KABARBURSA.COM - Meskipun kinerja perekonomian Amerika Serikat (AS) saat ini berada di bawah ekspetasi, Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata menyatakan AS belum bisa dinyatakan masuk ke dalam resesi.
“Bahwa terjadi perlambatan ekonomi, akibat suku bunga tinggi, tapi saya yakin kondisi Amerika Serikat saat ini, still too early untuk dibilang masuk ke dalam resesi,” ujar Liza kepada Kabar Bursa, Kamis 8, Agustus 2024.
Lebih lanjut, Liza menilai inflasi di AS telah menunjukkan penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Dari tingkat inflasi yang pernah mencapai 9 persen pada puncaknya, kini angka tersebut telah merosot hampir mencapai 2 persen, mendekati target yang ditetapkan oleh bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed).
“Jadi, bank sentral di (AS) sana itu ngotot, walaupun inflasi sudah turun, tapi mereka ngotot untuk bisa mencapai 2 persen. Enggak cuma federalism saja, ternyata ECB pun demikian,” jelasnya.
Kendati demikian, dalam upaya untuk mengendalikan inflasi dan memastikan kestabilan ekonomi, The Fed telah mengambil langkah-langkah kebijakan moneter yang agresif. Langkah-langkah ini termasuk penyesuaian suku bunga yang mempengaruhi sektor-sektor ekonomi utama.
Meskipun inflasi telah menunjukkan tren penurunan, ia menuturkan, bank sentral bertekad untuk mencapai target yang ditetapkan, mengingat pentingnya menjaga kestabilan harga dalam perekonomian.
“Jadi, memang di negara maju itu tingkat suku bunga rendah itu memang sudah biasa,” imbuhnya.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di AS. Bank sentral Eropa juga menunjukkan pendekatan serupa dalam mengendalikan inflasi. Dengan komitmen yang sama, ECB berusaha menjaga inflasi di wilayah target yang mendekati 2 persen. Hal ini menegaskan bahwa meskipun tingkat suku bunga rendah merupakan hal yang umum di negara-negara maju, pengendalian inflasi tetap menjadi prioritas utama bagi bank sentral di seluruh dunia.
Dalam konteks global, kebijakan suku bunga rendah sering kali menjadi bagian dari strategi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, tantangan utama bagi bank-bank sentral adalah menjaga keseimbangan antara mendukung pertumbuhan dan mengendalikan inflasi.
“Nah, demikian juga dengan perekonomian. Cara treatment-nya seperti itu, tapi memang ada harga yang harus dibayar,” tukasnya.
Sektor Perbankan Khawatir Resesi AS
Sementara itu Chief Executive Officer (CEO) Citi Indonesia, Batara Sianturi mengungkap kekhawatirannya terkait resesi Amerika adalah dengan menurunkan suku bunga pada bulan September 2024.
“Percepatan pengangguran ini menimbulkan kekhawatiran tentang resesi. Karena inflasi sudah mereda, dan satu-satunya masalah sekarang adalah pengangguran, ini menciptakan ekspektasi bahwa akan ada kebutuhan untuk menurunkan suku bunga The Fed pada bulan September,” kata Batara di Jakarta, Kamis, 8 Agustus 2024.
Kendati demikian CITI Bank memproyeksikan bahwa The Fed akan melakukan pemangkasan suku bunga pada bulan September dan November mendatang sebesar 50 basis poin kemudian pemotongan 25 basis poin pada bulan Desember 2024.
“Jadi, pandangan Citi adalah akan ada pemangkasan suku bunga pada bulan September, 50 basis poin, kemudian 50 basis poin lagi pada bulan November, dan 25 basis poin lagi pada bulan Desember. Di dalam negeri, juga ada tekanan bagi BI untuk mempertimbangkan menurunkan suku bunga BI,” paparnya.
Lanjutnya Batara mengatakan, saat ini perhatian utama Indonesia adalah tentang stabilitas nilai tukar USD terhadap rupiah terkait prediksi pemangkasan suku bunga The Fed pada bulan September.
“Jadi, tekanan terhadap Rupiah akan berkurang. Namun, pada kuartal keempat, karena kita akan memasuki siklus pemilihan, dan kita belum tahu apakah Trump akan menang atau tidak. Biasanya, jika Trump menang, dolar cenderung menguat,” jelasnya.
“Penguatan dolar sebenarnya akan memberikan tekanan pada Rupiah juga. Salah satu kekhawatiran adalah arus keluar modal dari kondisi saat ini.” sambungnya.
Kinerja Ekonomi AS Melambat
Radhika Rao, Ekonom Senior di Bank DBS, percaya bahwa ekonomi Amerika Serikat (AS) tidak akan memasuki resesi, melainkan hanya mengalami perlambatan pada semester kedua tahun 2024.
Menurutnya, dampak perlambatan ekonomi AS terhadap perekonomian Indonesia akan relatif minimal.
“Ekonomi AS diperkirakan tidak akan mengalami kemerosotan yang parah karena AS masih meningkatkan jumlah pekerjanya,” kata Radhika dalam Diskusi Media DBS di Jakarta, Selasa 6 Agustus 2024 lalu.
Dari perspektif bisnis, Radhika menambahkan bahwa perlambatan ekonomi AS juga tidak akan berpengaruh besar. Ini karena, dalam beberapa tahun terakhir, China telah mengambil alih posisi sebagai mitra perdagangan utama Indonesia.
“China juga mampu menggantikan AS. Kami berharap dampak dari perlambatan ini bisa diminimalisir selama pertumbuhan dan pemulihan ekonomi China tetap pada jalur yang diharapkan,” tambahnya.
Radhika mengungkapkan bahwa pihaknya akan terus memantau perkembangan perekonomian AS, terutama terkait dengan bantuan fiskal pemerintah dan sentimen di sektor swasta.
Pada kuartal kedua 2024, pertumbuhan ekonomi AS tercatat masih cukup kuat, yakni sebesar 2,8 persen year on year (yoy).
Namun, data pengangguran pada bulan Mei, Juni, dan Juli 2024 menunjukkan angka yang meningkat: masing-masing 4 persen, 4,1 persen, dan 4,3 persen, dengan rata-rata sekitar 4,13 persen.
Pada Jumat, 2 Agustus, data nonfarm payrolls (NFP) AS hanya meningkat sebesar 114.000, jauh di bawah ekspektasi yang sebesar 175.000. Selain itu, tingkat pengangguran naik menjadi 4,3 persen, melebihi ekspektasi yang hanya 4,1 persen.
Data ini memicu kekhawatiran pasar tentang kemungkinan pelemahan lebih lanjut dalam pertumbuhan ekonomi AS, bahkan resesi. Akibatnya, para pelaku pasar menjadi lebih berhati-hati dalam menilai prospek ekonomi negara tersebut (*)