KABARBURSA.COM - Isu lingkungan yang mencuat di Raja Ampat akibat aktivitas pertambangan nikel oleh PT Gag Nikel dinilai berdampak lebih luas terhadap persepsi pasar terhadap sektor pertambangan nikel secara keseluruhan.
Hal ini disampaikan analis pasar modal dari Traderindo Wahyu Laksono, yang menilai bahwa konflik antara pelestarian lingkungan dan kegiatan pertambangan di wilayah berisiko tinggi seperti Raja Ampat memiliki potensi menimbulkan tekanan terhadap saham-saham nikel di Bursa Efek Indonesia.
“Raja Ampat dikenal sebagai destinasi wisata bahari kelas dunia dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Ketika isu lingkungan muncul di wilayah seperti ini, perhatian publik dan media akan sangat besar. Meskipun masalahnya spesifik pada satu perusahaan, sentimennya bisa meluas ke seluruh sektor,” ujar Wahyu dikutip Minggu, 15 Juni 2025.
Menurutnya, terdapat beberapa dampak utama dari isu ini terhadap sektor tambang nikel, antara lain meningkatnya risiko reputasi perusahaan tambang, potensi tekanan regulasi yang lebih ketat.
Dampak berikutnya, kata dia, adalah kemungkinan menyempitnya akses pendanaan, khususnya dari lembaga keuangan yang berkomitmen pada prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).
“Investor akan semakin mempertimbangkan rekam jejak lingkungan perusahaan. Bahkan jika tidak ada pelanggaran hukum, praktik yang dianggap tidak ramah lingkungan bisa mengurangi kepercayaan investor,” jelas Wahyu.
Ia juga menambahkan bahwa tekanan regulasi bisa memunculkan biaya tambahan dan memperlambat proses perizinan tambang ke depan.
Sentimen Negatif Emiten Nikel
Lebih lanjut, Wahyu menyebutkan bahwa sentimen negatif ini kemungkinan mulai tercermin dalam pergerakan saham emiten nikel di pasar.
“Investor cenderung cepat bereaksi terhadap berita seperti ini. Namun perlu diingat, harga saham dipengaruhi banyak faktor: mulai dari kondisi makroekonomi, harga nikel global, sampai laporan kinerja perusahaan,” ujar dia.
Terkait respons pelaku pasar, Wahyu menilai bahwa investor institusi dan ritel menunjukkan pendekatan yang berbeda.
“Investor institusi umumnya lebih rasional dan berbasis analisis fundamental. Mereka akan mengevaluasi risiko ESG dalam portofolio mereka," katanya.
Ia mengatakan jika risikonya meningkat, bisa terjadi aksi jual atau penundaan akumulasi. Namun bagi sebagian institusi, ini juga bisa jadi momen beli jika mereka percaya isu ini tidak berdampak fundamental dalam jangka panjang.
Sementara itu, investor ritel dinilai lebih reaktif terhadap perkembangan berita. “Kita bisa melihat gejala panic selling dari ritel. Namun di sisi lain, ada juga spekulan yang mencoba memanfaatkan fluktuasi harga untuk meraih keuntungan jangka pendek,” ujar dia Wahyu.
Menilik data perdagangan terakhir saham PT Aneka Tambang atau ANTM berada di harga Rp3.300 per lembarnya, sementara PT PAM Mineral Tbk atau NICL berada di Rp1.320 per lembar pada Jumat, 13 Juni 2025
Wahyu juga menyoroti penurunan harga saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), yang dinilai bukan semata karena sentimen lingkungan.
Penurunan harga saham ANTM kemungkinan besar merupakan kombinasi dari beberapa faktor. Sentimen lingkungan jelas berperan karena ANTM adalah salah satu pemain besar di sektor ini, sehingga otomatis menjadi sorotan saat ada isu terkait nikel.
Namun, ia menambahkan bahwa faktor teknikal juga bisa memengaruhi, seperti koreksi harga setelah reli sebelumnya atau karena ditembusnya level support tertentu.
“Fundamental lain seperti harga nikel global, prospek produksi dan penjualan, serta progres proyek hilirisasi juga turut menentukan,” katanya.
Sebaliknya, saham PT Pam Mineral Tbk (NICL) justru mencatatkan kenaikan di tengah isu ini. Wahyu menilai kontras tersebut bisa disebabkan oleh persepsi pasar terhadap risiko lingkungan yang lebih rendah, skala bisnis yang berbeda, serta adanya spekulasi jangka pendek.
“NICL mungkin dianggap memiliki lokasi tambang yang lebih aman dari sisi lingkungan. Atau investor melihat ada prospek pertumbuhan spesifik seperti proyek baru atau ekspansi kapasitas,” jelas Wahyu.
Menurutnya, saham dengan kapitalisasi kecil seperti NICL juga cenderung lebih volatil dan lebih mudah dipengaruhi oleh sentimen atau rumor pasar. Ia tidak menutup kemungkinan adanya akumulasi oleh investor institusi tertentu terhadap NICL.
“Yang jelas, pergerakan satu-dua hari atau sepekan yang tidak eksesif masih bisa dikategorikan sebagai fluktuasi biasa. Nilai sejati emiten lebih terlihat dalam pergerakan jangka menengah dan panjang,” ujarnya Wahyu.
Dengan meningkatnya kesadaran terhadap isu ESG dan sensitivitas publik terhadap dampak lingkungan, pasar diperkirakan akan semakin selektif dalam menilai emiten tambang, terutama yang beroperasi di wilayah-wilayah yang memiliki nilai konservasi tinggi.(*)