KABARBURSA.COM - Saham emiten PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) ditutup melemah sebesar 0,40 persen di level 1,230 pada perdagangan Kamis, 4 September 2025.
Meski ditutup di zona merah, saham emiten distributor bahan bakar minyak (BBM) ini diprediksi sedang dalam fase positif di awal September 2025.
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta mengatakan secara teknikal pergerakan harga saham AKRA mulai mengalami bullish consolidation.
"Jadi nanti diharapkan kinerjanya juga mendapatkan benefit beriringan dengan perbaikan dari sisi kinerja fundamental yang bisa lebih progresif," jelas dia kepada Kabarbursa.com, Kamis, 4 September 2025.
Nafan melihat saham AKRA saat ini dipengaruhi oleh dua faktor, salah satunya ialah sentimen pasar terkait dengan dinamika pergerakan harga minyak dunia. Selain itu, kinerja fundamental juga bisa mempengaruhi pergerakan harga saham AKRA.
"Accumulative buy AKRA. TP (take profit) jangka panjang di level 1.900," ungkapnya.
Dari segi perusahaan, Nafan menuturkan kinerja AKR ke depan bakal dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan dalam melakukan distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Selain itu, strategi AKRA dalam mengembangkan gudang agar distribusi produk lebih efektif juga bisa memberikan efek positif bagi perusahaan.
"Selama permintaan meningkat tentunya ini akan memberikan benefit," pungkasnya.
Harga Brent dan WTI Melemah, Minyak Tergelincir Stok Melimpah
Sebelumnya diberitakan, Harga minyak dunia kembali tertekan pada perdagangan Rabu, ditutup melemah lebih dari 2 persen menjelang pertemuan penting OPEC+ akhir pekan ini.
Saat ini pasar tengah berspekulasi bahwa kelompok produsen minyak yang menguasai hampir separuh pasokan global akan mengumumkan rencana kenaikan produksi mulai Oktober. Ini menjadi sebuah langkah yang bisa mengubah peta keseimbangan pasokan dan permintaan dunia.
Minyak mentah berjangka Brent, acuan internasional, jatuh USD1,54 atau 2,23 persen menjadi USD67,60 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) sebagai patokan Amerika Serikat ikut merosot USD1,62 atau 2,47 persen ke USD63,97 per barel.
Penurunan ini memperpanjang tren pelemahan harga dalam beberapa sesi terakhir, di tengah sentimen yang kian sensitif terhadap arah kebijakan produsen utama.
Menurut laporan Reuters, delapan anggota OPEC+ disebut tengah mempertimbangkan tambahan kenaikan produksi dalam pertemuan Minggu mendatang. Jika terealisasi, langkah ini berarti penghapusan lebih awal dari lapisan kedua pemangkasan output sebesar 1,65 juta barel per hari, atau setara 1,6 persen dari total permintaan global.
Semula, penghapusan pemangkasan ini dijadwalkan lebih dari setahun lagi, sehingga rencana percepatan dipandang sebagai sinyal agresif untuk merebut kembali pangsa pasar yang belakangan tergerus oleh produsen non-OPEC, termasuk Amerika Serikat.
Sejauh ini, OPEC+ telah menyepakati kenaikan target produksi 2,2 juta barel per hari sejak April hingga September, ditambah tambahan kuota 300.000 barel per hari khusus bagi Uni Emirat Arab. Namun, analis SEB Bank Ole Hvalbye, mengingatkan bahwa bila kuota baru benar-benar dijalankan penuh, pasar berisiko mengalami surplus besar pada 2025 hingga 2026.
Surplus tersebut dapat memicu penumpukan stok minyak global, kecuali OPEC+ kembali melakukan pembatasan lebih ketat di periode mendatang.
Meski demikian, sejarah menunjukkan realisasi kebijakan OPEC+ tidak selalu sesuai rencana. Beberapa negara masih bergulat menutup kelebihan produksi sebelumnya, sementara lainnya terbatas kapasitasnya untuk meningkatkan output.
Artinya, meski ancaman surplus ada, ketidakseragaman implementasi tetap menjadi faktor yang bisa menahan ekses pasokan di pasar.(*)