KABARBURSA.COM – Aliansi Ekonom Indonesia (AEI) mengingatkan pemerintah mengenai kondisi darurat ekonomi yang tengah dihadapi masyarakat.
Dalam pertemuan dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, serta Wakil Menteri Keuangan sekaligus Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Anggito Abimanyu, AEI menyuarakan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi yang telah didukung oleh 456 ekonom, profesional, dan akademisi dari dalam dan luar negeri serta 262 profesional bidang lainnya.
Pertemuan berlangsung Senin, 29 September 2025 kemarin dihadiri sepuluh ekonom perwakilan AEI, yaitu Elan Satriawan, Lili Yan Ing, Mervin Goklas Hamonangan, Milda Irhamni, Rizki Nauli Siregar, Teuku Riefky, Titik Anas, Vid Adrison, Vivi Alatas, dan Wijayanto Samirin.
Diskusi berlangsung intensif dengan menyoroti berbagai masalah struktural perekonomian Indonesia, mulai dari misalokasi sumber daya hingga rapuhnya tata kelola institusi negara.
Vid Adrison membuka diskusi dengan menjabarkan tren penurunan kualitas hidup masyarakat. Menurutnya, terdapat dua benang merah utama permasalahan ekonomi saat ini.
“Pertama, misalokasi sumber daya yang masif. Kedua, rapuhnya institusi penyelenggara negara karena konflik kepentingan dan tata kelola yang tidak amanah,” ujarnya melalui keterangan tertulis dikutip Selasa, 30 September 2025.
Wijayanto Samirin menambahkan, kehadiran pemerintah dalam forum ini menunjukkan keterbukaan terhadap masukan akademisi.
“Kami mengapresiasi Menko Perekonomian dan Ketua LPS yang mau mendengar langsung Tujuh Desakan Darurat Ekonomi. Namun yang lebih penting adalah tindak lanjut nyata dan serius dalam menanggulangi kondisi darurat ekonomi ini,” tegasnya.
Sorotan terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Salah satu program pemerintah yang menjadi perhatian besar AEI adalah Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut aliansi, program ini menelan anggaran besar, namun efektivitasnya dipertanyakan.
Bahkan, kasus keracunan massal lebih dari 5.000 siswa per 19 September 2025 memperlihatkan lemahnya pengawasan dan implementasi.
Lili Yan Ing menegaskan bahwa program MBG harus diubah pendekatannya. “Alih-alih bersifat universal, penerima sebaiknya lebih targeted. Dengan begitu, pemerintah bisa memperbaiki misalokasi anggaran dan memastikan tujuan kebijakan tercapai secara efektif,” jelasnya.
Vivi Alatas menambahkan, pelaksanaan MBG perlu dihentikan sementara. “Program ini mendesak untuk dihentikan dulu. Kebijakan publik seharusnya dimulai dengan uji coba (piloting) yang memiliki indikator dampak jelas, kemudian baru diperluas jika terbukti berhasil,” ujarnya.
Sementara itu, Milda Irhamni menekankan aspek transparansi. “Evaluasi MBG harus dilakukan lembaga independen yang punya rekam jejak baik, sehingga bisa menghindari konflik kepentingan sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat,” tegasnya.
Kritik terhadap Paket Stimulus 8+4+5
Selain MBG, AEI juga menyoroti paket kebijakan ekonomi 8+4+5 yang baru saja diumumkan pemerintah. Teuku Riefky menilai stimulus tersebut hanya bersifat sementara.
“Paket ini memang bisa memberi bantuan sementara (temporary relief), tetapi tidak menjawab masalah mendasar. Perbaikan daya beli hanya bisa dicapai dengan menciptakan lapangan kerja berkualitas (good quality jobs), memperbaiki iklim usaha, dan memperkuat kepastian hukum,” katanya.
Rizki Nauli Siregar bahkan menilai beberapa program stimulus berpotensi menimbulkan masalah baru.
“Penekanan pada KDMP justru bisa menyingkirkan bisnis lokal yang tumbuh secara organik. Bantuan pangan juga tidak menyentuh tata niaga pangan yang sebenarnya menjadi inti masalah ketahanan pangan,” jelasnya.
Catatan terhadap Deregulasi dan PP 28/2025
Titik Anas menyoroti deregulasi melalui percepatan implementasi PP 28/2025. Menurutnya, deregulasi memang diperlukan, tetapi perlu diawasi agar tidak menjadi sekadar formalitas.
“Pemerintah perlu memastikan implementasi deregulasi ini benar-benar menekan biaya tinggi. Jangan sampai pungutan liar dan hambatan nonperizinan tetap dibiarkan,” tegasnya.
Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
Aliansi Ekonom Indonesia kembali mengingatkan tujuh poin mendesak yang sudah diumumkan sejak 9 September 2025 lalu, yaitu:
1. Perbaiki secara menyeluruh misalokasi anggaran yang terjadi dan tempatkan anggaran pada kebijakan dan program secara wajar dan proporsional.
2. Kembalikan independensi, transparansi, dan pastikan tidak ada intervensi berdasarkan kepentingan pihak tertentu pada berbagai institusi penyelenggara negara (Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan), serta kembalikan penyelenggara negara pada marwah dan fungsi seperti seharusnya.
3. Hentikan dominasi negara yang berisiko melemahkan aktivitas perekonomian lokal, termasuk pelibatan Danantara, BUMN, TNI, dan Polri sebagai penyelenggara yang dominan sehingga membuat pasar tidak kompetitif dan dapat menyingkirkan lapangan kerja lokal, ekosistem UMKM, sektor swasta, serta modal sosial masyarakat.
4. Deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi dan penyederhanaan birokrasi yang menghambat terciptanya iklim usaha dan investasi yang kondusif.
5. Prioritaskan kebijakan yang menangani ketimpangan dalam berbagai dimensi.
6. Kembalikan kebijakan berbasis bukti dan proses teknokratis dalam pengambilan kebijakan serta berantas program populis yang mengganggu kestabilan dan prudensi fiskal (seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, sekolah rakyat, hilirisasi, subsidi dan kompensasi energi, dan Danantara).
7. Tingkatkan kualitas institusi, bangun kepercayaan publik, dan sehatkan tata kelola penyelenggara negara serta demokrasi, termasuk memberantas konflik kepentingan maupun perburuan rente.
Hingga kini, tujuh desakan darurat ekonomi telah didukung oleh lebih dari 700 tokoh, terdiri atas ekonom, akademisi, dan profesional dari berbagai bidang.
AEI juga membuka kesempatan bagi publik untuk turut menandatangani desakan tersebut sebagai bentuk partisipasi dalam memperbaiki arah kebijakan ekonomi nasional. (*)