Analis Pasar Mata Uang, Lukman Leong, menjelaskan bahwa penurunan harga emas Antam dipengaruhi oleh melemahnya harga emas dunia. Berdasarkan data dari Trading Economics, harga emas turun signifikan 3,53 persen ke level US$ 2.293 per ons troi pada Minggu 9 Juni 2024. Dalam sepekan, harga emas turun 1,46 persen.
Lukman menyebutkan bahwa penurunan harga emas disebabkan oleh dua faktor utama: data yang menunjukkan bahwa pemerintah China tidak menambah kepemilikan emas selama bulan Mei, dan data tenaga kerja Amerika Serikat (AS), Non Farm Payroll (NFP), yang jauh lebih kuat dari perkiraan.
"Sedangkan penguatan rupiah juga sedikit menekan harga emas, meskipun sentimen ini tidak besar. Pelemahan rupiah justru menaikkan harga jual emas," kata Lukman. Saat ini, investor masih mencerna perkembangan tersebut, dan belum diketahui apakah pelemahan rupiah akan berdampak signifikan terhadap harga emas ke depannya.
Namun, Lukman melihat bahwa harga emas masih akan tumbuh positif ke depannya. Ia memprediksi harga emas hingga akhir tahun akan berada di level US$ 2.580 per ons troi, dengan potensi mencapai US$ 2.700 per ons troi. Dia menambahkan bahwa sentimen utamanya datang dari pembelian bank-bank sentral dunia dan harapan akan dimulainya siklus pemangkasan suku bunga. Selain itu, konflik di Timur Tengah bisa membawa kenaikan lebih cepat dan lebih besar.
"Menurut saya, penurunan ini hanya sementara. Namun, untuk jangka pendek, harga akan volatile dan berpotensi kembali terkoreksi. Jadi, tren harga emas masih naik, penurunan ini diperlukan sebagai koreksi teknis untuk menarik minat beli," jelasnya.
Sementara itu, kondisi pasar emas di Indonesia terus dipantau oleh berbagai kalangan, terutama para investor yang menjadikan emas sebagai instrumen lindung nilai (hedging). Emas dianggap sebagai aset aman (safe haven) yang bisa melindungi nilai investasi dari gejolak ekonomi dan inflasi.
Di tengah ketidakpastian global, emas seringkali menjadi pilihan utama bagi investor yang mencari keamanan. Selain itu, dengan adanya perubahan kebijakan moneter dari bank sentral di berbagai negara, permintaan terhadap emas diperkirakan akan terus meningkat.
Meskipun harga emas mengalami penurunan sementara, banyak pihak optimis bahwa tren kenaikan harga emas akan terus berlanjut dalam jangka panjang. Hal ini terutama didorong oleh kondisi geopolitik yang tidak menentu serta kebijakan ekonomi yang diambil oleh negara-negara besar.
Dengan demikian, investor disarankan untuk tetap memperhatikan perkembangan pasar emas dan mempertimbangkan emas sebagai bagian dari portofolio investasi mereka. Harga emas yang cenderung stabil dan meningkat dalam jangka panjang membuatnya menjadi pilihan yang menarik di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Perusahaan Tambang Emas
Antam, salah satu perusahaan pertambangan terkemuka di Indonesia, menghadapi proses penting dalam mendapatkan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk tambang nikel PT Sumber Daya Arindo (SDA) dan PT Nusa Karya Arindo (NKA). Proses ini menjadi lebih menarik setelah penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 pada akhir Mei 2024, yang memperbolehkan pemegang konsesi untuk beroperasi dengan syarat kepemilikan minimal 30 persen dalam kegiatan hilir.
SDA dan NKA, yang mayoritas dimiliki oleh Antam dan anggota MIND ID, tampaknya memenuhi syarat tersebut karena kepemilikan mayoritas mereka di PT Feni Haltim (FHT) dan 30 persen di HPAL JVco. Timothy Wijaya, seorang analis dari BRI Danareksa Sekuritas, menyatakan dalam risetnya bahwa manajemen Antam optimis bahwa persetujuan RKAB untuk SDA dan NKA dapat diperoleh pada Juli mendatang. Ini berpotensi meningkatkan penjualan Antam menjadi 13-14 wmt pada tahun ini, dibandingkan dengan asumsi sebelumnya sebesar 12 wmt.
Namun, upaya Antam tidak hanya terfokus pada persetujuan RKAB. Perusahaan juga sedang menjajaki pembiayaan utang untuk smelter RKEF FHT. Rencananya, pekerjaan EPC akan dilanjutkan pada kuartal I-2025, dengan konstruksi dimulai pada pertengahan 2025 dan diharapkan dapat beroperasi pada awal 2027. Antam berharap dapat memanfaatkan dana sebesar Rp7 triliun yang diperoleh dari hasil spin-off SDA dan FHT untuk penyertaan modal di FHT dan HPAL JVco.
Selain itu, Antam sedang mencari penyewa di kawasan industri FHT untuk mengembangkan coal-fired power plant (CFPP), yang akan memasok listrik ke FHT, HPAL JVco, dan smelter feronikel (FeNi) P3FH milik Antam. Langkah ini sejalan dengan strategi perusahaan untuk mengurangi biaya energi dengan beralih ke sumber daya yang lebih murah.
Misalnya, smelter FeNi di Pomalaa akan mulai menggunakan jaringan PLN mulai Oktober, diharapkan dapat menurunkan biaya listrik sebesar 40 persen menjadi Rp 990/kWh. Sementara itu, smelter FeNi P3FH diharapkan dapat mengurangi biaya listrik menjadi Rp 1.100/kWh dari Rp 2.000/kWh dengan beralih ke CFPP di kawasan industri FHT.
Timothy memperkirakan bahwa jika peralihan sumber daya listrik berjalan lancar, Antam dapat menurunkan biaya tunai secara signifikan menjadi US$ 11.000/ton dari sebelumnya US$ 12.000-12.500/ton. Meskipun demikian, masih ada beberapa risiko yang perlu dipertimbangkan, termasuk penurunan harga nikel, tingkat utilitas yang lebih rendah, dan potensi penundaan pelaksanaan proyek.
Dengan berbagai langkah strategis yang diambil, BRI Danareksa Sekuritas tetap optimis terhadap kinerja saham ANTM, dan mempertahankan rating beli dengan target harga saham sebesar Rp 2.000. Target harga tersebut mencerminkan PE 2024 sebesar 16,6 kali, setara forward PE standard deviation band -0,5 kali.
Meskipun demikian, langkah-langkah strategis yang diambil Antam dalam menghadapi tantangan dan risiko potensial tersebut menunjukkan komitmen perusahaan untuk mencapai pertumbuhan dan keberhasilan jangka panjang.
PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) terus mengukuhkan posisinya sebagai salah satu pemain utama dalam industri pertambangan Indonesia. Dengan portofolio yang beragam dan strategi yang kokoh, perusahaan ini telah mengambil langkah-langkah strategis untuk memperluas operasinya, meningkatkan efisiensi, dan menghadapi tantangan yang ada.