditas energi, termasuk batu bara dan minyak mentah, menjadi faktor utama dalam tren penurunan harga komoditas energi secara keseluruhan.
"Secara umum perubahan harga komoditas di pasar internasional bervariasi, baik secara month to month maupun secara year on year,” ujar Amalia dalam konferensi pers di kantornya, Senin 21 April 2025.
Ia menjelaskan, kelompok komoditas logam dan mineral serta logam mulia mengalami kenaikan harga secara bulanan. Sementara itu, harga komoditas energi dan pertanian justru menunjukkan tren penurunan. Penurunan harga komoditas energi ini didorong oleh turunnya harga minyak mentah dan batu bara.
“Penurunan harga komoditas energi didorong oleh menurunnya harga minyak mentah dan batu bara,” katanya.
Berdasarkan data World Bank, harga batu bara dunia pada Maret 2025 tercatat sebesar 103,97 dolar AS per metrik ton, menyentuh level terendah sejak Mei 2021. Sebagai perbandingan, pada puncaknya pertengahan 2022 lalu, harga batu bara sempat melambung hingga hampir mencapai 450 dolar AS per metrik ton.
Kondisi ini patut menjadi perhatian, mengingat batu bara merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia. Tren penurunan tajam harga batu bara bisa mempengaruhi kinerja neraca perdagangan nasional ke depan, terlebih jika tidak dibarengi dengan diversifikasi ekspor atau penguatan produk hilirisasi.
Di sisi lain, Amalia juga menyinggung aktivitas industri mitra dagang utama Indonesia yang turut memengaruhi permintaan terhadap komoditas ekspor. Ia menyebutkan, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur di beberapa negara seperti Tiongkok (51,2), Amerika Serikat (50,2), dan India (58,1) masih berada di zona ekspansif, yang menandakan aktivitas industri sedang tumbuh. Namun, Jepang tercatat berada di zona kontraksi dengan angka 48,4.
“Dan pada Maret 2025, PMI manufaktur di beberapa negara mitra dagang utama Indonesia berada pada zona ekspansif. Sementara untuk Jepang berada di zona kontraksi,” terang Amalia.
ADRO Paling Tersengat Kebijakan
Kebijakan baru yang disahkan pada April 2025 membawa angin segar bagi ADRO. Salah satu poin kunci dari PP No. 18/2025 adalah penyesuaian tarif royalti berdasarkan rentang Harga Batubara Acuan (HBA) yang lebih realistis.
Sebagai contoh, tarif royalti untuk HBA dalam kisaran USD 120–140 per ton kini ditetapkan sebesar 19 persen, lebih rendah dari 23 persen di aturan sebelumnya (PP No. 15/2022).
Bagi ADRO, yang volume produksinya besar dan sebagian besar output-nya diekspor, penurunan tarif ini secara langsung mengurangi beban biaya royalti, terutama di tengah kondisi harga batu bara yang sedang melemah tajam.
Berdasarkan laporan sebelumnya, harga batu bara global saat ini berada di level USD103,97 per metrik ton per Maret 2025 — titik terendah sejak Mei 2021. Penurunan tajam ini jelas menekan margin keuntungan emiten seperti ADRO, sehingga struktur tarif royalti yang lebih fleksibel menjadi mekanisme “perisai” penting bagi arus kas mereka.
ADRO dapat mempertahankan stabilitas cash flow operasional dan menjaga kelangsungan strategi bisnis jangka panjang, termasuk program ekspansi dan kebijakan dividen yang selama ini menjadi daya tarik utama bagi investor.
Selain itu, kejelasan regulasi yang diberikan dalam PP No. 18/2025 juga menciptakan sentimen positif tambahan. Investor kini mendapatkan kepastian dalam menghitung proyeksi margin dan valuasi, sesuatu yang sebelumnya cukup membingungkan karena perubahan aturan yang kerap bersifat mendadak.
Bagi ADRO, ini juga berarti ruang yang lebih luas dalam menyusun strategi komersial dan operasional yang terukur, termasuk menyusun kontrak penjualan jangka panjang dengan pembeli luar negeri.
Namun demikian, tantangan tetap ada. Meskipun tarif lebih ringan, harga batu bara global yang anjlok dan sentimen negatif terhadap sektor batu bara secara global akibat isu ESG (Environmental, Social, Governance) masih membayangi prospek jangka panjang.
ADRO sendiri sudah mulai melakukan diversifikasi bisnis, termasuk ke energi terbarukan dan hilirisasi batu bara, sebagai bentuk antisipasi terhadap perubahan lanskap energi global.
Dengan demikian, ADRO menjadi contoh nyata emiten yang terdampak langsung dan signifikan oleh implementasi PP No. 18/2025, baik dari sisi efisiensi biaya, penguatan sentimen pasar, maupun pengelolaan risiko di tengah volatilitas harga komoditas.
Kebijakan ini, setidaknya dalam jangka pendek hingga menengah, memberi ruang bernapas yang cukup bagi ADRO untuk menjaga daya saing sekaligus mempertahankan posisinya sebagai salah satu pemain utama di industri batu bara nasional.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.