KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menilai, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil terjadi akibat ketatnya persaingan, sedangkan stok produk dalam negeri berlebihan. Hal itu dinilai menjadi penyebab turunnya harga jual produk di pasar luar atau dumping.
Adapun hal itu dia ungkap dalam rapat kerja pendapat bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI beberapa waktu lalu kala membahas tentang maraknya PHK di industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Menanggapi hal tersebut, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang menuturkan, Kemenkeu mestinya bisa lebih konsisten melahirkan kebijakannya yang mendukung dan melindungi industri dalam negeri. Pasalnya, Agus menilai Sri Mulyani inkonsistensi dengan pernyataannya mengingat kebijakan-kebijakan pengendalian terhadap impor produk hilir lamban ditetapkan oleh kementerian terkait, terutama Kemenkeu.
Agus menuturkan, terdapat kebijakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) kain yang masa berlakunya berakhir sejak 8 November 2022 dan hingga saat ini belum juga perpanjang oleh Kemenkeu. Meskipun perpanjangan BMTP kain telah disetujui, namun hingga saat ini belum terbit Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi dasar pelaksanaannya.
Padahal, Agus menilai, berlakunya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor sebenarnya telah memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan industri TPT nasional.
Efektivitas pengendalian impor tersebut terlihat dari turunnya volume impor sebelum dan setelah pemberlakuan Permendag 36/2023, di mana impor pakaian jadi pada Januari dan Februari 2024 sebesar 3,53 ribu ton dan 3,69 ribu ton turun menjadi 2,20 ribu ton di bulan Maret 2024 dan 2,67 ribu ton di bulan April 2024.
Begitu juga impor tekstil yang semula 193,4 ribu ton dan 153,2 ribu ton pada Januari dan Februari 2024, menjadi 138,2 ribu ton dan 109,1 ribu ton pada Maret dan April 2024. Jika dibandingkan data impor secara secara tahunan, kata Agus, terjadi penurunan impor pakaian jadi yang sebelumnya sebesar 4,25 ribu ton pada Maret 2023 menjadi 2,2 ribu ton pada Maret 2024.
Efektivitas pemberlakuan Permendag 36/2023 juga terlihat dari PDB Industri Tekstil dan Pakaian Jadi yang sepanjang kuartal I hingga IV tahun 2023 yang tumbuh negatif, menjadi tumbuh positif sebesar 2,64 persen di kuartal I 2024. Pertumbuhan tersebut juga sejalan dengan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada industri tekstil dan industri pakaian jadi yang terus mengalami peningkatan.
Khusus untuk industri tekstil, pada April dan Mei 2024 terjadi peningkatan hingga mencapai posisi ekspansi dua bulan berturut-turut pertama kali sejak IKI dirilis pada November 2022. Namun begitu, kondisi di lapangan saat ini telah berbeda, dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di beberapa perusahaan industri TPT.
Karenanya, Agus melihat adanya inkonsistensi Sri Mulyani Indrawati mengenai restriksi perdagangan sebagai salah satu penyebab meningkatnya PHK di sektor tekstil dengan kebijakan menghapus larangan dan pembatasan (lartas) bagi produk TPT hilir berupa pakaian jadi dan aksesori pakaian jadi.
“Padahal, pemberlakuan lartas melalui pemberian Pertimbangan Teknis untuk impor merupakan salah satu langkah strategis untuk mengendalikan masuknya produk-produk yang merupakan pesaing dari produk-produk dalam negeri di pasar domestik, mengingat kebijakan-kebijakan pengendalian terhadap impor produk hilir tersebut lamban ditetapkan oleh kementerian terkait, terutama Kementerian Keuangan,” kata Agus dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 20 Juni 2024.
Meski begitu, Agus tak menampik dumping menjadi salah satu indikator terjadinya badai PHK di sektor TPT sejak awal tahun 2024. Apalagi, penurunan ekspor terus terjadi seiring dengan meningkatnya tensi geopolitik global yang berimplikasi pada penurunan daya beli dari konsumen di negara tujuan dan sulitnya mengakses pasar ekspor lantaran adanya pembatasan barang impor melalui kebijakan tariff barrier dan nontariff barrier
Agar kondisi industri TPT nasional terus terjaga di tengah terjadinya penurunan ekspor, Agus mengaku, Kemenperin terus berupaya meningkatkan penyerapan produk TPT di pasar domestik. Namun, daya saing industri TPT nasional di pasar domestik terganggu oleh importasi produk sejenis, terutama produk TPT hilir, dalam jumlah besar, baik yang masuk secara legal maupun ilegal.
“Selain itu, terdapat hasil produksi TPT di dunia yang tidak terserap oleh negara tujuan ekspor yang saat ini menerapkan restriksi perdagangan. Akibatnya, terjadi oversupply sehingga negara produsen melakukan dumping dan mencoba untuk mengalihkan pasar ke negara-negara yang tidak memiliki proteksi pasar dalam negeri, salah satunya ke Indonesia,” jelasnya.
Agus menilai, praktik ini menjadi bukti bahwa setiap negara produsen berusaha untuk melindungi industri dalam negerinya dengan mengambil kebijakan dumping. Meski begitu, dia menilai kebijakan dumpung menjadi hal yang biasa dilakukan.
Oleh karenanya, Agus menilai, Indonesia perlu cepat mengambil langkah antisipasi dengan pengambilan kebijakan trade remedies berupa kebijakan anti-dumping dan safeguard, serta kebijakan nontariff lainnya. Sementara saat ini, ada beberapa negara telah menerapkan kebijakan restriksi perdagangan, salah satunya India yang memberlakukan Quality Control Order (QCO) untuk produk viscose staple fiber (VSF) dan alas kaki.
Untuk mengamankan pasar domestik dari serbuan barang impor, Agus mengaku telah melakukan berbagai upaya yang menjadi kewenangannya, di antaranya adalah meningkatkan kualitas hasil produksi melalui Standar Nasional Indonesia (SNI) dan mendorong pelaksanaan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).
Di samping itu, Kemenperin juga mendorong pemberlakuan instrumen pengamanan terhadap Industri Dalam Negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius akibat lonjakan produk impor yang sejalan dengan aturan World Trade Organization (WTO) berupa trade remedies, di antaranya adalah Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).
“Keberhasilan upaya tersebut harus dilakukan secara komprehensif, tidak cukup oleh Kementerian Perindustrian sendiri karena kewenangannya tidak hanya di Kementerian Perindustrian saja,” tegasnya.
Lebih jauh, Kemenperin mengaku akan terus berupaya memastikan ketersediaan bahan baku dan bahan penolong, meningkatkan kemampuan sumber daya manusia industri, mengimplementasikan Making Indonesia 4.0 pada sektor TPT, melanjutkan program pemulihan bagi industri TPT, serta promosi dan peningkatan permintaan dalam negeri melalui kampanye Bangga Buatan Indonesia.
"Langkah-langkah ini diambil untuk menjaga kinerja dan membuktikan tidak tepatnya stigma sunset industry yang selama ini melabeli sektor TPT,” pungkasnya.
PHK Sektor TPT
Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), terdapat 6 perusahaan TPT yang terpaksa gulung tikar dan 4 perusahaan tekstil yang terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) efesiensi.
Menjadi persoalan kemudian, PHK menuntut perusahaan memenuhi kewajiban mereka untuk memberikan pesangon kepada para pekerja. Sepanjang tahun 2024, KSPN mencatat sekitar 13.800 pekerja yang terkena PHK.
“Untuk periode Januari sampai dengan awal Juni (2024), kami baru ekspose 6 perusahaan tutup dan lebih dari 4 perusahaan tekstil lakukan PHK efisiensi dengan total jumlah PHK 13.800-an pekerja,” kata Presiden KSPN, Ristadi, saat dibuhungi KabarBursa, Kamis, 13 Juni 2024.
Berdasarkan catatannya, Ristadi menyebut hanya dua perusahaan yang telah memenuhi kewajibannya kepada para pekerja yang terimbas PHK, yakni PT SAI Aparel dan PT Sritex Grup. Meski begitu, kata dia, terdapat 80 persen pekerja di sektor TPT yang belum memiliki kejelasan nasib pesangonnya.
“80 persen belum jelas hak-hak pesangonya, (pesangon kerja) yang selesai baru sekitar 22 persenan,” ungkap Ristadi.
KSPN, kata Ristadi, mencatat adanya penurunan jumlah omset perusahaan-perusahaan di sektor TPT, khususnya pada perusahaan yang berorientasi pada produk-produk lokal atau local oriented.
Di pasar domestik, kata Ristadi, produk lokal kalah saing dengan barang-barang tekstil impor yang kian menjamur. Barangkali, lanjut dia, pemerintah luput mencatat perusahaan dengan local oriented dalam catatan pertumbuhan sektor TPT.
“Suatu ironi, kita sangat mampu memproduksi sendiri barang TPT tapi tidak bisa berdaulat disektor ini, karena importasi barang-barang TPT dengan harga lebih murah semakin meluas sehingga mengikis market pabrik produsen TPT dalam negeri,” ungkapnya. (and/*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.